Titi: Politik Kartel dan Oligarki Tak Berbahagia dengan Putusan MK

22 Agustus 2024 15:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Titi Anggraini berdialog dengan pembawa acara Podcast Info A1 saat berkunjung ke Kantor Kumparan di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (9/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Titi Anggraini berdialog dengan pembawa acara Podcast Info A1 saat berkunjung ke Kantor Kumparan di Pasar Minggu, Jakarta, Selasa (9/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pengajar Pemilu di Fakultas Hukum UI Titi Anggraini mempertanyakan langkah DPR menganulir Putusan MK nomor 60 melalui revisi UU Pilkada. Sebab putusan MK tersebut berpengaruh pada demokrasi dan seluruh parpol. Masyarakat sebagai pemilih juga bisa mendapatkan lebih banyak calon kepala daerah (cakada) untuk dipilih dalam Pilkada 2024.
ADVERTISEMENT
Putusan 60 mengatur ambang batas bagi parpol atau gabungan parpol untuk mengusung cakada. Pada aturan sebelumnya parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20% kursi di DPRD atau memperoleh 25% suara. Aturan ini diubah dalam Putusan 60 menjadi ambang batas ditetapkan berdasarkan daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Menurut Titi keputusan itu membuat calon yang diusung parpol atau gabungan parpol menjadi memiliki syarat dukungan yang sama dengan cakada dari jalur perseorangan.
"Ketika dia menggunakan pendekatan keadilan, asas pemilu itu jurdil, menggunakan pendekatan hukum yang benar, yang dikatakan MK masuk akal," kata Titi dalam diskusi yang digelar INTEGRITY Law Firm di Jakarta, Kamis (22/8).
"Kita sebagai pemilih seolah keluar dari jebakan kebuntuan ketatanegaraan karena diperhadapkan kepada tidak adanya pilihan politik yang beragam. Apa yang salah dari putusan MK?" tambahnya.
ADVERTISEMENT
Bagi Titi keputusan MK memberikan keuntungan untuk semua partai dan pemilih. Di Jakarta misalnya, PDIP yang sebelumnya tidak bisa mengusung calonnya sendiri karena raihan suaranya di bawah ambang batas dan tak punya koalisi, kini menjadi bisa. Begitu juga di Banten, Golkar bisa mengusung sendiri Airin sebagai cagub.
Maka itu Titi heran dengan DPR yang tidak menganulir putusan MK lewat revisi UU Pilkada.
"Putusan MK ini menyuburkan demokrasi. Menyegarkan pilihan inklusuf bagi rakyat. Yang tidak berbahagia oligarki, yang tidak berbahagia politik kartel karena politik kartel dan oligarki hanya bisa dilawan dengan politik yang inklusif dengan pilihan politik yang lebih beragam," tuturnya.

Harus Dilawan

Foto udara massa aksi saat berunjuk rasa meolak pengesahan Revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Titi menuturkan masyarakat harus melawan siapa pun yang membangkang dan membegal putusan MK. Sebab putusan itu bersifat final dan mengikat. Sehingga siapapun harus patuh termasuk DPR.
ADVERTISEMENT
Pembina Perludem ini kemudian memberikan gambaran yang bisa terjadi jika revisi UU Pilkada tetap disahkan. Menurutnya jika nanti terjadi sengketa pilkada di MK, maka putusan MK bisa tidak dipatuhi.
"Karena bisa saja orang klaim kan itu tafsir MK. Faktanya kami hitung hasilnya benar, di situlah keadilan pemilu porak poranda dan kita harus melawan," ujarnya.
Titi juga khawatir jika hal penganuliran putusan MK ini dibiarkan maka masyarakakt bisa lebih mudah untuk dilawan dengan cara yang melawan hukum. Sebab MK yang punya otoritas, kapasitas kompetensi saja dapat dilawan.
"Saya Titi Anggraini siapa? Kalau MK bisa jadi korban, saya sebagai warga negara di negara hukum ini lebih sangat mungkin jadi korban berikutnya," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Maka itu menurutnya perlawanan yang saat ini dilakukan ialah untuk menegakan hukum.
"Ini soal menegakan negara hukum, menegakan supremasi hukum, menegakan demokrasi konstitusional, yang akan porakporanda kalau kita biarkan pembangkangan, pembegalan terhadap putusan MK terjadi tanpa perlawanan," pungkasnya.