
Bersantap siang bersama para relawannya di sebuah restoran di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (2/5), Joko Widodo membahas aduannya ke Polda Metro Jaya dua hari sebelumnya soal tudingan ijazah palsu.
Kepada para loyalisnya, Presiden ke-7 RI itu menegaskan ingin memberi pelajaran agar tidak ada lagi pihak yang mudah menyebar fitnah.
“Karena [tudingan ijazah palsu] ini sudah masuk ranah pembunuhan karakter,” kata Silfester Matutina, Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) yang hadir di pertemuan itu kepada kumparan, Sabtu (3/4).
Jokowi, yang sebelumnya kerap defensif terhadap tudingan ijazah palsu, kini menyerang balik. Ia melaporkan 5 orang ke polisi atas tuduhan penyebaran fitnah hingga pencemaran nama baik. Sejauh ini, kelima orang tersebut hanya disebut inisialnya, yakni RS, ES, RS, T, dan K.
Jokowi membawa bukti 24 video dan melaporkan mereka dengan Pasal 310 dan 311 KUHP serta Pasal 27 A, 32, dan 35 UU ITE.
“Dulu masih menjabat [presiden] saya pikir sudah selesai, ternyata masih berlarut-larut, sehingga dibawa ke ranah hukum akan lebih baik … agar semuanya jelas dan gamblang,” ujar Jokowi usai melapor di Polda Metro Jaya, Rabu (30/4).
Upaya hukum Jokowi pada kasus tudingan ijazah palsu sedianya telah dipikirkan tim pengacaranya sejak awal April. Mereka dikumpulkan Jokowi di rumahnya, Solo, pada 9 April. Lima hari setelahnya, 14 April, mereka menggelar konferensi pers di Jakarta seraya mengultimatum para penyebar isu ijazah palsu.
Jokowi lalu meminta tim pengacaranya membuat kajian hukum. Kajian itu kemudian diserahkan ke Jokowi dalam pertemuan di sebuah restoran di Menteng, Jakarta Pusat, 22 April.
“Bapak bilang, ‘Ya sudah, kalau memang harus terpaksa [lapor polisi], kita lakukan.’ Lalu kami lanjut diskusi,” ucap Firmanto Laksana, pengacara Jokowi, kepada kumparan.
Setelahnya, Jokowi sempat meninggalkan Indonesia. Ia diutus Presiden Prabowo menghadiri pemakaman Paus Fransiskus di Vatikan. Meski demikian, semasa Jokowi di luar negeri, para pihak yang menyebar isu ijazah palsu tak surut. Jokowi pun memutuskan melapor langsung ke Polda Metro Jaya.
“Tentu ada batasnya orang bersabar. Itulah yang akhirnya melatarbelakangi Bapak [Jokowi] nampaknya harus menghentikan isu ini dengan cara memproses secara hukum,” imbuh Firmanto.
Menurut Firmanto, nama-nama orang yang dilaporkan ditentukan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ia menekankan, Jokowi tak bermaksud menarget pihak-pihak tertentu.
Sementara itu, Silfester menyebut kelima orang yang dilaporkan merupakan nama-nama yang sempat ia bahas bersama Jokowi di Solo pada 16 April lalu. Malahan, ia sebetulnya mengusulkan lebih dari lima nama untuk dilaporkan Jokowi. Namun, akhirnya dipilih lima yang dinilai terpenuhi unsur pidananya.
“Mereka provokator utama yang bisa membuat gaduh dan adu domba,” kata Silfester.
Adapun pakar hukum pidana UII Arif Setiawan menilai pelaporan Jokowi tersebut merupakan sesuatu yang wajar.
“Terlepas dari benar atau tidak [isu ijazah palsu], dia (Jokowi) merasa terganggu,” ucap Arif.
Keyakinan vs Keaslian
Lima orang telah dilaporkan Jokowi ke polisi. Nama-nama mereka tidak disebut gamblang oleh tim pengacara Jokowi. Meski demikian, mereka diduga kuat merupakan pihak yang beberapa waktu terakhir mempersoalkan ijazah Jokowi secara intens, sampai-sampai mendatangi UGM, di antaranya ahli forensik digital Rismon Sianipar, pemerhati telematika Roy Suryo, dan dokter Tifauzia Tyassuma. Ketiganya merupakan alumni UGM.
Dua orang lain yang dilaporkan, menurut Roy Suryo, ialah Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana, serta advokat sekaligus anggota TPUA Kurnia Tri Royani. Inisial lima orang tersebut cocok dengan yang disebut kuasa hukum Jokowi, yakni RS, ES, RS, T, dan K.
Menanggapi laporan Jokowi tersebut, Roy Suryo menanggapi santai. Menurutnya, langkah itu bagus sebagai pembelajaran hukum.
“Asal benar-benar sesuai kaidah hukum yang berlaku, sesuai prosedur. Jangan ada diskriminasi, kriminalisasi,” ucapnya.
Rismon menganggap Jokowi berupaya menghindari pokok persoalan dengan menyeret kasus ijazah ke ranah fitnah. Menurut Rismon, seharusnya Jokowi terlebih dahulu membantah berbagai tudingan mengenai kejanggalan skripsi maupun ijazahnya.
Roy dan Rismon tetap meyakini ijazah dan skripsi Jokowi palsu. Mereka punya berbagai argumen. Terkait skripsi Jokowi, Roy menyebut skripsi tahun 1985 itu memiliki beberapa keanehan. Roy melihat langsung skripsi tersebut dalam pertemuan dengan pimpinan Fakultas Kehutanan dan perwakilan Rektorat UGM pada 15 April lalu.
Keanehan itu, di antaranya, ada perbedaan fon antara isi skripsi dengan sampul dan lembar pengesahannya. Bagian isi skripsi seperti prakata, daftar isi, daftar tabel, dan daftar lampiran diketik manual dengan mesin tik, sedangkan bagian sampul dan lembar pengesahan memakai fon Times New Roman yang seharusnya baru dirilis Windows pada 1992.
Dalam lipsus kumparan edisi 21 April, kawan seangkatan Jokowi, Frono Jiwo dan Andi Pramaria, menjawab soal perbedaan fon itu. Menurut mereka, skripsi mereka pun fonnya sama seperti Jokowi: bagian isi diketik dengan mesin tik, sedangkan sampul dan lembar pengesahan dibuat di percetakan Perdana.
“Kami tidak tahu bentuk fon tersebut Times New Roman, dan kami tidak tahu dari mana percetakan mendapatkannya,” ujar Frono.
Dalam buku Anatomy of Typeface karya Alexander Lawson (terbitan 1990), disebutkan bahwa Times New Roman sebenarnya pertama kali muncul pada 3 Oktober 1932 di koran Inggris, The Times.
The Times mendapat hak eksklusif atas fon yang dibuat oleh Stanley Morison dari Monotype Corporation tersebut. Setelahnya, desain fon itu dirilis untuk penjualan komersial ke perusahaan mesin percetakan.
Keanehan berikutnya, menurut Roy, pada lembar pengesahan skripsi Jokowi tertulis pembimbing utama adalah Prof. Dr. Ir. Achmad Soemitro, namun pada bagian prakata, gelar akademik yang dicantumkan hanya Dr. Ir. Achmad Soemitro tanpa Prof.
“Pada hari yang sama, pada skripsi yang sama, [ada] dua nama dengan gelar berbeda. Itu kan aneh,” kata Roy.
Selain itu, tidak ada nama penguji di lembar pengesahan skripsi Jokowi. Padahal pada skripsi teman-teman satu fakultasnya yang lulus tahun 1985, tertulis nama dosen penguji.
“Skripsi asli, ijazah bisa palsu. Skripsi asli, ijazah bisa asli. Tapi kalau skripsi palsu, ijazahnya mesti palsu,” tegas Roy.
Rismon menduga UGM ikut menutupi kejanggalan skripsi Jokowi dengan menyodorkan skripsi seseorang yang disebut kawan seangkatan Jokowi saat pertemuan 15 April lalu di UGM. Skripsi sang kawan itu pun tidak bertanda tangan pada nama-nama dosen yang ada di lembar pengesahannya.
Pada skripsi kawan seangkatan lulus Jokowi seperti Sigit Hardwinarto dan Sri Daminingsih, Rismon menduga lembar pengesahannya telah dicabut dan diformat ualng supaya sesuai dengan dengan lembar pengesahan skripsi Jokowi.
Kecurigaan Rismon menguat karena ia menemukan bukti baru, yakni bahwa tanda tangan dosen pembimbing atas nama Ir. Hasanu Simon SU pada lembar pengesahan skripsi kawan Jokowi—yang ditunjukkan UGM pada pertemuan 15 April—berbeda dengan lembar skripsi lain atas nama Suharman, alumnus Fakultas Kehutanan 1986.
“Banyak sekali lembar-lembar pengesahan skripsi di UGM, khususnya di Fakultas Kehutanan, dibiarkan kosong, dengan teknologi Times New Roman yang belum ada saat itu agar sesuai dengan lembar pengesahan skripsi Joko Widodo yang kosong, tanpa tanda tangan,” ujar Rismon.
Data digital skripsi Jokowi pada Electronic Theses & Dissertations (ETD) juga dipertanyakan. Rismon menyebut bahwa selain skripsi Jokowi, tidak ada lagi skripsi-skripsi lain milik alumni Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985 yang diunggah ke ETD UGM yang berisi 250.005 karya akhir mahasiswa UGM.
Informasi itu kemudian dicek kumparan melalui situs etd.repository.ugm.ac.id dan hasilnya serupa.
Selain itu, warganet menyoroti format digital skripsi Jokowi (pdf) yang—berdasarkan metadata—baru dibuat pada Februari 2018 dan diunggah ke ETD pada Februari 2019, dengan pembaruan data pada 16 April 2025.
Terkait kedua hal itu, juga beberapa anggapan adanya keganjilan di skripsi Jokowi, kumparan menghubungi Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius dan Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta. Sigit tak merespons, sedangkan Andi menjawab singkat bahwa “Keterangan UGM [soal Jokowi] cukup dengan rilis pers pada 15 April kemarin.”
Rilis UGM pada 15 April tidak memuat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teknis tersebut; hanya menyebut antara lain bahwa UGM memiliki surat-surat dan dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa Jokowi telah menyelesaikan seluruh proses studinya di UGM selama lima tahun, dari 1980 sampai 1985.
Di sisi lain, pengacara Jokowi pun enggan menanggapi satu per satu dugaan keganjilan skripsi maupun ijazah kliennya. Mereka menilai software yang dipakai untuk menganalisis belum jelas akurasinya.
Yang terpenting, ujar Firmanto, Jokowi benar-benar lulusan Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985 dengan bukti skripsi dan ijazah asli. Apalagi UGM pun telah beberapa kali memberi keterangan bahwa Jokowi adalah alumninya.
“Bapak ingin membuktikan ‘Saya mahasiswa UGM; ini ijazahku, ini skripsiku.’ Kita nggak tahu apakah yang beredar di mana-mana itu angle-nya digelapkan atau dipotong,” kata Firmanto.
Ahli hukum pidana UII Arif Setiawan berpendapat, kewenangan untuk menentukan keaslian ijazah sedianya merupakan ranah perguruan tinggi. Namun, dengan kondisi terbaru yang sudah bergeser ke ranah hukum, maka kewenangan tersebut ikut beralih pula ke proses penyidikan hingga pengadilan.
Uji forensik bakal mengecek apakah tanda tangan dan foto yang ditempel di ijazah Jokowi autentik atau tidak. Jokowi, tegas Firmanto, siap mengajukan dokumen-dokumen untuk uji forensik tersebut.
Ia menantang pihak-pihak yang menuding ijazahnya palsu untuk membuktikannya dalam proses hukum.
Roy Suryo berharap proses hukum kasus ini benar-benar akan berujung saling adu bukti. Ia bakal menolak jika polisi hanya fokus terhadap tudingan fitnah dan pencemaran nama baik, tanpa lebih dulu menguji keaslian ijazah Jokowi.
Sementara Rismon menyatakan siap mempertahankan argumennya andai kasus ini berjalan hingga persidangan dan ia menjadi terdakwa. Rismon mengaku tak gentar bertarung di pengadilan.
Rismon bahkan mengingatkan Jokowi untuk tak mencabut laporan, sebab ia mendengar selentingan kabar ada upaya untuk menawarkan mediasi.
“Pak Jokowi sering kali sen kanan belok kiri; pura-pura dilaporkan, ternyata minta damai. Ada isu-isu seperti itu. Tapi saya nggak mau damai. [Kalau ijazah] palsu ya palsu saja. Bukan karena damai terus palsu jadi asli,” ujar Rismon.
Roy dan Rismon meminta Jokowi konsisten dengan ucapannya yang berjanji menunjukkan ijazah jika diminta pengadilan. Konsistensi itu sebelumnya tak tampak saat sidang mediasi di Pengadilan Negeri Surakarta dalam gugatan yang diajukan pengacara asal Solo, Muhammad Taufiq, pada Rabu (30/4).
Pada sidang mediasi itu, kuasa hukum Jokowi menolak menunjukkan ijazah asli kliennya dengan alasan hal itu privasi dan penggugat tak punya legal standing. Namun, pada hari yang sama, ijazah tersebut justru dibawa Jokowi melapor ke Polda Metro Jaya.
Ada Motif Politis di Balik Isu Ijazah Jokowi?
Kasus tudingan ijazah palsu Jokowi bukanlah barang baru. Isu ini timbul tenggelam beberapa tahun terakhir. Bahkan, menurut eks Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum dalam cuitan di akun X-nya, Jokowi telah sukses mengelola isu ini secara politik selama bertahun-tahun.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menyatakan Solo telah menjadi salah satu episentrum politik nasional semenjak Jokowi menjadi presiden. Terlebih, kini putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi wakil presiden. Maka, tiap tingkah laku keluarga Jokowi akan terus mendapat sorotan.
Meski demikian, Agung tak sepakat dengan anggapan bahwa isu ijazah sengaja dikelola agar Jokowi mendapat sorotan politik. Pasalnya, isu ijazah palsu justru merusak citra positif Jokowi, khususnya di kalangan terpelajar.
“Ketika ada dugaan pemalsuan atau narasi-narasi minor soal kaum terpelajar yang ternyata mencurangi sistem pendidikan, itu menghantam sistem moral masyarakat,” terang Agung.
Agung berpendapat, isu tersebut muncul lagi karena residu ketidakpuasan atas kepemimpinan Jokowi selama dua periode, juga terkait hasil Pilpres 2024.
“Apalagi … semua partai sekarang ke pemerintah. Yang berbeda jadi tidak terwakili dalam sistem formal sehingga mereka membuat kelompok-kelompok independen untuk memastikan aspirasi mereka sampai dan didengar oleh para pihak terkait,” ucapnya.
Menurut Agung, motif politik yang paling logis ialah adanya dugaan untuk memisahkan Jokowi dan Prabowo. Indikasinya, isu yang muncul bukan hanya perkara ijazah palsu Jokowi, tapi juga tuntutan pemakzulan Gibran yang didorong Forum Purnawirawan TNI yang di dalamnya ada eks wapres Jenderal (Purn) Try Sutrisno, eks Kepala BIN Letjen (Purn) Sutiyoso, dan eks Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi.
“Sudah mulai ada arahan-arahan ketika Gibran mendapati serangan bertubi-tubi, mulai dari soal monolog [video], kinerjanya, dan puncaknya Forum Purnawirawan meminta Gibran dimakzulkan. Terlihat bahwa banyak pihak memang ingin memisahkan Pak Prabowo dengan keluarga Solo,” papar Agung.
Agung melihat, kasus ijazah palsu dan permintaan pemakzulan Gibran menjadi ujian bagi keluarga Jokowi menuju Pilpres 2029.
“Tidak ada jaminan bagi Gibran untuk bisa dipilih kembali [jadi cawapres Prabowo] kalau dia tidak bisa menjaga posisi tawar politiknya. Kalau justru malah melemahkan, menjadi bumerang [untuk Prabowo], mana ada presiden yang berkenan didampingi sosok cawapres seperti itu,” kata Agung.
Loyalis Jokowi, Silfester, juga meyakini pihak yang mengembuskan kasus ijazah palsu Jokowi ingin memisahkan eks Walkot Solo itu dengan Prabowo. Walau begitu, ia menegaskan hubungan Jokowi dan Prabowo baik-baik saja.
Silfester juga membantah isu bahwa Gibran sudah ancang-ancang maju sebagai capres di Pilpres 2029. Silfester mengatakan, “Mas Gibran adalah pembantu Presiden. Jadi enggak benar Mas Gibran sudah mulai manuver untuk 2029.”
Di lain pihak, Rismon maupun Roy menegaskan tak punya motif politis di balik gerakan mereka mendorong pengungkapan kasus ijazah palsu Jokowi.
“Bahwa ini akan berimplikasi politik, mungkin,” ujar Roy.
Rismon meminta kasus ijazah ini diproses secara adil dan terbuka. Menurutnya, laporan soal tuduhan ijazah palsu Jokowi telah disampaikan TPUA ke Bareskrim Polri sejak 9 Desember 2024, namun hingga kini belum ada kejelasan. Berbeda dengan laporan Jokowi yang walau baru dilaporkan beberapa hari lalu, sudah masuk tahap penyelidikan.
“Prabowo harus membuktikan bahwa dia lepas dari pengaruh Jokowi. Biarkan pengadilan berjalan adil dan terbuka. Jangan nanti sidangnya malah tertutup,” kata Rismon.
Pakar hukum pidana Arif Setiawan melihat, pertaruhan kasus ijazah Jokowi kini berada di tangan kepolisian.
“Mestinya ada perlakuan sama untuk setiap warga negara. Kalau laporannya memang bisa ditindaklanjuti, ya harus dilakukan penyelidikan,” tutup Arif.