Serikat Guru soal Rencana Buka Sekolah Juli: Bahaya Jika Tak Berdasar Data Valid

17 Mei 2020 14:24 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah.
 Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Foto: Shutter Stock
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai imbas pandemi corona banyak dikeluhkan karena dianggap tak ramah keluarga miskin. Ketersediaan gawai pintar hingga jaringan internet tak menyentuh kalangan ini.
Seorang siswa Sekolah Dasar di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, misalnya sehari-hari harus meminjam ponsel tetangga untuk mengumpulkan tugas melalui WhatsApp. Mau bagaimana lagi, sebab perangkat yang dimiliki orang tuanya tak memadai.
Selain masalah teknis, PJJ juga justru memberi sebagian siswa beban tugas yang kelewat batas, tanpa bekal pemahaman materi dari guru. Alhasil, pada beberapa kasus, orang tualah yang malah mengerjakan tugas tersebut.
Di tengah PJJ yang belum bisa diaplikasikan oleh siswa dan guru dengan baik, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai menggodok rencana untuk membuka kembali sekolah pada pertengahan Juli nanti, seiring pelonggaran pembatasan yang terus digaungkan di berbagai lini.
Rencana membuka sekolah ini didasarkan pada keberhasilan sejumlah penanganan wabah corona di beberapa daerah. Sekolah yang berada di zona hijau, dalam artian aman dari COVID-19, akan diperkenankan untuk beraktivitas seperti semula.
“Sudah dibahas minggu lalu,” kata Plt Dirjen PAUD-Pendidikan Tinggi Pendidikan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, Kamis (14/5).
Menurut Hamid, Gugus Tugas COVID-19 pusat maupun daerah akan menetapkan data wilayah-wilayah mana saja yang sudah aman dari virus corona. Sementara untuk wilayah yang belum aman tetap akan melakukan pembelajaran jarak jauh.
Di lain pihak, Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriawan Salim menganggap pemerintah terkesan buru-buru. Apalagi data yang disajikan oleh pusat maupun daerah sering tak sinkron.
“Jadi harus betul-betul matang pendataannya, validasinya, dan komunikasinya. Kami ragu ketika melihat pola komunikasi di internal pemerintah pusat. Apalagi dengan pemerintah daerah,” ujar Satriawan kepada kumparan.
Jika tidak dikalkulasikan secara matang, keselamatan siswa dan guru menjadi taruhan.
Berikut perbincangan kumparan dengan Wasekjen FSGI Satriawan Salim:
Satriawan Salim, Wasekjen Federasi serikat guru indonesia (FSGI). Foto: Istimewa
Kemendikbud berencana membuka sekolah pertengahan Juli nanti, bagaimana menurut anda?
Bahaya kalau dibuka tanpa data. Walaupun sebentar lagi misalnya hijau (aman dari wabah corona), kami ragu dengan komunikasi pemerintah sekarang—antara Kemenkes dengan Pemda, Gugus Tugas COVID-19, BNPB, komunikasi mereka kacau. Jangan sampai satu wilayah dikategorikan hijau, lalu anak-anak belajar kayak biasa, eh tahu-tahu ada yang positif corona. Bagaimana terus? Mau diliburkan lagi?
Jadi harus matang-matang betul pendataannya, validasinya, dan komunikasinya. Karena kami ragu melihat pola komunikasi di internal pemerintah pusat, apalagi dengan pemerintah daerah. Kalau komunikasi sudah oke, sudah yakin, maka harus disiapkan protokoler kesehatannya. Apa yang harus dipersiapkan?
Pertama, masker. Di sekolah wajib pakai masker karena bagi kami ini belum betul-betul aman. Buktinya di Korea Selatan sudah dilonggarkan, eh muncul lagi kasus baru.
Kedua, harus ada penyediaan hand sanitizer, dan tempat cuci tangan diperbanyak di sekolah. Nah, beli dari mana, anggaran dari mana? Bisa dari dana BOS (bantuan operasional sekolah) karena sudah ada relaksasi dana BOS. Kepala sekolah harus berani. Jangan khawatir nanti ada temuan BPK.
Ketiga, APD. Sekolah harus mempunyai APD di UKS. Seandainya murid ada yang positif, kan guru bukan tenaga medis yang tahu persis penanganannya bagaimana, jadi harus disediakan APD.
Sekarang kita punya “The new normal”. Jadi the new normal itu harus dipersiapkan. Maka jangan dipaksakan Juli masuk. Jangan dulu gegabah buka sekolah. Mentang-mentang dikatakan hijau.
Terkait PJJ yang sudah berjalan dua bulan ini bagaimana anda melihatnya?
Pertama, kekurangan PJJ ini karena bias kelas. Kebijakan Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 memberikan ruang kepada guru-guru untuk melaksanakan PJJ atau BDR—belajar dari rumah. Kenyataannya, kawan-kawan kami melaporkan dari Bima NTB, misalnya, mereka nggak bisa melaksanakan PJJ online.
Jadi, PJJ dibagi dua: PJJ online dan PJJ offline. Kalau yang online di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) mungkin tidak bisa. Di daerah yang jaringan internetnya susah, seperti di Bima, guru tidak bisa melayani anak dengan PJJ online, akhirnya mereka datang mengajar ke rumah anak. Ini kebetulan SMK. Mereka tidak bisa PJJ juga karena orang tuanya tidak mampu. (Mereka) 99 persen anak petani dan tidak mampu. Jaringan internet kadang ada, kadang tidak, dan kalau ada susah banget.
Kedua, misalnya di Bangka, juga seperti itu situasinya di pedalamannya. Mereka harus menyeberangi sungai dan tidak ada jaringan provider di situ. Nggak usah jauh-jauh, di Bogor masih ada 11 persen yang belum bisa mengakses internet sehingga PJJ-nya offline.
Seorang guru mengajar secara online melalui video conference. Foto: REUTERS/Yuddy Cahya Budiman
Jadi, kebijakan PJJ online ini belum disertai pemenuhan kewajiban negara untuk menghadirkan jaringan internet yang baik. Nggak usah jauh-jauh ke daerah 3T atau Bangka atau Bima, di Bogor—yang kota, bukan kabupten—juga begitu. Di Cianjur dan Garut Selatan sama. Gurunya laporan ke saya.
Nah, jadi PJJ yang dilaksanakan selama ini tidak ramah terhadap anak-anak keluarga miskin dan orang tua yang tidak memiliki barang mewah seperti laptop atau gawai pintar. Belum lagi terkait kuota. Ini semakin mengkonfirmasi hasil kajian FSGI dan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) yang pernah kami rilis itu. Kami sudah sampaikan juga pada Kemendikbud dan Kemenag yang hadir waktu itu.
Bisa dijelaskan lagi soal kajian FSGI dan KPAI tersebut?
Dalam kajian FSGI ini, responden kami guru-guru di seluruh Indonesia. Mereka menjawab, misalnya, 53 persen dari mereka masih berorientasi pada penyelesaian kurikulum. Padahal, semangat dari Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020, dan bahkan tertulis di situ secara literal, bahwa guru jangan lagi mengajar pada ketercapaian kurikulum.
Tapi kenyataannya, di lapangan guru-guru kita masih berorientasi pada penyelesaian kurikulum semester dua. Padahal, kalau ada sepuluh bab, atau sepuluh kompetensi dasar (KD) di satu mata pelajaran, dalam keadaannya darurat dan kondisi serba-terbatas dan kritis, tidak mungkin itu tercapai. Oleh karena itu, seadanya saja. Mau beres lima ya lima, enam ya enam. Jangan mengejar keseluruhan.
Karena kalau mengejar kurikulum, maka implikasinya beban ke siswa. Karena masing-masing kompetensi dasar itu ada tagihan nilainya. Satu KD itu nilainya bisa banyak. Bayangkan ada sepuluh KD. Makanya, anak yang jadi terbebani. Guru ikut perintah RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) yang sudah dia siapkan. Mereka sudah menyiapkan, bebannya (jatuh ke) siswa, karena harus memenuhi sepuluh KD.
Bagaimana siswa mau mengumpulkan tugas kalau keadaanya terbatas, aksesnya terbatas? Makanya siswa dalam kajian FSGI juga merasa keberatan dengan metode yang seperti itu. Oleh karena itu, kami mengingatkan lagi surat Mendikbud itu. Jangan lagi mengejar ketercapaian kurikulum. Sudah, seadanya aja. Ini juga meringankan beban guru, tidak hanya siswa.
Kenapa guru kita tidak melaksanakan surat edaran menteri? Berdasarkan analisis kami, ada dua jawaban. Yang pertama adalah faktor kegagalan komunikasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan ke bawahnya, sampai ke guru. Jadi menteri harus intervensi. Tidak hanya menggunakan TVRI dan RRI. Berikan pelatihan-pelatihan.
Kami semangat, kok. Kami akan sambut itu. 58-67 persen dari kami (guru) itu semangat (menghadapi ‘The New Normal’). Kayak di NTB, guru-guru ada yang kasih sembako ke anak-anaknya, coba. Altruistik sekali guru-guru kita.
Begini, sekolah kan sebetulnya tak cuma untuk membangun kemampuan kognitif, tapi juga pengembangan karakter, pergaulan, dan lain sebagainya. Hal-hal ini mungkin hilang selama PJJ. Apakah turut menjadi perhatian?
Sangat. Makanya kami mengusulkan kepada Mas Menteri dan Menteri Agama, bikin kurikulum darurat. Apa pun nomenklaturnya, yang penting kami mengajukan kurikulumnya—kurikulum darurat.
Kurikulum darurat adalah kurikulum yang adaptif terhadap keadaan krisis kayak sekarang. Apakah mengganti kurikulum 2013? Tidak, kita nggak mengganti 2013. Kita hanya memodifikasi kurikulum 2013, menyesuaikan dengan keadaan yang serba-terbatas di tengah keberagaman Indonesia.
Disesuaikan menjadi empat standar pendidikan Indonesia. Kan total ada delapan, empat saja yang kita sesuaikan. Pertama, standar isi atau bab atau jumlah materi. Kalau kurikulum normal ada sepuluh tagihan, sekarang jangan ada sepuluh. Lima saja. Turunkan, longgarkam.
Kedua, standar proses. Pada hari-hari biasa kita tahu kalau anak itu lagi marah, misal. Kita ngajarnya enak karena bertemu. Dia lagi sedih, dia mau curhat, dia lagi nge-bully temannya, ketahuan kan sama guru. Sekarang nggak, karena tak tatap muka. Tidak bisa kita melaksanakan proses secara ideal sekarang ini. Berarti standar prosesnya harus diadaptasikan.
Ketiga, standar penilaian. Apakah bisa kita membangun karakter, membangun nilai-nilai moral, melalui pembelajaran virtual yang semuanya terbatas? Selama ini guru menilai tiga aspek komponen: pengetahuan kognitif, sikap afektif, dan keterampilan psikomotorik. Tapi bagaimana menilai sikap anak, wong nggak pernah ketemu. Dia lagi marah nggak ketahuan, dia mau curhat nggak bisa. Nah, sekarang standar penilaiannya berubah.
Apalagi anak SMK, lebih pusing lagi. Anak SMK kan dominan keterampilan, praktik. Gimana mau praktik sekarang? Keluar rumah kan nggak boleh. Di rumah nggak ada (oprekan) otomotif. Jadi terbatas semua.
Pembangunan karakter akhirnya terbatas. Atau malah bisa dikatakan tidak bisa lagi. Penilaian sikap sangat parsial, enggak holistik. Yang bisa dinilai itu pengetahuan. Keterampilan nggak bisa, sikap juga nggak. Penilaian pengetahuannya juga tidak holistik.
Siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan kegiatan belajar mengajar menggunakan internet di Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (1/4/2020). Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Bagaimana saran FSGI terkait pembelajaran ke depan?
Skenario dari FSGI, untuk lebih aman, bisa saja tahun ajaran baru (tetap) Juli, tapi pembelajaran ke depan, satu semester atau setidaknya sampai September atau Oktober, kita online. Itu lebih aman ketimbang memilih skenario kedua, yang nggak kami harapkan, yaitu menggeser tahun ajaran baru ke Januari. Itu sama saja dengan membunuh pelan-pelan sekolah swasta.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.