Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Menjaga citra sebagai partai dakwah tentu tak mudah. Tapi Partai Keadilan Sejahtera sejak awal telah mengambil risiko itu: menggabungkan dakwah dan politik.
ADVERTISEMENT
Maka wajar jika kecamuk di tubuh partai itu berlangsung panjang. Selama 20 tahun napasnya, PKS tampak masih mencari cara bagaimana mentransformasikan dakwah dalam politik, atau sebaliknya, agar seiring sejalan.
Ia tercoreng ketika ditimpa berbagai kasus, mulai asusila hingga korupsi. Tahun 2011, publik geger ketika salah satu kader PKS yang duduk di DPR kedapatan menonton video porno. Disusul tahun 2013, Luthfi Hasan Ishaaq, presiden PKS saat itu, terjerat kasus suap impor daging sapi.
Pada 2015, kader PKS lainnya, Gatot Pujo Nugroho, tersangkut empat kasus korupsi sekaligus saat menjabat gubernur Sumatera Utara. Kini, kasus terbaru menimpa legislator PKS Yudi Widiana yang menggunakan istilah agama seperti liqo dan juz sebagai sandi korupsinya.
PKS bukan saja tak jauh dari kasus hukum, tapi juga pertikaian di internal partai. Mulai dari faksionalisasi yang kerap disederhanakan menjadi kubu Sejahtera dan kubu Keadilan, hingga perkara personal macam sengketa Fahri Hamzah-Sohibul Iman yang belum kunjung usai.
ADVERTISEMENT
Di tengah sengkarut kasus dan jumlah suara yang mentok di angka 7 persen, PKS mesti tetap mengejar target 12 persen suara nasional dan jabatan cawapres di Pemilu 2019.
Bagaimana kemudian mereka mengambil langkah-langkah politik untuk mengamankan itu semua? Apakah PKS tak mungkin berpaling dari Gerindra, kawan koalisinya selama ini? Mengapa begitu banyak nama cawapres yang disodorkan? Bagaimana Sohibul Iman, Presiden PKS saat ini, akan menakhodai partai itu?
“Istikamah (teguh pendirian dan konsisten). Karena saya yakin kalau (partai) istikamah, jadi besar. Kalau enggak istikamah, malah enggak besar,” tegas Sohibul.
Berikut perbincangan kumparan dengan Presiden PKS Sohibul Iman di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan, Kamis (24/4):
Berpolitik secara Islam itu seperti apa? Apakah PKS sudah melakukannya?
ADVERTISEMENT
Buat kami, berpolitik adalah berdasarkan keyakinan kami: Islam. Ini (berpolitik) bagian integral dari Islam itu sendiri. Jadi, politik itu tidak bisa dipisahkan dari keberislaman kami. Karena itu kami masuk ke wilayah politik. Ini cerminan dari keinginan kami untuk melaksanakan Islam secara lebih sempurna.
Nah, apakah PKS sudah menjalankan itu semua? Saya kira selain Nabi Muhammad SAW, tidak akan ada yang bisa sesempurna itu. Tetapi kami selalu ikhtiar. Tugas kami adalah ikhtiar. Masalah tercapai atau tidak, itu tentu tergantung kehendak Allah dan banyak faktor lain. Tapi kami selalu ikhtiar.
Ikhtiar seperti apa?
Misalnya, kami di PKS ada istilahnya program pembinaan yang sifatnya kolektif maupun individu. Secara kolektif, kami umumnya sepekan atau dua pekan sekali mengadakan gathering dalam taklim (pengajian). Kami mengadakan kajian-kajian untuk saling mengingatkan di antara kami.
ADVERTISEMENT
Tapi juga, yang lebih kami dorong itu tarbiah dzatiyah yaitu pembinaan diri sendiri. Itu kami lakukan di rumah, di mana pun. Kami didorong menjalankan hal-hal yang bisa memperkuat nilai-nilai kami (seperti) baca Al-Quran. Itu menjadi satu rutinitas di PKS. Walaupun cuma satu ayat, tapi rutin tiap hari jauh lebih diutamakan.
Bagaimana dengan target perolehan suara di Pemilu 2019?
Berdasarkan keputusan Majelis Syuro, amanat Munas kami adalah 12 persen.
Kenapa mengeluarkan 9 nama cawapres sekaligus?
Ini sangat tergantung pada proses. Di PKS, pemunculan nama capres itu diserahkan kepada kader. Jadi kader PKS di seluruh Indonesia diminta menuliskan nama siapa yang menjadi capres atau cawapres dari PKS. Muncul nama banyak, puluhan nama.
ADVERTISEMENT
Nah kalau semua ini diakomodir kan tentu terlalu banyak. Kemudian kami (pengurus), lewat rapat Majelis Syuro, mengambil (nama-nama itu). Ada yang usul diambil tiga nama, lima nama, sembilan nama. Kemudian karena sembilan nama itu terkait dengan semacam wali songolah gitu ya, itulah disepakati jadi sembilan.
Jadi, pertama, memang prosesnya seperti itu. Kedua, dengan mengajukan lebih dari satu nama, ini membuat kami lebih fleksibel dalam berkomunikasi dengan calon-calon partai koalisi.
Sebab, kalau kami targetkan (cuma) satu nama dari PKS, ini kan belum tentu bisa cocok dengan tokoh-tokoh lain. Tapi kalau kami punya spare lebih dari satu, kan bisa kemudian yang (nama) ditolak ada (nama lain) yang bisa diterima. Saya kira itu cara kami untuk lebih fleksibel untuk berkomunikasi dengan partai lain.
ADVERTISEMENT
Itu artinya nama cawapres ini bisa untuk Prabowo dan yang lain?
Ya tentu hanya satu. Masa kami main di dua kaki, kan enggak mungkin. Ya tentu salah satunya.
Bagaimana kalau Gerindra memilih calon lain di luar PKS?
Saya tidak mau berandai-andai. Jadi kalau ditanya sikap, kami akan bersikap ketika kasus itu terjadi. Sekarang saya tidak mau bersikap, tugas saya adalah memperjuangkan yang sembilan ini.
Ada kabar terdapat perpecahan sikap di PKS antara mereka yang mendukung Prabowo dan Gatot. Bagaimana?
Pertama, harus dikoreksi dulu. Tidak ada hal seperti itu, karena posisi kami sekarang ini sedang mencari capres yang menjadi pasangan kami. Jadi masih terbuka siapa saja, yang penting orang tersebut bisa menggenapi presidential treshold PKS. PKS (punya) tujuh persen, berarti mencari yang 13 persen.
ADVERTISEMENT
Misalkan Pak Gatot mau menjadi capres PKS, (silakan) datang, asal bawa 13 persen. Kalau datang bawa nol persen kan tidak jadi apa-apa. Nah, yang sudah punya 13 persen itu Pak Prabowo. Ya udah otomatis dong kami bersama dengan yang punya (suara 13 persen itu).
Misalkan Pak Gatot dikasih (tiket) sama Gerindra , terus kemudian (bisa) kami terima. Tapi kan sampai saat ini beliau (Gatot) belum dapet apa-apa dari Gerindra.
Belum ada pertemuan langsung dengan Gatot?
Belum, tapi saya sudah memberi waktu. Beliau dan timnya kan minta ketemu saya. Saya sudah kasih waktu tiga atau empat pekan yang lalu di hari Jumat. Tapi justru Pak Gatot yang membatalkan.
Terus komunikasi lagi, dan kemarin timnya ingin ketemu saya. Saya bilang, kalau cuma timnya saja, ya ketemu tim saya saja. Sudah ketemu dengan tim saya, terus katanya mau dijadwalkan ketemu Pak Gatot, ya kami tunggulah.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan Poros Ketiga, menurut Anda seperti apa?
Sekarang kan sudah diinisiasi oleh Pak SBY. Ya saya siap. Dia (Demokrat ) sudah minta ketemu saya dan saya sekarang menunggu beliau siapnya kapan. Beliau kemarin sudah mengirim Pak Syarief Hasan untuk bertemu saya dan sudah ada pembicaraan awal mengenai Poros Ketiga .
Ya mudah-mudahan nanti capresnya bukan hanya satu-dua. Tiga itu lebih bagus, supaya rakyat punya pilihan.
Jadi PKS bisa berpaling dari Gerindra?
Dalam politik enggak ada yang fix sebelum KPU menetapkan. Jadi sekarang ini kami terus berkomunikasi politik. Fix-nya itu ketika KPU menetapkan.
Sekarang ini yang paling mungkin dengan PKS, ya Gerindra. Tapi tentu nanti kami tidak tahu di last minute misalnya, dari pihak pendukung pemerintah ada banyak yang keluar, kan bisa saja.
Mau jadi partai istikamah atau partai besar?
ADVERTISEMENT
Istikamah. Karena saya yakin kalau istikamah jadi besar. Kalau enggak istikamah malah enggak besar.
------------------------
Endus aroma PKS ‘Pecah’ di Liputan Khusus kumparan.