Tamu-tamu Allah yang Tertunda Corona

7 Juni 2020 9:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ibadah haji di tanah suci. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ibadah haji di tanah suci. Foto: Shutterstock
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia, negara dengan kuota haji terbesar di dunia, memutuskan membatalkan pemberangkatan haji tahun ini—pertama kali sejak negeri itu merdeka. Gara-garanya apalagi kalau bukan virus corona. Mereka yang kadung rindu tanah suci dan sudah menunggu berpuluh tahun untuk berhaji terpaksa berpasrah diri.
“Setiap habis salat, saya berdoa semoga dikasih kesempatan Allah menunaikan rukun Islam yang kelima—bisa haji,” kata Imam Syafi’i, pria asal Kediri, Jawa Timur, yang kini harus menelan pahit karena batal ke tanah suci tahun ini.
Imam baru berusia 20 tahun ketika mendengar lagu “Pulang Haji” yang dinyanyikan grup kasidah Nasida Ria mengalun sebagai soundtrack suatu film tentang haji. Film itulah—yang tayang di layar televisi hitam putih tahun 1980-an—yang pertama kali memantik niat di hati Imam untuk menjadi tamu Allah di Makkah.
Kombinasi lagu Nasida Ria dan film haji—yang judulnya tak lagi ia ingat—itu kian lama kian mengentalkan tekad Imam untuk mengupayakan pergi berhaji. Bagi petani seperti Imam, haji bukan perkara mudah. Tapi ia dengan sabar mengisi pundi-pundinya hingga akhirnya bisa mendaftar haji pada 2011.
“Dari dapat panggilan itu (saya langsung) persiapan dana. Setiap ada sisa uang, cepat saya kumpulkan. Kemarin (biaya haji) sekitar Rp 35 juta sekian, kalau sekarang sudah Rp 37-40 juta,” ujar Imam kepada kumparan, Kamis (4/6).
Imam Syafii, calon jemaah asal Kediri yang batal berhaji tahun ini. Foto: Istimewa
Imam mendapat giliran berangkat pada 2020—40 tahun sesudah niatnya berhaji muncul di hati, saat kini ia berumur 60 tahun. Ia seharusnya pergi 18 hari lagi, pada 24 Juni. Segala persiapan telah ia lakukan—mengikuti bimbingan haji, berlatih manasik haji, dan menjahit sejumlah seragam haji yang tertata rapi di lemari pakaian.
Namun, di tengah proses ini, Imam merasa bingung karena dia tak merasa gembira atau berdebar-debar sebagaimana mestinya. Padahal ini momen yang sungguh ia nantikan selama 40 tahun; mimpi yang selangkah lagi mewujud nyata.
Kebingungan Imam seolah menemukan jawabnya ketika selang beberapa hari setelah latihan manasik hajinya, virus corona mulai menyerbu Indonesia. Seketika, segala kegiatan persiapan haji dihentikan. Puncaknya, pada 2 Juni Kementerian Agama memutuskan meniadakan haji tahun 2020 ini.
“Kami fokus melindungi keselamatan jemaah. Ibadah sangat mungkin terganggu jika haji dilaksanakan saat kasus (corona) masih bertambah di Arab Saudi dan Indonesia,” kata Juru Bicara Kemenag Oman Fathurahman dalam Live Corona Update kumparan, Rabu (3/6).
Imam Syafii, calon jemaah haji asal Kediri (paling kanan) dan keluarganya. Foto: Istimewa
Imam, mau tak mau, menerima keputusan pemerintah. “Saya pasrah, mengalah. Mungkin di balik cobaan ini ada hikmah, apa itu entah.”
Toh, imbuh bapak empat anak itu menguatkan diri, bukan ia sendiri yang tertunda pergi haji. “Yang lain juga merasakan hal yang sama. Daripada di sana—seandainya berangkat—malah nggak enak, menyusahkan, ya sudah.”
Anak-anak Imam justru amat bersyukur dengan penundaan tersebut. Putri tertua Imam, Nadia (25), merasa lega Imam tak jadi berangkat. Bila ayahnya pergi berhaji di musim corona begini, ia khawatir sang ayah tak leluasa menjalankan rangkaian ibadah haji.
“Kalau ke sana sekarang, takutnya ibadahnya malah dibatasi. Jadi ibadahnya kurang maksimal. Padahal kan sudah diimpikan dari lama,” ucap Nadia.
Kini Imam pun banyak-banyak berdoa supaya tetap sehat agar bisa berhaji tahun depan.
Latihan manasik haji. Foto: ANTARA/Moch Asim
Somad Sandi, warga Depok, Jawa Barat, juga menjadi salah seorang yang batal berhaji tahun ini. Padahal persiapannya telah matang, tapi corona keburu datang.
Sejatinya, pensiunan perusahaan percetakan koran berusia 70 tahun itu mendapat hadiah haji dari anak-anaknya sebagai wujud terima kasih mereka kepada orang tua. Maka Somad dan istrinya sudah menunggu-nunggu sejak delapan tahun lalu, ketika nama mereka didaftarkan pergi haji.
“Semua kecewa ya, tapi harus pikir kesehatan. Jangan hanya berpikir hajinya, tapi (faktor) kesehatannya enggak. Mungkin ini jalan terbaik,” kata Somad, mengikhlaskan hajinya tertunda.
Ia sebetulnya telah menduga penundaan tersebut, sebab pengumuman pemerintah perihal kepastian nasib jemaah haji tahun ini terus ditangguhkan. Semula, pengumuman akan keluar pada 12 Mei, tapi ditunda ke 20 Mei. Pun begitu, pada hari H, pengumuman lagi-lagi urung disampaikan. Hingga akhirnya 2 Juni diumumkan seluruh jemaah tak diberangkatkan.
“Setelah ada corona jadinya bimbang karena virusnya ganas. Repot itu kalau tertular. Lalu di Madinah, di Masjid Nabawi (makam Nabi Muhammad), sekarang orangnya dibatasi. Terus nanti gimana?” ujar Somad.
Jangan sampai memaksakan menyempurnakan rukun Islam dengan berhaji, tapi abai soal keamanan dan kesehatan, tekan Somad lagi. Lagi pula, imbuhnya, ini bukan pembatalan, tapi penundaan. Tahun depan ketika corona berakhir—semoga—ia dan jemaah lain yang tertunda bisa tetap berangkat.
Jemaah haji di Padang Arafah melaksanakan wukuf. Foto: AFP/Fethi Belaid
Indonesia menjadi negara ketiga yang membatalkan keberangkatan haji setelah Mesir dan Singapura. Pembatalan dilakukan karena alasan kemanusiaan—keselamatan jemaah jelas terancam oleh wabah corona. Arab Saudi sebagai tuan rumah mengalami lonjakan kasus positif COVID-19 hingga menembus angka 95 ribu jiwa—melebihi kasus positif di China sebanyak 83 ribu jiwa.
“Pada saat yang sudah mepet, belum ada juga kepastian dari Arab Saudi, maka atas nama kemanusiaan, keselamatan, dan amanat Undang-undang Haji, Menteri Agama mengeluarkan keputusan pembatalan keberangkatan jemaah haji,” ujar Oman.
Dalam satu periode ibadah haji biasanya sekitar tiga juta orang dari penjuru dunia berkumpul di Arab Saudi selama sebulan atau lebih. Dengan jumlah sebanyak itu—bahkan bila dikurangi—akan sulit menerapkan physical distancing selama jemaah beribadah.
“Di Arafah rasionya 1:1, artinya satu orang punya tempat satu meter,” kata Oman.
Padang Arafah ialah lokasi wukuf—puncak dan inti ibadah haji—ketika seluruh jemaah haji berkumpul saat matahari terbenam tanggal 9 Zulhijah sampai fajar terbit tanggal 10 Zulhijah. Berkumpulnya massa haji dalam jumlah besar ini tentu menjadi problem besar di masa pandemi corona.
Itu baru di Arafah, belum lagi di lokasi lain yang ruangnya lebih sempit seperti di Mina—lembah tempat jemaah melempar kerikil atau jamrah.
“Di Mina itu rasio orang dan tempat 1:0,8 meter persegi. Artinya, satu orang punya space tidur enggak sampai satu meter. Jadi numpuk,” jelas Oman soal teknis haji.
Dengan segala pertimbangan itulah, yang semua berujung ke risiko penularan virus corona di lokasi ibadah, pemerintah RI akhirnya mantap meniadakan ibadah haji tahun ini. Kementerian Agama mencatat jumlah jemaah haji Indonesia yang batal berangkat tahun ini sebanyak 214.241 orang, terdiri dari 198.765 jemaah reguler dan 15.476 jemaah khusus.
Jemaah diminta tidak risau karena pemerintah RI telah merancang rencana agar mereka bisa berangkat tahun depan, pada 2021, dengan tiga catatan: jemaah tidak menarik uang pendaftaran sebesar Rp 25 juta, pandemi corona selesai, dan kuota haji Indonesia tidak dikurangi oleh Arab Saudi.
Indonesia selama ini mendapat jatah kuota haji paling banyak di antara negara-negara lain. Tiga tahun terakhir, dari 2018 hingga 2020, Arab Saudi memberikan kuota haji kepada Indonesia sebesar 221 ribu jemaah. Jumlah tersebut meningkat 10 ribu dari tahun 2017, dan penambahan tersebut sesuai dengan janji Raja Salman saat berkunjung ke Indonesia pada 2017. Yang perlu diingat, pandemi bisa membuat kuota haji Indonesia berkurang.
“Oleh karenanya Kementerian Agama sedang mendalami pengajuan opsi penambahan kuota ke Arab Saudi untuk tahun depan, sehingga penumpukan jemaah (ke depannya) tidak dua kali lipat,” jelas Oman.
Ia melanjutkan, “Komitmen Arab Saudi menambah kuota itu ada, tapi juga tergantung lobi proaktif pemerintah Indonesia—Pak Presiden dan Menteri Agama.”
Sampai saat ini Arab Saudi sesungguhnya belum mengumumkan soal ada atau tidaknya ibadah haji tahun 2020. Oleh karena itu, keputusan penundaan haji murni datang dari pemerintah Indonesia yang mengedepankan faktor keselamatan jemaah.
Mei lalu, Presiden Jokowi sempat bertelepon dengan Raja Salman terkait penyelenggaraan haji. Raja Salman menyarankan agar pemerintah RI menunggu sampai 1 Juni 2020. Di tengah masa tunggu itu, pemerintah Indonesia sempat menyiapkan beberapa skenario.
“Kami sudah siapkan tiga alternatif: berangkat semua sesuai kuota, berangkat dengan physical distancing, dan gagal berangkat,” ucap Menteri Agama Fachrul Razi selepas rapat terbatas dengan Presiden, Selasa (19/5).
Namun, hingga 1 Juni, keputusan Arab Saudi tak kunjung diterima Indonesia. Itu sebabnya pemerintah RI lebih mantap untuk memilih alternatif ketiga, yakni membatalkan keberangkatan haji secara keseluruhan.
Sunyi di Masjidil Haram selama bulan suci Ramadhan. Foto: REUTERS
Arab Saudi—yang belum memutuskan soal keberlangsungan ibadah haji 2020—sejauh ini baru melarang pelaksanaan ibadah umrah, menyusul penutupan pelataran Masjidil Haram yang membuat Kakbah di dalamnya kosong dari kegiatan peribadahan.
Arab Saudi juga memberlakukan lockdown saat Idul Fitri lalu. Dan ketika lockdown mulai dilonggarkan, lonjakan kasus positif corona terjadi.
“[...] Raja Salman serius sekali memperhatikan keselamatan, sampai-sampai kita dengar ada orang haji berstatus ilegal pun dimaafkan dan difasilitasi untuk pulang. Dengan komitmen kemanusiaan itu, Saudi kelihatannya tidak mau ambil risiko,” kata Oman.
Sejak berdiri pada 1932, Kerajaan Arab Saudi tidak pernah sekalipun membatalkan atau melarang ibadah haji secara keseluruhan, termasuk ketika MERS—yang juga berasal dari keluarga virus corona—mewabah di Timur Tengah pada 2012 dan 2013. Otoritas Saudi kala itu hanya mengimbau orang sakit dan orang tua untuk tidak menunaikan ibadah haji.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.