Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
“Sering kali amanat dan tugas datang dengan rute yang tidak diduga,” ujar Anies Baswedan di kediamannya, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (28/7).
ADVERTISEMENT
Begitulah hidup, kesempatan kadang datang tak disangka atau justru tercipta dalam kesempitan. Apalagi di dunia politik yang penuh ketidakpastian.
Siapa kira Anies yang mulanya salah satu ‘panglima’ kampanye Joko Widodo pada pertarungan Pemilu Presiden 2014, kini disebut-sebut sebagai salah satu calon yang bisa menjungkirkan sang petahana.
Awalnya pekik Prabowo-AHY terdengar usai Ketua Umum Gerindra itu disambut hangat oleh Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di kediamannya, Mega Kuningan, Jakarta, Selasa (24/7). Dua hari berselang, rumor skenario Anies-AHY malah muncul dari mulut politikus PDIP Effendi Simbolon.
“Mereka sampaikan, mereka mempersiapkan untuk ujungnya nanti mencalonkan Anies dan AHY. Yang ngomong A1,” ujar Effendi di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (26/7). Informasi itu disebut Effendi sebagai format kemenangan yang paling mungkin dipilih oposisi.
ADVERTISEMENT
Effendi menambahkan, kabar tersebut sebetulnya tak boleh disiarkan. “Katanya nanti dulu, tapi saya sampaikan aja sekarang," ujarnya diiringi tawa.
Ibarat gayung bersambut, rumor itu kian kuat ketika Prabowo dinilai memberi sinyal. Saat memberi sambutan acara Ijtima Ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, Prabowo berkata ia siap mendukung calon lain .
“Saya menyatakan di sini, saya siap jadi alat untuk perubahan. Saya siap untuk jadi alat umat dan rakyat Indonesia. Tapi kalau saya tidak dibutuhkan dan ada orang lain, saya pun siap mendukung,” ujar Prabowo menutup pidatonya di Hotel Menara Peninsula, Jakarta Barat, Jumat (27/7).
Spekulasi berkembang cepat. Pernyataan Prabowo disebut sebagai sinyal keinginannya untuk menjadi kingmaker pada Pemilu 2019. Apalagi saat itu nama Anies masih masuk daftar pembahasan calon presiden dan wakil presiden versi GNPF Ulama.
ADVERTISEMENT
Mengawali karier sebagai akademisi, nama Anies kini tak pernah lepas dari dinamika politik. Saat ia dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dua tahun lalu, 27 Juli 2016, oleh Joko Widodo, spekulasi bahwa Anies akan maju Pemilu Presiden 2019 mulai berembus.
“Sampai jumpa di 2019, Mas Menteri,” ujar sahabat Anies, Harso Waluyo Witono alias Ipong Witono, di hari ketika mantan juru bicara Jokowi di Pilpres 2014 itu berkemas pergi usai pengumuman reshuffle kabinet. Menurut Ipong, sosok Anies adalah ‘aset’ yang seharusnya dijaga.
Anies tak pernah menyangka ia akan dilucuti dari jabatan menteri yang baru ia emban selama 22 bulan. Dia yang begitu getol membela dan mengampanyekan Jokowi pada 2014 baru mengetahui kabar pergantian dirinya sehari sebelum reshuffle kabinet diumumkan.
Berbagai dugaan penyebab Anies dicopot mengemuka. Misal, ia dianggap melenceng dari visi presiden yang menekankan program Kartu Indonesia Pintar. “Anies tak begitu menampilkan program itu sebagai prioritas kebijakan dia,” ujar Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik Universitas Islam Negeri Jakarta Ali Munhanif, dua tahun lalu.
ADVERTISEMENT
Menampik dugaan itu, Anies menilai Presiden Jokowi saat itu memiliki kepentingan lain yang harus diakomodasi. “Bukan karena kinerja saya,” jawab Anies. Kala itu Anies juga berkata, “Bukan hanya enggak akan keluar dari stadion, saya juga tidak akan keluar dari tim ini. Saya cool saja.”
Tapi sungguh politik selalu menegaskan sifatnya: tak ada lawan atau kawan yang abadi kecuali kepentingan.
Setahun setelah dilengserkan, Anies menerima tawaran dari dua partai oposisi--Gerindra dan PKS--untuk maju di Pilkada DKI Jakarta bersama Sandiaga Uno.
Kepada kumparan Anies bercerita, betapa ia kagum dengan kata-kata yang disampaikan Prabowo ketika mengajaknya melaju ke DKI-1. Kalimat yang membuatnya menyatakan “Siap!” kepada Prabowo.
“Pak Prabowo berkata begini, ‘Saya bukan hanya lihat Anda. Saya lihat kakek Anda dan kakek saya. Kakek Anda dan kakek saya sama-sama bekerja mendirikan Indonesia. Dan hari ini, cucunya--saya dan Anda--harus kerja sama untuk menyelamatkan Indonesia,” tutur Anies.
ADVERTISEMENT
Keadaan pun berbalik. Anies yang pernah menyumbang penyebab kalahnya Prabowo di Pilpres 2014 lalu menang di DKI Jakarta di bawah panji Gerindra--yang dikomandani oleh Prabowo--dan PKS.
Rumor Anies menuju Pilpres 2019 kembali berembus pada akhir 2017, saat Anies baru saja menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namanya selalu muncul dalam berbagai survei sebagai salah satu dari lima besar calon presiden dengan elektabilitas tertinggi.
Tapi Anies selalu mengelak dari pertanyaan seputar pilpres , mengalihkan jawabannya menjadi persoalan lain. Ia tak memberi kepastian apa pun, seperti pintu yang senantiasa terbuka atas segala kemungkinan.
ADVERTISEMENT
“Hari ini saya tidak mau mengatakan ‘Yes atau ‘No’. Karena terlalu awal untuk mengatakan yes di saat tidak ada undangan, juga terlalu awal mengatakan no di saat tidak ada undangan,” kata dia.
Sebagai tokoh nonparpol, sulit bagi Anies melaju dalam kontestasi pemilu presiden yang serempak digelar bersama pemilu legislatif. Sebab masing-masing partai akan mengutamakan kadernya terlebih dulu untuk maju sebelum memberi tiket untuk orang lain.
Mengusung kader sendiri lebih menjamin keuntungan bagi partai dibanding mengusung figur di luar partai. Ini karena tiap partai mencari coattail effect alias efek ekor jas, yakni pengaruh elektoral positif dari tokoh yang diusung. Tokoh tersebut akan ikut mengerek perolehan suara kader dan partai secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Maka Anies, dengan modal elektabilitasnya, ibarat gadis dari desa tetangga yang hanya bisa menanti pinangan datang karena dipingit keadaan. Tapi, ia yakin kesempatan bisa saja muncul tanpa diduga.
Pasang surut nama Anies dalam skenario pencapresan tak pernah reda, entah sebagai calon presiden ataupun wakil presiden. Bagi Gerindra, nama Anies ada di saku Prabowo sebagai salah satu calon wakil presiden. Sementara PKS menolak jika Anies hanya menjadi wakil presiden, sebab jatah cawapres--menurut PKS--adalah milik mereka.
“Kami bilang, ‘Pokoknya Pak Anies maju kalau tawarannya capres. Kalau tawarannya cawapes, lebih baik di DKI,’” ucap Direktur Pencapresan PKS Suhud Alynudin di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Rabu (25/7).
ADVERTISEMENT
Negosiasi antarpartai oposisi lebih rumit lagi setelah Demokrat mulai merapat. Angin cawapres berembus ke arah Agus Harimurti Yudhoyono, putra mahkota Cikeas yang digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa depan.
Menurut Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, sosok AHY bukan hanya mewakili dirinya yang memiliki cukup elektabilitas, tetapi juga mewakili sang ayah, SBY, yang memiliki kekuatan dan jaringan politik serta dana logistik.
“AHY jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan sosok Anies atau sosok lain dari kader PKS misalnya,” ujar Yunarto.
Kondisi tersebut akan berbeda jika Anies didorong oleh tokoh sekaliber Jusuf Kalla. “Kalau Anies ada yang mem-backup oleh orang sekelas JK, dia bisa menjadi sosok yang bahkan lebih mahal dibandingkan AHY.”
ADVERTISEMENT
Menurut pengamat politik LIPI Wasisto Raharjo Jati, posisi wakil presiden bukanlah jabatan yang diincar oleh sosok seperti Anies. Sebab, menurut Wasisto, “Anies memiliki gelagat untuk terus menduduki posisi tertinggi.”
Semenjak menjadi rektor, lalu menteri, hingga kini gubernur, Anies selalu memegang jabatan yang memiliki otoritas penuh, bukan posisi wakil yang tak benar-benar memiliki kuasa.
Skenario Anies-AHY bagi kedua pengamat politik itu tampak lebih meyakinkan, sebab berpotensi memiliki efek kejut dan mewakili semangat regenerasi politik, meski keduanya belum cukup teruji dalam memegang jabatan publik. AHY meninggalkan kariernya di militer dengan pangkat terakhir mayor, sementara Anies belum setahun menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Anies kan belum pernah menyelesaikan masa jabatan di level birokrasi yang bisa menunjukkan kalau dia berhasil,” ujar Yunarto.
ADVERTISEMENT
Kondisi tersebut dianggap Yunarto berbeda dengan ketika Jokowi meninggalkan Jakarta pada 2014. Meski belum beres di Jakarta, kata dia, Jokowi telah sempat membuktikan kinerjanya selama 10 tahun di Solo yang dianggap banyak orang cukup berhasil.
Sementara menurut Wasisto, Anies perlu banyak perbaikan. “Meskipun mampu menjembatani semua parpol di kubu Prabowo, untuk menghadapi Jokowi ia masih belum signifikan. Karena banyak kritikan, sanggahan, atas programnya di Jakarta yang justru lebih menggerogoti Anies.”
Terlepas dari rekam jejak tak sempurna itu, Anies memiliki peluang menang. “Bicara pertarungan dalam pilpres saat ini, persepsi warga terhadap calon tidak selalu rasional, yang emosional juga banyak,” ucap Yunarto.
Tetapi peluang untuk maju di Pilpres hanya akan diterima Anies jika Prabowo memberikan tiketnya. Ia menegaskan, “Saya tidak ingin menjadi bagian dari daftar orang yang mengkhianati dan menjegal promotornya.”
------------------------
ADVERTISEMENT
Simak aksi Para Penantang Jokowi di Liputan Khusus kumparan.