Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Vera Simanjuntak melihat dan mendengar kekasihnya menangis malam itu, Selasa, 21 Juni 2022. Melalui panggilan video dengan latar tempat tidur dan suasana kamar, sang kekasih, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat , tiba-tiba meminta agar Vera mencari kekasih lain.
“Carilah pengganti saya. Pria lain. Karena saya tidak sempat lagi menikahi kamu. Dan tidak mungkin lagi mengawini kamu,” kata Yosua kepada Vera, seperti dituturkan pengacara keluarga Yosua, Kamaruddin Simanjuntak, Sabtu (30/7).
Vera pun bingung. Tak ada hujan, tak ada angin, kenapa mendadak memintanya mencari lelaki lain? Ada apa sesungguhnya?
Dua hari sebelumnya, Minggu, 19 Juni, Vera sempat bertanya kepada Yosua lewat pesan singkat di WhatsApp: apakah Yosua tak lagi kangen kepadanya? Sebab, Yosua belakangan tak pernah meneleponnya.
Anehnya, saat Vera menghubungi Yosua via video call pada 21 Juni, pacarnya itu malah menangis. Mereka bertelepon video sekitar tiga jam. Ketika itu, Yosua minta maaf kepada Vera atas segala kesalahan yang mungkin ia lakukan selama mereka berpacaran.
Yosua dan Vera telah delapan tahun berpacaran. Mereka berkenalan di Kabupaten Merangin, Jambi. Kala itu, Yosua bertugas di Brimob Batalyon B Pelopor di Kecamatan Pamenang, Merangin; sedangkan Vera masih berkuliah.
Bertahun-tahun kemudian setelah Yosua dimutasi ke Mabes Polri sebagai ajudan Irjen Ferdy Sambo di Jakarta, ia masih berpacaran dengan Vera yang kini menjadi tenaga kesehatan di Puskesmas Bangko, Merangin. Rencananya, tujuh bulan lagi mereka menikah—kalau saja Yosua tak keburu tewas.
Ancaman dari Skuad Lama
Menurut Kamaruddin, Yosua menangis saat bertelepon dengan Vera karena ia menerima ancaman pembunuhan. Namun, Vera tak paham ancaman apa yang dimaksud Yosua.
Lewat dari dua minggu, Kamis, 7 Juli, Yosua dan Vera kembali bertelepon. Dalam beberapa kali panggilan terpisah sekitar pukul 20.00 hingga 23.39 WIB, Yosua kembali bercerita soal ancaman yang ia alami. Kali itu Vera bertanya lebih lanjut: ancaman apa?
Menurut Kamaruddin, ancaman itu berisi ultimatum: apabila Yosua naik ke atas, maka ia akan dihabisi atau dibunuh.
Namun, frasa “naik ke atas” itu pun masih menjadi teka-teki bagi Kamaruddin. Apakah yang dimaksud Yosua “naik ke atas” adalah mengadu ke atasan soal sesuatu yang ia ketahui padahal seharusnya tidak? Atau naik ke lantai atas menuju ruangan seseorang? Atau naik jabatan?
Kali kedua mendengar cerita Yosua soal ancaman terhadapnya, Vera bertanya: siapa yang mengancam, Bang?
“Skuad-skuad di sini pada kurang ajar, Say.”
Skuad lama atau skuad baru?
“Skuad lama.”
Berdoalah Bang, tidak ada yang mustahil.
Itulah penggalan percakapan Vera dan Yosua sehari sebelum Yosua tewas.
Meski Yosua tak merinci siapa “skuad lama” yang ia maksud, beredar kabar bahwa orang itu adalah sesama ajudan Sambo. Dugaan tersebut, menurut Kamaruddin, amat mungkin benar, bahwa orang itulah yang mengancam dan menghasut.
Hal ini pula yang membuat pihak keluarga melaporkan kematian Yosua sebagai pembunuhan berencana.
“Kita main logika. Kalau sudah ada rentetan ancaman pembunuhan, kemudian dia dibunuh atau terbunuh, itu terencana atau tidak? Diduga keras terencana karena sudah didahului ancaman pembunuhan,” ujar Kamaruddin.
Ia mencontohkan, “Kalau saya mengancam membunuh orang, lalu besok dia terbunuh. Bisa juga dia terbunuh karena orang lain, tapi saya patut disangka [membunuhnya].”
Kamaruddin yakin, bukan Bharada E yang berada di balik teror terhadap Yosua. Menurutnya, bukan pula Bharada E yang menembak Yosua.
“Yang mengancam bukan Bharada E,” ujarnya.
Tawa Terakhir Yosua
Sehari setelah bertelepon dengan Vera, Jumat, 8 Juli, pagi-pagi Yosua berkomunikasi dengan keluarganya yang sedang berziarah sekaligus berwisata ke berbagai tempat di Sumatera Utara.
Di grup WA keluarga, Yosua mengomentari berbagai kegiatan keluarganya.
“Asik kali, bah,” kata Yosua.
Keluarganya menjawab, “Iya, seru kali, Bang. Menikmati belerang dari dalam bumi.”
“Iya, seru kali kayaknya,” sahut Yosua.
“Mendaki ke Salib Kasih,” kata ibu Yosua, Rosti Simanjuntak, mendeskripsikan kegiatan keluarga mereka di Tarutung, Tapanuli Utara.
Saat mengomentari grup tersebut, Yosua sedang berada di Magelang, Jawa Tengah. Ia sedang bertugas mengantar Irjen Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, menemui anak mereka yang bersekolah di Taruna Nusantara.
“Tetapi setelah pukul 10.58, dia (Yosua) pamitan bergeser ke Jakarta mengawal bosnya,” ujar Kamaruddin.
Soal pamit untuk bergeser lokasi ini, Yosua sempat ditanya ibunya apakah posisinya masih di Magelang pada Jumat pagi.
Pukul 10.51 WIB, Yosua menjawab “Masih, Ma.”
Rosti pun berpesan agar anak keduanya itu berhati-hati di jalan.
“Siap, Ma,” jawab Yosua pukul 11.01 WIB.
Obrolan via chat WA itu adalah percakapan terakhir antara Yosua dan keluarganya. Selanjutnya, Yosua bertolak dari Magelang ke Jakarta untuk mengawal Putri Candrawathi, sementara Irjen Ferdy Sambo pulang lebih dulu dengan pesawat.
Perjalanan rombongan Putri ke Jakarta terekam melalui CCTV, salah satunya di rest area Tol Cikampek, Jumat (8/7). Di tempat itu, rombongan Putri, termasuk Yosua, berhenti dan turun dari mobil. Rekaman menunjukkan dua mobil berjalan beriringan, yakni mobil patwal dan mobil Putri di belakangnya.
Sore hari pukul 16.00 WIB, barulah rombongan tiba di kediaman pribadi Irjen Sambo di Jalan Saguling. Rumah itu berjarak sekitar 500 meter dari rumah dinas Sambo di Kompleks Polri yang berada di area yang sama—Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Menurut sumber-sumber kumparan, Sambo memang tiba lebih dulu di rumah pribadinya di Jl. Saguling ketimbang rombongan Putri. Di sana, ia melakukan tes PCR. Hal ini belakangan dikonfirmasi Komnas HAM yang pekan lalu memeriksa para ajudan Sambo—yang berjumlah 6 orang tanpa Yosua—dan rekaman CCTV di rumah pribadi Sambo.
“PCR dilakukan bukan di rumah TKP, tapi di rumah pribadi… Setelah rombongan dari Magelang masuk Jakarta, dilakukanlah PCR tersebut. Dalam CCTV [terlihat] ada Ibu Putri, Yosua, Bharada E, asistennya/PRT,” kata Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam, Sabtu (30/7).
Saat Yosua berada di rumah Jl. Saguling ini, Vera meneleponnya hingga empat kali—pukul 16.24, 16.25, 16.27, dan 16.31 WIB. Pada panggilan keempat pukul 16.31, barulah Yosua mengangkatnya selama 19 detik.
Pada sekitar waktu ini pula, menurut sumber kumparan, Yosua tertawa-tawa bersama para ajudan Sambo yang lain. Tawa terakhir Yosua ini terjadi dalam rentang waktu singkat sebelum insiden di rumah dinas Sambo pada pukul 17.00 WIB yang menewaskannya.
Adegan tawa antar-ajudan ini juga disebut Komnas HAM usai memeriksa para ajudan Sambo selama delapan jam dari pukul 10.00 sampai 18.00 WIB, Selasa (26/7).
Pada waktu yang sempit antara pukul 16.30 dan 17.00 WIB, Yosua mengobrol dan tertawa bersama rekan-rekan ajudannya di sekitar rumah pribadi Sambo di Jl. Saguling.
“Kami uji semua cerita [ajudan] itu, termasuk apakah ada ancaman dan sebagainya… Termasuk sekuens peristiwa yang paling dekat dengan jam kematian… Satu jawaban paling penting adalah muncul [momen] tertawa-tawa. [Yosua] riang-enak ngobrolnya dalam satu momen tertentu [sebelum tewas],” kata Anam.
Komnas HAM bertanya kepada para ajudan apakah Yosua terlihat tertekan saat itu. Ajudan-ajudan Sambo itu menjawab, “Gimana ada tekanan? Orang tertawa-tawa, kok.”
Sementara itu, sepengetahuan Kamaruddin, peristiwa tawa antar-ajudan itu terjadi pada bulan Juni. “Yang ada [mereka] sedang nyinyir-nyinyir. Dua-tiga orang [ajudan] ngetawain dia (Yosua).”
Bukan Baku Tembak?
Jumat malam, Vera menelepon Yosua lagi beberapa kali. Panggilan itu sudah tentu tak terjawab. Yosua sudah tewas. Ia disebut terlibat baku tembak usai melecehkan Putri.
Namun, baku tembak tersebut dibantah oleh sumber lain yang juga mengetahui penyelidikan kasus kematian Yosua. Ia mengatakan: tak ada baku tembak. Yang ada adalah: penembakan terhadap Yosua.
Selain itu, ia sependapat dengan Kamaruddin, bahwa ada indikasi yang menembak Yosua bukan Bharada E.
Keraguan serupa tentang sosok penembak Yosua juga dipendam Kamaruddin sejak awal. Terlebih, dalam proses ekshumasi dan autopsi ulang jenazah Yosua, Rabu (27/7), ia menemukan ada tembakan dari arah belakang kepala Yosua yang tembus ke hidung.
“Ditembak dari belakang, tembus ke hidung. Sedangkan kata Karo Penmas [Divisi Humas Polri] yang terjadi adalah tembak-tembakan. Tembak-tembakan kan berhadap-hadapan. Kok jebolnya [luka] dari belakang lurus ke hidung?” tanya Kamaruddin.
Ia memaparkan, berdasarkan pengamatan dua dokter perwakilan keluaga Yosua—Herlina Hidayah dan Martina Rajagukguk—yang mengikuti proses autopsi ulang, terlihat ada dua jahitan di hidung jenazah untuk menutup lubang tembusan dari belakang kepala.
“Kalau kita ikuti alur cerita Karo Penmas, ada yang nembak [Yosua] dari atas (depan). Nah, kalau ada pula yang dari belakang, berarti pelakunya ada dua. Atau penembak ini ajaib, seperti jago kungfu yang sakti—tiba-tiba di depan, tiba-tiba di belakang,” sindir Kamaruddin, tak percaya dengan kronologi yang dibeberkan Polri.
Menurut sumber kumparan di lingkaran tim penyelidik, tembakan di belakang kepala Yosua yang menembus ke hidung itu didapat setelah Yosua tersungkur di samping tangga. Ketika itu, Bharada E alias Richard Eliezer yang berdiri di bordes menuruni beberapa anak tangga dan menembak kepala Yosua—yang berada dalam posisi tertelungkup—dari arah belakang untuk memastikan ia tewas.
Richard Eliezer dan Putri Candrawathi meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) usai insiden tersebut. Richard mengajukan perlindungan ke LPSK pada 13 Juli secara langsung. Sehari sesudahnya, 14 Juli, giliran Putri melalui pengacaranya yang mengajukan perlindungan.
Mereka mengisi formulir permohonan perlindungan yang berisi kronologi peristiwa dan permohonan perlindungan yang diminta. Salah satu permohonan Putri adalah bantuan dan pendampingan psikologis. Permintaan lain tak dirinci LPSK karena bersifat rahasia.
Pun demikian, hingga kini LPSK belum memberikan status perlindungan kepada keduanya.
“Masih menelaah. Penelaahan ini terhambat proses hukum yang [mestinya] menetapkan status yang bersangkutan secara jelas sebagai korban, saksi, atau saksi korban,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo kepada kumparan.
LPSK juga masih menggali apakah Putri dan Richard memiliki keterangan signifikan untuk proses peradilan, apakah kesaksian mereka memang diperlukan oleh aparat penegak hukum, dan apakah permohonan keduanya dilakukan dengan iktikad baik atau tidak.
Untuk menentukan status perlindungan itu, LPSK melakukan investigasi, termasuk menggali keterangan dari pemohon. Wakil Ketua LPSK Susilaningtyas dan Edwin Partogi, serta perwakilan Komnas Perempuan, lantas menemui Putri di rumah pribadi Sambo di Jl. Saguling, Duren Tiga, Sabtu sore (16/7).
Menurut Susilaningtyas, ketika itu di rumah tersebut ada keluarga Sambo, psikolog, dan kuasa hukum Putri. Saat ditemui di kamarnya, Putri belum bisa melakukan aktivitas normal. Ia terus menangis dan terguncang.
“Kami ajak ngobrol, tapi enggak bisa. Jadi kami tunggu dulu sampai bisa, tapi sampai 45 menit, beliau masih belum bisa bicara. Masih nangis saja. Ya sudah, akhirnya kami kembali,” kata Susilaningtyas yang akrab disapa Susi.
Sejauh ini, menurut Susi, ia baru menemui Putri—dan belum berhasil mendapatkan keterangan apa pun. Bila keterangan sudah didapat, barulah Tim Penelaah Permohonan LPSK akan membuat risalah untuk diajukan ke rapat paripurna. Berikutnya, tujuh pimpinan LPSK bakal menentukan layak tidaknya pemohon menjadi pihak yang dilindungi LPSK.
“Biasanya semua syarat sudah penuh dalam satu minggu. Kalau misalnya satu bulan tidak ada progres dan tidak ada inisiatif dari pemohon untuk memberi informasi, ya kami segera putuskan,” kata Ketua LPSK Hasto Atmojo.
Bila Putri dan Richard tak memberikan keterangan yang cukup, menurut Hasto, “Sulit bagi kami memberi perlindungan.”
Hasto menekankan, LSPK membutuhkan penjelasan dari pemohon perlindungan sebagai iktikad baik. Jika tidak, LPSK akan menolak permohonan tersebut.
“Artinya [pemohon] kurang kooperatif,” kata Hasto.
Tanpa penjelasan yang layak, menurutnya, orang bisa saja mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK lantaran bakal jadi tersangka. Hal ini pernah terjadi sebelumnya.
“Itu contoh iktikad yang tidak baik,” ujarnya.
Sementara Richard telah memberikan keterangan kepada Komnas HAM, Putri masih bungkam. Komnas HAM mengatakan, bakal memeriksa Irjen Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi setelah semua bahan dan tahap pemeriksaan lain selesai.
Di sisi lain, pertemuan LPSK dengan Menko Polhukam Mahfud MD, Jumat (29/7), turut membahas kasus kematian Yosua. Menurut Mahfud, perkara ini harus dibuka secara transparan karena public common sense tak bisa dibohongi.
Mahfud yang juga Ketua Komisi Kepolisian Nasional menyinyalir ada pihak yang ingin mengacaukan penyelidikan, semisal dengan mengembuskan kabar bahwa hasil autopsi Yosua tak bisa dibuka ke publik kecuali atas perintah hakim untuk keperluan persidangan.
Hal tersebut, tegas Mahfud, tidak benar. Terlebih, Yosua diduga merupakan korban kejahatan. Itu sebabnya Presiden Jokowi pun memerintahkan agar hasil autopsi Yosua dibuka untuk masyarakat, dan kasusnya dituntaskan secara transparan.
Peringatan Mahfud bukan tanpa alasan, sebab hingga kini—24 hari sejak kematian Yosua—belum ada satu tersangka pun yang ditetapkan Polri dalam kasus ini.
Sementara kasus belum terungkap, sumber-sumber di Kepolisian justru memberikan informasi yang saling bertolak belakang. Mengapa demikian? Simak laporan berikutnya: