Sejumlah Kejanggalan di Kasus Pasar Muamalah versi Zaim Saidi

10 Maret 2021 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
zoom-in-whitePerbesar
Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
ADVERTISEMENT
Pendiri Pasar Muamalah Depok, Zaim Saidi, ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri karena menggunakan Dinar dan Dirham sebagai alat transaksi pembayaran.
ADVERTISEMENT
Ia dijerat dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana dan atau Pasal 33 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
Namun, banyak pihak yang menyayangkan keputusan Bareskrim dalam menetapkan Zaim Saidi sebagai tersangka. Sejumlah kalangan mengatakan, kegiatan semacam ini seharusnya dibina, mengingat lesunya perekonomian Indonesia akhir-akhir ini.
Hal serupa juga diungkapkan oleh tim kuasa hukum Zaim Saidi. Mereka menyebut ada beberapa kejanggalan dalam penetapan kliennya sebagai tersangka.
Mulai dari penerapan pasal, hingga pengertian tentang Dinar emas dan Dirham perak sebagai alat transaksi di Pasar Muamalah Depok.
Pengacara Zaim Saidi, Ali Wardana, dan tim hukum lainnyakemudian mengirimkan makalah yang berisi berbagai pandangan hukum yang munjukkan sejumlah kejanggalan yang ada dalam kasus itu. Berikut kejanggalannya.
ADVERTISEMENT

Pasal yang Disangkakan

Suasana Kios Muamalah di Depok, usai Zaim Saidi ditangkap Bareskrim, Rabu (3/2). Foto: Dok. Istimewa
Zaim Saidi dijerat Pasal 9 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana, dan Pasal 33 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.
Ahli Hukum Pidana Dr Ahmad Sofian mengatakan, untuk menggunakan kedua pasal tersebut sebaiknya memahami terlebih dahulu cara menafsirkannya.
Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 1946
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Pixabay
Sofian mengatakan, pasal ini sudah lama tak digunakan, karena dalam sejarahnya Pasal 9 ini dilahirkan pada semangat kemerdekaan pada zaman penjajahan, karena saat itu beredar mata uang Belanda dan mata uang Jepang.
"Untuk melindungi kedaulatan Rupiah, maka ditetapkanlah norma ini agar mata uang Rupiah digunakan, dan pidana bagi yang menggunakan mata uang selain Rupiah," jelas Sofian dalam makalah yang diterima kumparan dari tim kuasa hukum Zaim Saidi, Rabu (10/3).
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, untuk membaca pasal tersebut, tak lepas dari pasal-pasal setelahnya, yakni PAsal 10, 11, 12, dan 13, karena masih membahas tentang tindak pidana mata uang.
Hakikat pasal ini ingin melindungi mata uang Rupiah dari berbagai perbuatan yang dilarang, yaitu;
Pasal 33 UU Nomor 7 Tahun 2011
Ilustrasi uang rupiah Foto: Maciej Matlak/Shutterstock
Bunyi Pasal 33 tentang Mata Uang adalah: Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang, dan atau transaksi keuangan lainnya.
ADVERTISEMENT
Sofian mengatakan, pasal ini harus ditafsirkan menyeluruh dari isi Undang-undang. UU ini dalam melindungi kedaulatan negeri ini dari mata uang asing, sehingga mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah dan satu-satunya, dan bukan mata uang lain baik yang diterbitkan negara lain atau pemerintah daerah.
Pertanyaannya, apakah Dinar emas dan Dirham perak merupakan mata yang diterbitkan oleh suatu negara lain?
"Unsur utama pasal ini bukan pada alat pembayaran, tapi adalah sesuatu itu sebagai mata uang atau bukan mata uang. Di Indonesia banyak sekali alat pembayaran, termasuk alat barter, tukar tambah, gadai, games, dan lain-lain," jelasnya.

Larangan Analogi

Zaim Saidi, pendiri Pasar Muamalah di Depok. Foto: Instagram/@zaim.saidi
Tim kuasa hukum Zaim Saidi mengatakan, dalam mempersangkakan kliennya, penyidik Polri melakukan analogi pasal, yang mana bertentangan dengan asas legalitas sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 KUHP.
ADVERTISEMENT
Sofian mengatakan, penciptaan hukum pidana baru bisa menimbulkan ketidakpastian UU, berbahaya jika diterapkan dalam negara-negara yang dihinggapi berbagai kepentingan (hazewinkel suringa).
"Analogi tidak diizinkan jika menciptakan delik baru. Analogi berbeda dengan penafsiran ekstentif; memberikan tafsir atas suatu unsur dalam sebuah norma," jelasnya.
Sehingga, perbuatan yang dilakukan Zaim Saidi tidak memenuhi unsur Pasal 99 UU Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 33 Ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2011.
"Maka unsur Pasal 9-11 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 33 UU Nomor 7 Tahun 2011 tidak terpenuhi," ungkap Sofian.
Ia mengatakan, penggunaan Dinar dan Dirham di Pasar Muamalah Depok oleh Zaim Saidi bukanlah tindak pidana. Penyidik sedang menggunakan analogi dalam menetapkan Zaim Saidi sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
"Padahal analogi bertentangan dengan Pasal 1 KUHP. Dengan demikian ada dugaan pelanggaran asas legalitas dalam menetapkan Zaim Saidi sebagai tersangka. Artinya, ada asas yang ditabrak oleh penyidik dalam mentersangkakan Zaim Saidi," ungkap dia.

Dinar dan Dirham

Dinar dan dirham berukir tulisan Amir Zaim Saidi. Foto: Dok. Istimewa
Berbeda dari mata uang yang merupakan konsep alat tukar, koin Dinar emas dan Dirham perak yang digunakan di Pasar Muamalah Depok adalah;
Dinar adalah koin emas seberat 4,25 gram, sedangkan Dirham adalah koin perak seberat 2,975 gram. Kedua istilah itu bukan merupakan nama atau sebutannya, melainkan menunjukkan satuan berat.
1 Dinar = 1 mithqal = 4,25 gram. Kalau beratnya berbeda maka bukan koin Dinar.
1 Dirham = 14 qirat = 2,975 gram perak. Bila beratnya berbeda maka bukan koin Dirham.
Dinar dan dirham berukir tulisan Amir Zaim Saidi. Foto: Dok. Istimewa
Pada koin yang dicetak Zaim Saidi dapat dikenali dengan lebih jelas lagi identitasnya. Dengan alasan untuk tidak menimbulkan salah paham karena adanya istilah Dinar dan Dirham, yang telah digunakan sebagai penamaan mata uang kertas di beberapa negara.
ADVERTISEMENT
Maka pada koinnya dicetak dalam ukuran huruf yang cukup besar masing-masing kata 'Perak' dan 'Emas' di atas koinnya sesuai dengan bahannya masing-masing. Sedangkan kata 'Dinar' dan 'Dirham' ditulis dalam huruf Arab dengan ukuran kecil dan maknanya dikembalikan pada makna aslinya sebagai satuan berat.
"Jadi koin yang beredar di Pasar Muamalah Depok adalah koin emas dan perak yang sebenarnya, bukan bernama Dinar dan Dirham. Semata koin emas dengan satuan unit berat Dinar (4,25 gram) dan koin perak dengan satuan unit berat Dirham (2,975 gram)," ujar pengacara Zaim Saidi, Ali Wardana.
Untuk diketahui, Dinar emas sudah dikategorikan sebagai perhiasan oleh pemerintah sesuai keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.03/2002, sehingga dikenakan PPn sebesar 10 persen. Jadi, Dinar emas dan Dirham perak, bukan dan tidak menyerupai mata uang yang jelas bukan merupakan objek pajak.
Dinar dan dirham berukir tulisan Amir Zaim Saidi. Foto: Div Humas Polri
ADVERTISEMENT
Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Nomor 77/DSN-MUI/V/2010 Tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai, dapat disimpulkan bahwa jual beli emas secara tidak tunai diperbolehkan karena emas merupakan alat tukar (uang) yang sah di Indonesia, diperlakukan layaknya barang biasa.
"Jadi, Dinar emas dan Dirham perak bukan dan tidak menyerupai mata uang itu sendiri. Khususnya mata uang Rupiah. Bertransaksi dengan Dinar emas dan Dirham perak merupakan barter. Pertukaran satu komoditas dengan komoditas lainnya berdasarkan kerelaan kedua belah pihak," jelas Ali.
Dan kegiatan barter ini dilindungi oleh UU Perdata, yakni;
Pasal 1541:
Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.
ADVERTISEMENT
Pasal 1542:
Segala sesuatu yang dapat dijual, dapat pula jadi persetujuan tukar-menukar.