Sesumbar Firli Bahuri soal Tuntutan Mati Juliari Tinggal Mimpi?

25 Agustus 2021 10:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12). Foto: Humas KPK
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Firli Bahuri menggelar konferensi pers terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) tindak pidana korupsi pada program bantuan sosial di Kementerian Sosial untuk penanganan COVID-19 di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12). Foto: Humas KPK
ADVERTISEMENT
Palu hakim untuk Juliari Batubara sudah diketok. Tidak ada vonis pidana mati bagi mantan Menteri Sosial itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan, tidak ada tuntutan mati dari KPK. Padahal, Ketua KPK Firli Bahuri pernah sesumbar mengenai tuntutan mati bagi mereka yang korupsi dana bansos.
Pengadilan Tipikor Jakarta 'hanya' menghukum Juliari Batubara dengan hukuman 12 tahun penjara. Ia dinilai terbukti bersalah menerima suap senilai Rp 32 miliar dari para vendor bansos COVID-19 untuk wilayah Jabodetabek.
Juliari juga dijatuhi hukuman tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp 14.597.450.000. Hak politik politikus PDIP itu pun dicabut selama 4 tahun.
Vonis ini bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa KPK. KPK hanya berani menuntut 11 tahun penjara pada Juliari Batubara.
Tuntutan itu hampir setengah dari ancaman maksimal Pasal 12 b UU Tipikor yang dijeratkan pada Juliari Batubara. Ancaman maksimal pada pasal itu ialah penjara seumur hidup atau 20 tahun.
ADVERTISEMENT
Atas vonis 12 tahun penjara itu pun KPK menyiratkan tidak akan banding. Sebab, sudah lebih dari tuntutan.
KPK hanya akan ikut banding, bila pihak Juliari Batubara mengajukan banding terlebih dahulu.
"Kalau terdakwa terima, saya rasa kita juga harus fair, kita sudah melihat apa yang kita tuntut sudah dipenuhi oleh hakim," ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan, Selasa (24/8).
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Sikap KPK ini memupuskan dalam-dalam harapan publik atas hukuman maksimal bagi pelaku korupsi bansos di tengah pandemi. Terlebih, bila mengacu pada sesumbar Firli Bahuri soal tuntutan pidana mati:
"Kembali saya ingatkan, jangan pernah berpikir, coba-coba atau berani korupsi dana bansos. KPK pasti akan mengambil opsi tuntutan hukuman mati."
Ya, Firli Bahuri sedari jauh hari tepatnya di awal pandemi sesumbar soal ancaman maksimal untuk pelaku korupsi bansos, tepatnya pada 29 Agustus 2020.
ADVERTISEMENT
Bahkan Firli Bahuri sempat mengultimatum pihak-pihak yang mencoba menyelewengkan dana bansos bakal berhadapan dengan KPK. Ia tak main-main, pelaku bakal dituntut hukuman mati sesuai Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.
Pada saat konferensi pers, Firli Bahuri memberi isyarat untuk menjerat dia dengan hukuman mati. Hanya saja penyidik akan mengkajinya lebih dulu sebelum menggunakan pasal tersebut. Sebab, delik yang tengah diusut KPK saat itu adalah suap, berbeda dengan pasal yang mengatur soal hukuman mati.
Menteri Sosial Juliari P Batubara didampingi Ketua KPK Komjen Firli Bahuri mengecek distribusi bansos sembako di Jakarta Selatan. Foto: Kemensos RI
Namun demikian, hingga palu hakim diketuk, Juliari Batubara hanya dijerat pasal suap. Tuntutan dan vonis pun tidak sesuai dengan ancaman maksimal.
ICW kemudian menyoroti hal tersebut. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai pernyataan Firli Bahuri soal hukum berat pelaku korupsi bansos hanya sesumbar belaka.
ADVERTISEMENT
"Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos COVID-19," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana beberapa waktu lalu.
Meski begitu, KPK saat ini tengah melakukan penyelidikan baru terkait korupsi bansos. Namun belum diketahui perkara apa yang sedang diusut KPK, apakah terkait suap kembali atau terkait pengadaan yang merugikan negara. KPK belum menjelaskannya.
Masih terbuka kemungkinan bagi KPK menerapkan Pasal 2 UU Tipikor yang mengatur soal pidana mati. Apakah KPK berani menerapkannya?