Teror RUU Cipta Kerja bagi Petani

2 Mei 2020 13:22 WIB
comment
20
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi aksi petani. Foto: Dok. Konsorsium Pembaruan Agraria
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi aksi petani. Foto: Dok. Konsorsium Pembaruan Agraria
Hermanus Bin Bison (35) mati sebagai terdakwa pencurian buah sawit sehari sebelum sidang lanjutan perkaranya digelar untuk kali keempat pada 27 April 2020. Ia bersama dua orang lainnya, Dilik Bin Asap dan James Watt Bin Atie, dituding mencuri 4,33 ton buah sawit oleh PT. Hamparan Mas Bangun Persada.
Hermanus, si petani Dayak dan ayah dari dua orang anak, ditangkap pada Februari. Selama sebulan ia ditahan di Polres Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Hermanus dituduh mencuri di atas lahan sengketa antara PT. HMBP dan warga Desa Penyang sejak 2006.
Penangkapan Hermanus dan dua lainnya bukan yang pertama. Sebelumnya, dua warga desa juga sempat ditahan dengan tuduhan yang sama. Peristiwa tersebut membuat warga Desa Penyang marah dan membuat hinting pali, semacam portal untuk memblokade jalan.
Warga yakin tanah yang mereka tinggali dan tanami puluhan tahun lamanya itu milik desa. Terlebih setelah keluar hasil peninjauan lapangan Panitia Khusus Perkebunan Besar Swasta Kelapa Sawit dari DPRD Kotawaringin Timur pada 2006 yang menyebut PT. HMBP telah melakukan penanaman di luar batas HGU seluas kurang lebih 1.865,8 hektare.
Dari total luasan itu, 117 hektare di antaranya adalah tanah masyarakat Desa Penyang, sedangkan sisanya kawasan hutan.
Selain itu, hasil peninjauan lapangan Pansus PBS juga menduga adanya pengeringan danau alam serta penimbunan Sungai Paring Dua dan Sungai Pinang Tunggal untuk area penanaman sawit. Bahkan Surat Bupati Kotawaringin Timur bernomor 525/498.a/Ek.SDA/X/2010 pada 12 Oktober 2010 dan 525/423.a/Ek.SDA/VIII/2011 pada 15 Agustus 2011 telah menyatakan perusahaan bekerja di luar HGU dan meminta PT. HMBP untuk mengembalikan lahan warga di luar HGU tersebut, serta memperingatkan PT. HMBP agar bekerja di dalam izin yang diberikan.
Tapi selama 16 tahun, PT. HMBP tetap beroperasi di atas tanah di luar HGU miliknya. Sementara warga merasa berhak atas hasil alam di atas 117 hektare area yang diyakini milik desa.
Pihak legal PT. HMBP, pada September 2019, pernah menyatakan akan menyerahkan atau memitrakan lahan tersebut kepada warga Desa Penyang. Tapi saling klaim atas luasan lahan dan hasil bumi di atasnya yang belum tuntas ini malah memicu konflik yang berujung pada kriminalisasi warga seperti Hermanus.
Menurut Kabid Humas Polda Kalteng, Hendra Rachmawan, tindakan terhadap Hermanus dan dua lainnya murni kasus pencurian. “Tidak ada kaitannya dengan konflik sengketa lahan antara masyarakat dengan PT. HMBP,” ucapnya kepada awak media pada awal Maret.
Dalam siaran persnya, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), lembaga nirlaba yang fokus terhadap isu lingkungan, menulis bahwa Hermanus sakit tapi tetap diwajibkan hadir di pengadilan. Hermanus baru diantar ke rumah sakit pada Sabtu malam (25/4) setelah penyakitnya, yang serupa dengan gejala COVID-19, batuk dan flu berat tak berkesudahan.
Permohonan penangguhan penahanan dan rawat inap di rumah sakit ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampit. Hingga hari ini, belum ada keterangan resmi mengapa Hermanus mati.
Tragedi yang menimpa Hermanus menunjukkan dua ironi besar. Pertama, terkait penanganan perkara di masa wabah corona COVID-19. Kedua, berlanjutnya pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja oleh DPR dan pemerintah di tengah pandemi dan rentannya kriminalisasi petani.
Sekretaris Jendral KPA, Dewi Kartika. Foto: Melisa Ester Lolindu/kumparan
“Di Sumatera Selatan, tanggal 21 Maret 2020, ada kejadian juga di mana dua petani meninggal karena konflik dengan PT. Artha Prigel yang dibantu oleh aparat keamanan yang hendak menggusur warga Desa Pagar Batu di Kabupaten Lahat. Kejadian itu mengakibatkan dua petani tewas dan dua lainnya masuk rumah sakit,” tutur Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika kepada kumparan, Kamis (30/4).
Menurut catatan Amnesty International, polisi membiarkan sekitar 70 petugas keamanan perusahaan melakukan penggusuran paksa ketika warga menolak perusahaan memanen sawit di lahan yang dianggap milik desa. Akibatnya, dua petani bernama Suryadi (40) dan Putera Bakti (35) tewas sementara dua lainnya, Sumarlin (38) dan Lionagustin (35), mengalami luka parah dan mesti menjalani perawatan di rumah sakit.
Kepala kepolisian Resor Lahat, AKBP Irwansyah, membenarkan informasi tersebut. Menurutnya, dua korban tewas setelah mengalami luka akibat tusukan benda tajam oleh pelaku Ujang Boy (38 tahun) yang merupakan petugas keamanan perusahaan yang bersangkutan. “Untuk tersangka sendiri sudah kita amankan di Mapolres Lahat, sementara dua korban terluka kini masih menjalani perawatan di rumah sakit,” katanya, Minggu (22/3).
“Kasus ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut untuk mengungkap kemungkinan adanya tersangka lain. Untuk tersangka yang telah diamankan akan dijerat dengan Pasal 351 KUHP,” imbuhnya. Belum ada keterangan lebih lanjut apakah tewasnya dua korban penggusuran paksa ini akan menyeret serta pihak perusahaan atau tidak.
“Dari tanah seluas 180,36 hektare yang berkonflik, 14 hektare di antaranya berada di luar HGU. Seluruh lokasi berkonflik harus dikembalikan ke masyarakat. Evaluasi izin menyeluruh terhadap HGU dan IUP Kelapa Sawit Artha Prigel juga harus dilakukan,” ucap Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Nur Hidayati, dalam keterangan persnya.
Ia menambahkan, “Ada indikasi korporasi ini tidak hanya berkonflik dengan masyarakat Desa Pagar Batu, tapi juga dengan beberapa desa lain yang berada di lokasi izinnya.”
Infografis Menolak Omnibus Cipta Kerja Foto: kumparan
Kriminalisasi petani dan penggusuran paksa warga desa di atas lahan konflik agraria di tengah mewabahnya corona COVID-19 dan ancaman krisis pangan ini menjadi ironi. Tanpa adanya RUU Cipta Kerja, kondisi petani atau peladang tradisional dan masyarakat adat sudah sedemikian rentan.
“Sejak pandemi saja, laporan yang masuk ke KPA, sudah ada 10 konflik agraria. Pada 2 Maret, ada tiga petani di Soppeng yang dianggap melanggar Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H). Undang-undang ini sudah sering mengkriminalkan petani dan masyarakat adat,” papar Dewi.
“Di sisi lain, di nasional, petani itu seolah-olah akan dilindungi. Tapi di lapangan, justru banyak yang direpresi. Di tengah situasi konflik agraria dan pandemi, eh RUU Cipta Kerja juga masih dibahas,” imbuhnya kemudian.
Dewi, mewakili kumpulan serikat petani yang tergabung dalam KPA, sangat kecewa karena pemerintah dan DPR tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja meski gelombang penolakan mengalir di mana-mana.
Pertama, baginya, RUU Cipta Kerja bukan semata soal ketenagakerjaan, sebab ada 13 undang-undang terkait agraria dan pengadaan tanah yang akan diubah dalam rancangan aturan sapu jabat itu.
Kedua, rancangan undang-undang ini berpotensi memperparah dan memperluas kasus kriminalisasi yang akan dihadapi oleh petani, peladang tradisional, nelayan, masyarakat adat, dan warga desa.
“Dalam RUU Cipta Kerja, keculitan memperoleh tanah digadang-gadang sebagai hambatan berinvestasi di Indonesia. Ironinya, karena 68 persen aset kekayaan nasional itu, terutama tanah, dikuasai oleh segelintir penduduk saja,” ucap Dewi.
Berdasarkan laporan tahunan Walhi, total penguasaan ruang oleh investor baik IUP ataupun HGU mencapai 61,46 persen daratan dan 14,04 persen laut dengan total seluas 163,9 juta hektare. Padahal amanat Undang-undang Dasar 1945 atau Undang-undang Pokok Agraria menegaskan bahwa tanah dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak boleh dimonopoli oleh swasta.
“Dalam RUU Cipta Kerja, tanah dijadikan komoditas semata. Jargonnya membuka lapangan kerja, tapi justru hal itu mengancam sumber-sumber mata pencaharian petani dan masyarakat adat ataupun peladang tradisional,” paparnya.
Ilustrasi aksi petani. Foto: Dok. Konsorsium Pembaruan Agraria
Berdasarkan penelusuran KPA, setidaknya terdapat sejumlah masalah pokok terkait agraria dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, RUU Cipta Kerja memasukkan kembali substansi revisi Undang-undang Pertanahan yang sempat diprotes pada September 2019 lalu melalui aksi #ReformasiDikorupsi dalam batang tubuh aturannya.
Aturan-aturan kontroversial itu yakni munculnya Hak Pengelolaan (HPL) yang sebelumnya tidak dikenal dalam UUPA, rencana pemberian Hak Guna Usaha (HGU) langsung selama 90 tahun, kembalinya wacana bank tanah yang selalu mendapat penolakan, dan agenda pemberian hak milik atas satuan rumah susun untuk investor asing.
“Kita juga melihat dia hendak memangkas proses pengadaan tanah untuk kawasan non-pertanian.” Pernyataan Dewi ini berdasar rencana revisi Pasal 14 dan penghapusan Pasal 15-16 UU Perkebunan dalam RUU Cipta Kerja yang akan menghapus pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan, dan pertambangan.
Sementara itu, pengukuhan kawasan hutan hanya akan menggunakan pendekatan teknologi informasi dan satelit tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat adat atau pemerintahan desa setempat. “Hal ini akan mempermudah proses perampasan tanah dari masyarakat dan petani,” imbuh Dewi.
Tak hanya itu, RUU Cipta Kerja juga mengubah pasal-pasal dalam UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Demi Kepentingan Umum.
“Dia memperluas definisi ‘Kepentingan Umum’. Kalau di UU No.2/2012 itu kepentingan umum artinya proyek-proyek pembangunan waduk, tol, dan bandara internasional. Lewat RUU Cipta Kerja, definisi kepentingan umum itu termasuk juga pengadaan tanah untuk pertambangan, properti, dan kawasan ekonomi khusus.”
Padahal, menurut Dewi, tanpa diperkuat oleh RUU Cipta Kerja saja aturan tersebut telah banyak mengkriminalisasi dan melanggar hak rakyat atas tanah. Tercatat selama lima tahun tahun terakhir telah terjadi 2.047 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti.
Hampir tiap tahun juga konflik agraria tersebut menelan nyawa warga seperti Hermanus, Suryadi, atau Putera Bakti. Pada 2019 saja, terjadi 279 konflik dengan korban tewas 14 orang. Meski tak ada korban jiwa, konflik agraria pada 2018 berada di angka 410 kasus.
Sementara pada 2017, terdapat 13 korban tewas dari 659 konflik agraria yang meletus tahun itu. Di tahun 2016, 450 konflik menelan korban nyawa 13 orang. Lalu di tahun 2015, dari 5 nyawa menjadi korban dari 252 konflik yang terjadi.
Aksi petani tolak RUU Cipta Kerja di Hari Buruh. Foto: Dok. Konsorsium Pembaruan Agraria
Di sisi lain, berdasarkan catatan Walhi, kejahatan korporasi akan semakin sulit dijerat karena omnibus law mereduksi pertanggungjawaban pidana korporasi dan strict liability (pertanggungjawaban mutlak) serta memangkas hak gugat masyarakat.
“Harusnya pemerintah jujur aja, judul aturannya jangan membohongi. Jujur bahwa itu RUU tentang kemudahan berinvestasi. Gak usah seolah-olah RUU itu mulia karena akan menciptakan lapangan kerja. Padahal tenaga kerja dan tanah hanya akan dijadikan komoditas saja,” pungkas Dewi.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.