Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ada setumpuk masalah yang membuat perairan Natuna terus diserbu kapal asing yang menebar jala. Nelayan Indonesia kalah jumlah, kapal mereka kalah canggih, dan patroli RI kalah kuat.
Tahun 2020 dibuka dengan gaduh Natuna . Awal Januari, Senin (6/1), Menko Polhukam Mahfud MD serta Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menggelar pertemuan empat mata soal kapal-kapal China yang merangsek ke Natuna. Sejak Oktober 2019 sampai Januari 2020, kapal-kapal itu tak kunjung pergi dari perairan Natuna.
Kedua menteri sepakat bahwa pemerintah Indonesia perlu berpendirian teguh untuk tak berkompromi dengan klaim sepihak China, yakni nine-dash line.
“Kami tidak mau mengakui nine-dash line, tapi tidak mau berkonflik,” kata Staf Khusus Kemenko Maritim dan Investasi, Atmadji Sumarkijo.
Nine-dash line adalah garis imajiner yang menjadi dasar klaim China atas sebagian besar Laut China Selatan. Klaim itu juga berbenturan dengan teritori negara lain seperti Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Pemerintah sadar masuknya kapal asing untuk menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif RI adalah akibat longgarnya pengawasan mereka atas perairan Indonesia.
Berdasarkan pantauan radar pemerintah, Laut Natuna Utara setiap harinya disinggahi 10-16 kapal asing dari berbagai negara yang menebar jala.
“Sistem deteksi dini cukup canggih, tapi tidak bisa menindak (karena kapal patroli tak mencukupi). Kita cuma bisa melototin doang sambil maki-maki,” kata Atmadji di kantornya, Jumat (8/1).
Berikut petikan perbincangan dengan Atmadji Sumarkijo:
Kenapa China terus mengklaim teritori Laut Natuna?
“Biang” dalam hal itu karena ketidakhadiran dua lembaga. Satu, nelayan—yang kami sebut lembaga. Di Natuna bagian utara, mereka sedikit sekali. Kalau Kementerian Kelautan dan Perikanan bilang, hampir enggak ada nelayan kita yang melaut di sana (Natuna) karena kapalnya kecil-kecil kapasitasnya, di bawah 30 gros ton. Di Natuna Utara paling enggak idealnya 50 gros ton. Lebih ideal lagi 100 gros ton.
Kita tanya nelayan ,“Apa selain faktor kapal?” Jawabannya, “Ya di sana (Natuna) enggak ada infrastruktur penunjang untuk kami, yaitu pelabuhan.”
Pelabuhan memang ada—tempat perikanan yang dikunjungi presiden kemarin di Selat Lampa, itu pelabuhan perikanan; tapi lokasinya di bagian selatan pulau karena dianggap aman dari ombak. Padahal dari ujung selatan ke utara (Natuna) saja kalau kapal mungkin berlayar setengah hari sampai satu hari.
Kedua, patroli di Zona Ekonomi Eksklusif untuk menghadapi pencurian ikan atau pelanggaran UNCLOS (Konvensi Hukum Laut PBB) itu (seharusnya) bukan militer. Itu harus aparat sipil yang mempunya kewenangan dalam mengambil tindakan hukum, yaitu coast guard. Di Indonesia itu (namanya) Bakamla (Badan Keamanan Laut).
Apa masalah Bakamla? Kenapa (dia) enggak bisa (mengambil tindakan hukum)? Karena di UU Indonesia ada sekitar 10 institusi yang punya kewenangan mengambil tindakan hukum di laut, mulai dari kapal patroli KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), Bea Cukai, Polair (Kepolisian Perairan), Kementerian Perhubungan, dan lain-lain. Ada banyak sekali.
Jadi akhirnya malah seperti “Ini kavling gue, itu kavling elu. Ini rezeki gue, itu rezeki elu.” Begitu.
Artinya, pengawasan dan penegakan hukum di Laut Natuna belum optimal?
Bakamla terbatas. Kebetulan, yang sial itu selama bulan Desember. Banyak kapal patroli RI ketika itu diarahkan ke timur Indonesia untuk mengawasi Morowali. Di sana ada usaha penyelundupan nikel ke luar negeri. Ada ratusan kapal yang mau bawa nikel mentah. (Jadi kapal patroli ke Morowali) dan Natuna agak kosong.
Jadi, kondisi nelayan bagaimana, kapal kita bagaimana, itu kembali salahnya pada Indonesia lagi.
Kenapa, misal, pengawasan nggak dibagi dua (antara Morowali dan Natuna)? Ya balik lagi, kapalnya (Indonesia) ada berapa?
TNI AL kapal perangnya berukuran kecil. Kelasnya masih korvet. Dia bisa dikerahkan ke Natuna, tapi bisa “mabuk”. Kapal cuma 2.000 ton untuk kapal perang juga nggak cocok.
Korvet merupakan jenis kapal perang yang lebih kecil dari fregat (kapal perang berukuran sedang, dengan bobot antara 1.100–2.800 ton), namun lebih besar dari kapal patroli pantai. Korvet biasa digunakan sebagai kapal patroli untuk operasi sergap dan serbu.
Waktu Pak Prabowo bertemu Pak Luhut, ia mendorong Kementerian Pertahanan beli kapal perang fregat ukuran di atas 4.000 ton. Jadi kalau berlayar di seluruh ZEE mampu dengan kapasitas penuh.
Sekarang kita (Indonesia) punya enam fregat yang dibeli pada zaman (Jenderal) Benny Moerdani (era Orde Baru). Dari enam itu, yang aktif cuma dua karena dua lagi diperbaiki dan dua lagi untuk latihan. Itu peninggalan 15 tahun lalu.
Kalau radar sih ada. Cuma apa guna radar kalau kita nggak punya alat untuk ke lokasi?
Kita (Indonesia) juga punya sistem deteksi sehingga bisa tahu ada berapa kapal asing di Laut Natuna Utara. Bisa 10-16 kapal dari berbagai negara tiap harinya.
Tapi, meski sistem deteksi dini itu cukup canggih, kita nggak bisa menindak (karena tidak di sana). Kita cuma bisa melototin doang sambil maki-maki.
Jadi banyak faktor (kenapa China ada di Natuna). Jangan melemparkan kesalahan ke sana, tapi mengulang kesalahan dengan tak melakukan apa-apa.
Apakah ancaman untuk menenggelamkan kapal asing yang mengambil ikan di laut Indonesia itu efektif?
Kalau kita menenggelamkan kapal asing di ZEE, kita salah secara hukum. Yang boleh dilakukan adalah tangkap mereka yang mengambil kekayaan di laut kita, sesuai aturan UNCLOS. Dan harus dibawa ke pengadilan.
Kan di ZEE semua kapal boleh masuk, asal tidak eksplorasi.
Seberapa sering Natuna menjadi target pencurian ikan oleh kapal asing?
Jamak, karena kekayaan di sana menarik bagi maling. Maling tahu di mana harus mencuri. Nah, kalau kita ibaratkan kita pemilik rumah, terus malam-malam jendela rumah enggak kunci, kalau maling masuk ya wajar, dong. Dia ada kesempatan.
Selalu ada usaha untuk masuk (Natuna) karena Indonesia dikenal sebagai perairan yang punya potensi ikan luar biasa, baik di barat maupun di timur.
Menurut pakar hukum lingkungan dan pendiri Indonesia Ocean Justice Initiative, Mas Achmad Santosa, China saat ini sedang dihadapkan pada isu food security, yakni adanya peningkatan konsumsi ikan di negeri mereka, sementara jumlah ikah di perairan mereka semakin sedikit. Lebih lanjut, kurangnya pasokan ikan dikhawatirkan menyebabkan inflasi di China.
Natuna itu wilayah yang sangat kaya. Yang pasti, bukan hanya China yang mencuri di situ. Vietnam dan Thailand juga. Jadi memang kita harus menutup pintu. Menjaga supaya maling jangan masuk.
Jadi kapal asing selalu berusaha masuk, ya...
Nah, itu kembali lagi yang tadi. Salah kita sendiri tidak terus-menerus patroli di sana. Itu kapal Bakamla kan agak kecil juga. Sementara kalau liat gambar, kapal coast guard China itu ukurannya di atas 2.000 ton. Coast guard kita cuma 1.000 ton atau di bawah itu.
Apa rencana pemerintah Indonesia ke depan untuk memperbaiki tata kelola penegakan hukum di laut?
Modernisasi alat dan SDM. Jadi, yang sekarang tersebar di TNI AL akan ditarik masuk ke Bakamla. Sekarang kan (Kementerian) Perhubungan juga punya (patroli) sendiri, Bea Cukai juga yang menangani soal penyelundupan. Jadi kenapa tidak bisa dijadikan satu?
Kalau di AS, yang namanya US Coast Guard itu besar sekali. Sudah kayak matra sendiri. Nah, kita juga nanti bisa Korps Bakamla, dengan komandan Bakamla itu bintang empat. Jadi sejajar dengan dengan KSAL. Dan nanti perwira TNI AL yang mau berkarier di tempat lain bisa juga masuk Bakamla dan pangkatnya nggak turun.
Jadi, bagaimana sikap konkret pemerintah dalam menanggapi klaim China di Natuna Utara?
Kita tidak mau mengakui nine-dash line, tapi tidak mau berkonflik. Kita juga harus perhatikan nasib nelayan, atau memberi pemberdayaan kepada nelayan agar mereka bisa beroperasi di sana dengan perlindungan cukup.
Sikap Luhut dan Prabowo cenderung kalem dalam menanggapi gaduh di Natuna, juga bilang jangan sampai mengganggu investasi.
Jadi begini, harus kita ingat bahwa kita tidak mau tukaran investasi dengan masalah kedaulatan. Pak Luhut ingin menjaga agar reaksi masyarakat tidak di luar proporsi, (yang memicu) munculnya sikap, terus mengganggu investasi.
Nggak ada pikiran bahwa demi investasi, kedaulatan kita jual.
Indonesia seperti lebih lunak kali ini dibanding insiden serupa tahun 2016?
Itu yang salah tafsir. Lunaknya di mana? Soal kedaulatan bahkan Pak Luhut tiga tahun lalu, ketika bertemu Perdana Menteri China, bilang, “Indonesia jangan ditanya dan ditantang soal sovereignty. Kami firm dan tidak akan pernah mengakui nine-dash line Anda.”
Kalau kita ikuti pernyataan Juru Bicara Menlu China, sekarang pun sudah turun tensinya. Waktu yang pertama kan keras. Kemarin dalam pernyataannya yang terbaru bilang, “Kami yakin Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok akan mengutamakan hubungan setara dan strategis.”
Itu dalam diplomasi disebut backdoor approach. Selain pernyataan keras di permukaan seperti yang diucapkan Menlu RI Retno Marsudi, ada jalur belakang yang kita bisa omong lebih bebas.
Penyelesaian jangka pendek untuk kisruh Natuna ini apa?
Ya makanya pemerintah Indonesia terus ngomong ke China. Rasanya mereka menangkap pesan itu. Kita lihat saja. Prosesnya nggak bisa buru-buru.