Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Amien menyorongkan nama kepada Prabowo: Denny Indrayana—pakar hukum tata negara dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM era Susilo Bambang Yudhoyono yang belum lama ini meluncurkan buku Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Prabowo lalu menjawab pendek di ujung telepon, “Saya sami’na wa atho’na (mendengar dan taat).”
Ucapan per telepon Prabowo dan Amien itu diceritakan salah satu Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Dian Islamiati Fatwa, saat berbincang dengan kumparan di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (12/6).
Perbincangan Amien dan Prabowo itu menjadi awal penyusunan strategi kubu Prabowo-Sandi dalam mengajukan gugatan sengketa hasil Pilpres di MK.
Kubu Prabowo menghadapi waktu sempit, sebab tenggat untuk mendaftarkan permohonan gugatan ke MK kala itu hanya tersisa dua hari.
Sehari sebelumnya, Rabu (22/5), Direktur Komunikasi dan Media BPN Prabowo-Sandi, Hashim Djojohadikusumo yang juga adik Prabowo, mengumpulkan beberapa pengacara di Kantor BPN yang berada di seberang rumah Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.
Di antara para pengacara itu tampak Denny Indrayana, Bambang Widjojanto, dan Irmanputra Sidin. Mereka, masih pada hari yang sama, lantas melanjutkan pertemuan di kawasan Sudirman untuk merancang strategi sengketa pemilu di MK.
Sumber di BPN menyebutkan, semula Hashim menunjuk pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin sebagai koordinator pengacara Tim Hukum Prabowo-Sandi, dengan Otto Hasibuan duduk dalam tim. Namun formasi itu kandas karena Irman tak segera menyerahkan draf permohonan.
Selain itu, Otto kemudian dirasa kurang cocok karena ia lebih mendalami perkara pidana. Konsep yang dibawa Otto, menurut sumber tersebut, bukan permohonan selisih suara, melainkan uji materi (judicial review) perundangan.
Alhasil, Otto mundur dari Tim Hukum Prabowo-Sandi.
“Saya pastikan tidak ikut dalam sengketa Pilpres,” ujar Otto dalam siaran persnya, tanpa menyebut alasan pengunduran dirinya. Ia tak merespons telepon kumparan, dan tak dapat dijumpai di kantornya.
Kamis malam, 23 Mei, Tim Hukum Prabowo-Sandi akhirnya terbentuk.
“Diputuskan (yang jalan) timnya Mas Denny, termasuk (di dalamnya) beberapa ahli hukum yang hadir di Sudirman. Mereka lalu menyiapkan draf,” kata Dian.
Beberapa ahli hukum itu antara lain Iwan Satriawan, Iskandar Sonhaji, Teuku Nasrullah, Dorel Almir, dan Zulfadli. Nama-nama mereka, bersama Denny Indrayana dan Bambang Widjojanto, kini tertera sebagai anggota Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi dalam permohonan gugatan hasil Pilpres 2019 ke MK.
Nama Bambang Widjojanto tak muncul tiba-tiba. Mantan Wakil Ketua KPK itu memang kerap berkomunikasi dengan kubu Prabowo.
“Mas BW (Bambang Widjojanto) banyak komunikasi dengan saya, dengan Pak Prabowo, dengan Bang Sandi,” ujar Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Azhar kepada kumparan, Kamis (13/6).
Sementara Denny Indrayana—yang namanya direkomendasikan Amien Rais—memang berminat untuk bergabung dalam Tim Hukum Prabowo-Sandi.
Selain lewat Amien Rais, niat Denny untuk membantu kubu Prabowo ia sampaikan lewat pesan singkat kepada Jubir BPN Andre Rosiade. Andre lalu meneruskan pesan itu kepada Sandiaga.
Tim Hukum Prabowo-Sandi diadang waktu yang sempit. Sebab, saat itu batas waktu pengumpulan bukti ke MK tinggal satu hari, yakni Jumat (24/5) pukul 23.59 WIB. Tak pelak, dengan hanya 24 jam tersisa, mereka lekas menggelar kerja kilat.
“Akhirnya kerja ‘Roro Jonggrang’ pun dilakukan,” kata Dian.
Yang ia maksud: semua bukti mesti rampung disusun dalam semalam, macam Pangeran Bandung Bondowoso harus membangun seribu candi dalam semalam untuk Roro Jonggrang.
Dalam tim itu, Dian tak termasuk kuasa hukum Prabowo-Sandi. Ia kebetulan Sekretaris Jenderal Relawan Tim IT BPN, sehingga ia memberikan bantuan data berdasarkan pengalaman sebulan sebelumnya mengadukan dugaan kecurangan Pilpres 2019 ke Badan Pengawas Pemilu—dan ditolak.
Itu sebabnya Dian diajak Denny Indrayana ke Kertanegara untuk ikut merancang gugatan hasil Pilpres. Bukti yang sempat dibawa Dian ke Bawaslu lalu menjadi bahan tambahan bagi Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi.
Mereka kemudian mengebut penyusunan kerangka permohonan dan menambahkan alat bukti pada draf gugatan. Beban kerja mereka berlipat karena gugatan ke MK yang menjadi pintu terakhir untuk memenangkan Prabowo-Sandi, dianggap akan sia-sia saja.
Para Juru Bicara BPN bahkan sempat menyebut bahwa Prabowo tak akan mengajukan gugatan lewat jalur hukum ke MK.
Meski demikian, dua hari sebelumnya, Selasa (21/5), Prabowo sesungguhnya telah mengundang sejumlah pakar hukum ke markas BPN di Kertanegara. Itu secara tak langsung menjadi sinyal bahwa ia akan tetap menggugat hasil Pilpres ke MK.
Benar saja, Kamis sore saat bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla, Prabowo menyatakan sepakat untuk menempuh jalur hukum ke MK. Dan malam harinya, ia bertelepon dengan Amien Rais hingga Tim Kuasa Hukum solid terbentuk.
Jumat esoknya, BPN akhirnya mengumumkan sikap bakal maju ke MK. Pukul 22.30 malam atau satu jam setengah sebelum tenggat berakhir, mereka tiba di MK dengan dikomando Bambang Widjojanto yang membawa draf gugatan.
Bambang Widjojanto menekankan, laporan timnya bukan hanya bentuk formalitas dari pasangan capres-cawapres yang kalah, tapi untuk memastikan Pemilu 2019 dicatat sejarah sebagai peristiwa demokrasi yang jujur dan adil. Maka, ia berharap MK menguak dugaan kecurangan pemilu dengan metode mendalam.
“Kami mencoba mendorong MK agar bukan menjadi sekadar Mahkamah Kalkulator yang bersifat numerik, tapi memeriksa betapa kecurangan itu semakin dahsyat,” tegas BW dalam konferensi pers usai memasukkan gugatan Pilpres ke MK.
Tim Kuasa Hukum Prabowo menuntut MK untuk memutuskan bahwa perolehan suara yang benar adalah penghitungan versi BPN, yakni 48 persen suara untuk Jokowi-Ma’ruf Amien dan 52 persen suara untuk Prabowo-Sandi.
Mereka juga meminta Jokowi-Ma’ruf didiskualifikasi dengan alasan telah melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), dan karenanya—pada tuntutan berikutnya—meminta Prabowo-Sandi ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih 2019.
Draf gugatan yang disampaikan Tim Kuasa Hukum Prabowo-Sandi ke MK terdiri dari 37 halaman. Sebagian menggunakan kliping berita dari media online sebagai alat bukti. Kliping itu digunakan sebagai dalil untuk menyusun lima argumen pembuktian kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan Jokowi-Ma’ruf.
Kelima argumen kualitatif itu ialah: penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program kerja pemerintah, ketidaknetralan aparatur negara yakni polisi dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, pembatasan kebebasan media, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
Adapun contoh kasus yang dilampirkan antara lain kebijakan Jokowi untuk menaikkan gaji pegawai negeri sipil dan anggota TNI serta Polri; menjanjikan pembayaran gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) lebih awal; menaikan gaji perangkat desa, dan mencairkan dana bantuan sosial.
Dicantumkan pula soal tebang pilih penyelesaian dugaan kasus pelanggaran pemilu seperti ucapaan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meminta aparatur sipil negara untuk menyampaikan keberhasilan Jokowi. Tjahjo mengatakan itu dalam Rapat Koordinasi Pengembangan SDM Kepala BPSDM se-Indonesia di Yogyakarta, awal Maret.
Sementara argumen kuantitatif dalam dokumen gugatan Tim Kuasa Hukum Prabowo -Sandi menyebut bahwa Komisi Pemilihan Umum sebagai termohon, gagal melaksanakan pemilu dengan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia (Luber Jurdil) seperti tertuang dalam konstitusi.
KPU dianggap abai dengan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif. Oleh sebab itu BPN meminta MK memutuskan hasil pemilu tidak sah, memutus Jokowi-Ma’ruf melakukan kecurangan dak karenanya layak didiskualifikasi.
Argumen kuantitatif pada gugatan 2019 ini jauh berbeda dengan sengketa hasil Pilpres 2014 kala Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa. Kala itu, gugatan Prabowo-Hatta sejak awal langsung menyasar penghitungan suara. Mereka mempermasalahkan hasil penghitungan resmi KPU.
Berdasarkan catatan KPU, Prabowo-Hatta meraup 62.576.444 suara atau 46,85 persen suara, sedangkan Jokowi-JK 70.997.883 suara atau 53,15 persen. Prabowo-Hatta kalah dari Jokowi-JK dengan selisih 8.421.389 suara atau 6,3 persen.
Namun, Tim Hukum Prabowo-Hatta menuding terdapat penggelembungan jumlah Daftar Pemilih Khusus Tambahan di sejumlah wilayah yang menjadi kantong kemenangan Jokowi-JK. Pada 155 tempat pemungutan suara di daerah-daerah itu, perolehan suara Jokowi-JK disebut meningkat 1,5 juta, sedangkan Prabowo-Hatta menyusut1,2 juta suara.
Kubu Prabowo-Hatta mengklaim unggul di angka 50,25 persen dari Jokowi-JK yang menurut mereka mestinya mengantongi 49,74 persen suara saja. Data dan angka versi mereka, dari Aceh hingga Papua, dijabarkan rinci hingga 128 lembar, mulai halaman 16 sampai 144 dalam dokumen gugatan.
Tetapi akhirnya MK memutus untuk menolak sepenuhnya gugatan hukum Prabowo-Hatta.
Argumen kuantitatif dalam gugatan Prabowo pada Pemilu 2014 itu kini tak menonjol pada draf Tim Hukum Prabowo-Sandi yang menitikberatkan pada aspek kualitatif. Bila pada 2014 Prabowo menggugat pelaksanaan pemilu yang merugikan perolehan suaranya, sekarang ia menggugat penyalahgunaan kekuasaan oleh capres lawan yang juga petahana.
Perubahan itu ditampik Denny Indrayana sebagai perubahan strategi tajam. Menurutnya, gugatan yang dirancang kali ini tak jauh berbeda, yakni penggabungan materi kualitatif dan kuantitatif.
“Dua-duanya, kualitatif dan kuantitatif, ada dalam permohonan. Masalah suara, kita gunakan. Masalah kecurangan yang TSM (terstruktur, masif, sistemik) itu pun kita gunakan. Sengketa hasil pemilu kan memang selalu begitu,” kata Denny kepada kumparan di kantornya di kawasan Sudirman, Jakarta , Rabu (12/6).
Walau begitu, aspek kuantitatif baru ikut dilaporkan ketika Tim Hukum Prabowo-Sandi menyusulkan perbaikan permohonan gugatan pada Senin (10/6), dua minggu lebih setelah pengajuan gugatan masuk ke MK. Pada dokumen perbaikan itu, jumlah halaman bertambah dari 37 halaman menjadi 146 halaman.
Di dalamnya, BPN punya klaim data yang menyebut mereka mengungguli Jokowi-Ma’ruf pada angka 52 persen.
Klaim kemenangan 52 persen tersebut didasarkan pada penghitungan di formulir C1 milik internal BPN Prabowo-Sandi. Lembar C1 itu berisi catatan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Selain itu, dalam gugatan dicantumkan bahwa terdapat TPS siluman dan Daftar Pemilih Tetap fiktif. Soal TPS siluman, BPN mencatat ada selisih 2.984 TPS antara jumlah awal TPS yang ditetapkan KPU, dengan yang tercatat pada sistem informasi penghitungan KPU; juga ditemukan 5.268 TPS dengan hasil nol suara untuk Prabowo-Sandi.
Sementara soal DPT fiktif, BPN menyebut adanya perbedaan jumlah pemilih pada Pilpres 2019 dengan pada pilkada yang sebelumnya digelar di beberapa daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbedaan itu lantas dianggap BPN sebagai indikasi kecurangan kuantitatif.
Denny Indrayana optimistis bisa memberikan bukti kuat dalam persidangan. “Lebih etis kalau saya sampaikan di depan sidang,” ujarnya.
Profesor hukum yang meraih gelar doktoral dari Melbourne Law School itu menyatakan bahwa draf gugatan ke MK tersebut, dari sisi hukum sampai urusan redaksional, telah disusun timnya secara cermat meski dilakukan dengan cepat.
Di pundak Denny dan BW kini tertumpu harapan BPN Prabowo-Sandi. Keduanya dianggap mumpuni di bidang hukum sehingga diyakini mampu membuktikan kecurangan kubu lawan.
Terlebih, BW pernah memenangkan sengketa pilkada saat mengajukan permohonan diskualifikasi terhadap pemenang Pemilihan Bupati Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah.
BW kala itu berhasil membatalkan kemenangan pasangan Sugianto Sabran-Eko Sumarno dan membawa kliennya, Ujang Iskandar-Bambang Purwanto, menduduki kursi bupati melalui putusan MK. Saat itu, Sugianto-Eko mengantongi 67.199 suara, mengungguli Ujang-Bambang yang hanya beroleh 55.281 suara.
Namun kemudian pada Pilkada Kotawaringin Barat itu, faktor pelanggaran sistematis memang terlihat jelas. Relawan Sugianto-Eko yang teregistrasi, misalnya, terdaftar sebanyak 78.238 suara atau 62,09 persen dari jumlah pemilih.
Selain itu, terdapat anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan 168 relawan yang berstatus aktif sebagai pegawai negeri sipil.
Maka, BW ketika itu berhasil menghadirkan bukti yang meyakinkan hakim untuk memutuskan bahwa terdapat kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif pada Pilkada Kotawaringin Barat, dan dengan demikian mendiskualifikasi pemenang pilkada.
Akan tetapi, bukan berarti capaian BW bakal semudah itu terulang. Sebab, BPN pernah melayangkan gugatan kecurangan sejenis ke Bawaslu pada awal Mei untuk diproses, namun ditolak.
Bawaslu menganggap BPN gagal memberi alat bukti pendukung selain kliping berita. Padahal, bukti-bukti kuat harus dijabarkan minimal pada 50 persen dari provinsi di Indonesia.
Kini, sidang sengketa Pilpres 2019 telah dimulai di Mahkamah Konstitusi. Nasib Prabowo dan Sandi akan ditentukan.