Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Patrice Rio Capella tak mampu menyembunyikan gondoknya. Suaranya serbakeras, nadanya serbatinggi. Berkali-kali muncul di media, berkali-kali pula ia berang. Tak terkecuali saat ditemui kumparan di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (5/9).
ADVERTISEMENT
Menurutnya, larangan pencalonan legislatif yang dikeluarkan KPU bagi mantan narapidana korupsi , bandar narkotika, dan peleceh seksual terhadap anak tak berdasar.
“Tidak ada itu peraturan mengalahkan konstitusi. Apa pangkatmu --KPU-- bisa melarang kita (kami)?” ujar eks sekjen NasDem itu.
“Kita” yang Patrice maksud itu ialah para bekas koruptor yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2019.
Patrice sendiri tak turut serta di Pileg 2019. Meski begitu, ia --yang awal September kemarin baru saja dicabut hak politiknya selama tiga tahun-- tetap menggugat Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPR dan DPRD ke Mahkamah Agung.
“Saya bicara keras bukan karena saya mau nyaleg. Saya ngomong bahwa tindakan yang dilakukan KPU itu salah. Kalau mau benar, ini bukan soal konten, kita bikin road map dalam pemberantasan korupsi,” ujar Patrice memberi alasan.
Selain Patrice, ada sederet bekas narapidana korupsi yang menggugat peraturan serupa ke MA. Mereka adalah Sarjan Tahrir, Al Amin Nur Nasution, Wa Ode Nurhayati, M. Taufik, dan Darmawati Dareho. Patrice sampai Al Amin memang tak nyaleg di 2019. Namun, beda cerita dengan Taufik dan Dareho.
ADVERTISEMENT
Taufik dan Dareho hanyalah dua dari 204 nama bakal calon legislatif di seluruh Indonesia yang pernah menjadi narapidana korupsi. Nama-nama ini masuk dalam Daftar Caleg Sementara (DCS) dan telah dikembalikan oleh KPU ke partai masing-masing. Nama-nama tersebut wajib diganti kader lain yang bebas pidana korupsi sebelum masa kampanye dimulai pada 23 September.
Tentu saja, tak semua partai menuruti keputusan KPU tersebut. Sambil menunggu hasil putusan MA, tak sedikit partai bersama bakal caleg yang mengajukan gugatan ke Badan Pengawas pemilu daerah masing-masing, supaya nama kader mereka tetap masuk dalam peserta Pileg 2019.
Dengan kewenangan ajudikasinya, Bawaslu tak ragu mengabulkan gugatan caleg-caleg bekas koruptor. Bawaslu berpendapat, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 berbenturan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan “bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/UU 13/ 2015 dan nomor 51/PU15/2016.”
ADVERTISEMENT
Menurut data yang dihimpun Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), sampai 9 September 2018, terdapat 34 caleg mantan terpidana korupsi yang telah diloloskan Bawaslu di seluruh Indonesia. Angka itu naik hampir tiga kali lipat dibandingkan awal minggu lalu dan diprediksi terus meningkat sampai putusan MA soal gugatan PKPU diketok palu.
Pasal 4
(1) Partai Politik dalam mengajukan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota mempunyai hak, kesempatan, dan menerima pelayanan yang setara berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap Partai Politik melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART, dan/atau peraturan internal masing-masing Partai Politik.
ADVERTISEMENT
(3) Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.
Intinya, Pasal 4 ayat (3) PKPU Nomor 20 itulah yang menjadi musabab geger politik Indonesia kali ini. Buat penggugat, yakni para bekas koruptor, ayat tersebut melanggar hak asasi mereka sebagai warga negara yang telah menebus kejahatan korupsi di tahanan.
Sementara bagi KPU dan pendukungnya, tak ada HAM yang dilanggar. Subjek peraturan bukanlah perseorangan yang dilarang nyaleg, melainkan partai yang diminta melakukan seleksi internal agar tak ada mantan napi tiga kejahatan amoral seperti yang disebut pada ayat tersebut.
Kedua pandangan itu, koruptor maupun KPU, punya landas argumen masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, upaya mencegah bekas koruptor memegang posisi publik sudah terjadi sejak proses pembentukan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Saat itu, KPU dan sederet lembaga swadaya masyarakat telah mendorong agar catatan bersih dari pidana korupsi, pelecehan seksual terhadap anak, dan bandar narkotika, menjadi syarat wajib calon kepala daerah.
Meski begitu, pada akhirnya proses pembahasan dan lobi di DPR hanya menyematkan bebas kasus pelecehan seksual terhadap anak dan bebas penyebaran narkoba sebagai syarat wajib calon kepala daerah. Sementara, syarat bebas korupsi gagal masuk undang-undang.
KPU lewat PKPU Nomor 9 Tahun 2016 tentang pencalonan kepala daerah yang terbit melengkapi UU Pilkada, tak mampu berbuat banyak. Hadar Nafis Gumay, komisioner KPU waktu itu, mengatakan PKPU dikeluarkan sebagai implementasi UU Pilkada yang telah secara tegas hanya melarang kejahatan seksual terhadap anak dan peredaran narkotik.
ADVERTISEMENT
Ikhtiar menjauhkan gelanggang pemilu dari para mantan koruptor diupayakan kembali di UU Pemilu, yang sebenarnya mengatur tiga pemilu berbeda --presiden/wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD. Upaya saat itu gagal.
Bahkan, syarat bersih dari pidana pelecehan seksual dan peredaran narkoba juga tak masuk UU Pemilu. Sementara, pelarangan mantan koruptor hanya disematkan pada calon presiden dan wakil presiden melalui Pasal 169 huruf d. Ironisnya, Setya Novanto, yang saat itu berstatus tersangka korupsi e-KTP, mengetok palu dan mengesahkan UU Pemilu.
Semacam blessing in disguise, ketidaksetaraan syarat bebas pidana korupsi yang muncul untuk capres/cawapres tapi tidak untuk DPR, DPD, dan DPRD, membuat KPU memiliki basis argumentasi kuat untuk memasukkan syarat-syarat tersebut ke dalam Peraturan KPU.
ADVERTISEMENT
“Sekarang ini dalam satu undang-undang, tapi diatur berbeda. Jadi perlu dibuat setara dan adil,” komentar Hadar yang kini telah purnajabatan dari KPU dan menjadi pegiat NETGRIT.
Namun sebelum final menjadikan PKPU sebagai jalan keluar, ada opsi memasukkan semangat antikorupsi bagi para caleg dalam wadah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Walau begitu, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, ide tersebut terbentur ketiadaan situasi darurat yang mendesak. Menurut pemerintah, keadaan mendesak adalah necessary factor dalam proses pembuatan sebuah perppu.
Gerilya pertama yang dilakukan KPU adalah melalui PKPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang pencalonan perseorangan anggota DPD. Dalam Bab VIII soal Syarat Calon, pada Pasal 60 ayat (1) huruf j, calon anggota DPD harus memenuhi persyaratan “bukan Mantan Terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.”
ADVERTISEMENT
Diundangkan pada 12 April 2018, PKPU tersebut tak jadi masalah sampai beberapa bulan setelahnya.
Langkah kedua KPU adalah membentuk PKPU Nomor 20 yang mengatur soal pencalonan DPR dan DPRD. Namun, tak seperti PKPU DPD yang berjalan lancar, ide KPU menjauhkan mantan koruptor dari pemilu legislatif untuk DPR dan DPRD mendapati banyak tentangan.
Awalnya, syarat bahwa mantan narapidana korupsi (juga peleceh seksual dan bandar narkotik) tak boleh menjadi caleg termaktub di Pasal 7 huruf h tentang Persyaratan Bakal Calon. Di sinilah konflik dimulai. Baik Bawaslu, Komisi II DPR, sampai Kemenkumham tak setuju dengan pelarangan ini.
“Batal demi hukum,” ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Selasa (26/6).
Upaya meloloskan PKPU Nomor 20 tak berhenti. Nomenklatur diubah di akhir-akhir proses pembahasan PKPU, dari sebelumnya berada di Pasal 7 huruf h di bagian Persyaratan Bakal Calon, menjadi ke Pasal 4 soal Pengajuan Bakal Calon.
ADVERTISEMENT
Dengan menggeser poin ini, PKPU tak lagi melarang bekas koruptor nyaleg, melainkan mewajibkan partai melakukan seleksi yang output-nya tak menyertakan mantan napi sebagai kader yang diajukan untuk pemilihan legislatif.
Tentu saja, menurut beberapa sumber kumparan, hal itu dilengkapi dengan lobi-lobi KPU terhadap petinggi partai yang berhasil diyakinkan bahwa PKPU tak bertujuan untuk menghantam satu kubu atau kubu lainnya.
Desakan ke (dan dari sejumlah) petinggi Kemenkumham juga menjadi katalis pengundangan PKPU. Menurut sumber yang tak mau disebut namanya, sebagian internal Kemenkumham mengantisipasi bila KPU tetap nekat menjalankan PKPU walau belum diundangkan --dengan argumen Mahkamah Konstitusi melakukan hal serupa.
Bila sampai terjadi, hal itu ditakutkan menjadi preseden buruk bagi lembaga lain, dan Kemenkumham tak mau ambil risiko.
ADVERTISEMENT
Yasonna pun akhirnya melunak. Apabila polemik semakin keras, angin dukungan berbasis moral masyarakat luas tetap akan memihak KPU. “Sekarang tanggung jawab itu dikasih kepada partai politik untuk men-screen. Kami sahkan dan kami serahkan kepada masyarakat.”
Yang kini tersisa justru seteru antara KPU dan Bawaslu. Sementara KPU menyebar edaran bahwa PKPU terus berlaku, Bawaslu henti meloloskan bakal caleg koruptor yang menggugat statusnya di DCS KPU.
Menurut Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, “Polemik ini adalah polemik yang tidak produktif dan merugikan secara kelembagaan. Harusnya persoalan tuntas manakala PKPU itu sudah diundangkan, apa pun materinya.”
Berdasarkan UU Pemilu, Bawaslu berkewenangan memeriksa, menindaklanjuti laporan, mengkaji, sampai mengajudikasi pelanggaran dan sengketa proses pemilu dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilu --termasuk di dalamnya PKPU-- sebagai landasan.
ADVERTISEMENT
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, menyadari hal ini. Ia sepakat bahwa tugas Bawaslu terikat oleh PKPU. Meski begitu, Rahmat menilai standar operasional itu tidak bisa dilihat sama rata, melainkan harus kasus per kasus.
“Aturan yang melandasi kinerja kami adalah Undang-Undang Nomor 7 (UU Pemilu). Kalau tugas kami adalah UU, tapi dalam mengawasi, salah satu konsideran kami adalah PKPU. PKPU melaksanakan itu atau tidak?” kata Rahmat.
Menurutnya, “Ada tabrakan (antara PKPU dan UU Pemilu), dan ketika tabrakan terpaksa mengikuti UU. Ada case-in-case. Jadi tidak in general.”
Meski begitu, tanda-tanda ujung konflik bukannya tak terlihat. Pertemuan tripartit antara KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menghasilkan dua simpulan umum: 1) mendorong MA segera memutus, dan 2) mendesak parpol yang telah menandatangani Pakta Integritas untuk tidak mencalonkan mantan napi korupsi --yang sebenarnya sama saja dengan poin PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
ADVERTISEMENT
------------------------
Simak selengkapnya Awas Caleg Koruptor! di Liputan Khusus kumparan.