Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Segmen trail pemainnya semakin banyak, apalagi setelah Yamaha memperkenalkan WR155R . Sepeda motor yang dulu hanya diminati pehobi untuk bermain di trek off-road, kini bisa digunakan untuk mobilitas sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Kini setidaknya sudah ada tiga pilihan motor trail buat pasar dalam negeri, mulai dari Kawasaki KLX 150 sebagai penghuni paling lama, lalu diikuti Honda CRF150 L.
Ketiganya tentu punya spesifikasi dan keunggulan masing-masing. Iya selain pertimbangan performa mesin, khusus untuk segmen ini yang jadi sorotan adalah jenis suspensi yang digunakan. Mengingat habitatnya yang non-aspal, jadi sangat memerlukan peredam kejut mumpuni.
Mulai dari KLX150 BF, untuk mengawal redaman depan dibekali suspensi berjenis upside down (USD) dengan diameter pipa 35 mm. Begitu juga Honda CRF150L yang punya suspensi jenis sama hanya saja diameternya lebih besar yakni 37 mm.
Sementara Yamaha, masih percaya diri dengan suspensi teleskopik berdiameter 41 mm, untuk mengawal redaman pada bagian depan. Model suspensi ini bisa dibilang model konvensional layaknya motor pada umumnya. YIMM mengklaim, dengan tabung yang lebih lebar ini memberikan kesan kokoh dan kestabilan saat melibas medan off-road.
ADVERTISEMENT
“Iya memang enggak pakai (USD), tapi dimensi suspensi ini kan sudah besar 41 mm. Itu sudah cukup banget tuh buat diajak off-road. Kita lihat market dan perkembangannya nanti bagaimana. Tapi saya yakin untuk suspensi kebanyakan orang sudah tahu mau ngapain dan diapain,” kata M Abidin, Manager Sales & Motor Sport PT YIMM di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Lalu suspensi mana yang lebih ideal?
Didi Hermansyah penggawa dari bengkel Laksana Motor, spesialis motor trail di Depok, Jawa Barat menuturkan, pada dasarnya suspensi teleskopik dan upside down, punya fungsi yang sama untuk meredam kejutan, getaran. Hanya saja, ada perbedaan pada sensasi yang diberikan.
“Kalau untuk adventure sih sebenarnya suspensi jenis teleskopik sudah cukup. Kalau yang untuk loncat-loncat yang sudah pasti nyaman jenis upside down, karena biasanya sudah ada setelan rebound-nya,” kata Didi kepada kumparan, beberapa waktu lalu.
Lalu, kata Didi, suspensi jenis teleskopik punya keuntungan ketika motor digeber untuk kebutuhan adventure. Pasalnya, posisi as suspensi yang ada di bawah diletakan di bagian atas, sehingga potensi gesekan terkena ranting, atau benda tajam bisa diminimalisir.
ADVERTISEMENT
Untuk suspensi upside down, lanjut Didi punya poin lebih ke karakter redaman yang lebih baik ketimbang teleskopik. Selain itu, tampilannya yang lebih besar, membuat tampang motor lebih gahar. Tak sedikit, kata Didi itu yang jadi alasan konsumen memilih suspensi upside down.
“Dua-duanya harus dilihat, apakah ada setelan rebound-nya. Sebenarnya kalau teleskopik yang sudah ada rebound tidak kalah dengan upside down. Diameter yang besar pengaruhnya tidak terlalu banyak. Kuncinya di setelan rebound, dia bakal mengatur kelembutan sesuai selera,” jelas Didi.
Terakhir terkait perawatannya, suspensi teleskopik punya perawatan yang lebih minim dibanding model upside down. Apalagi kata Didi, apabila terjadi kebocoran, suspensi upside down punya tingkat kerumitan reparasi lebih dibanding teleskopik.
“Harga relatif sih (servis). Untuk onderdil memang sedikit lebih mahal upside down. Tapi bisa kita akali pakai yang diameternya sama, tidak masalah. Jadi intinya dua-duanya sama-sama bagus tinggal kita mau diperuntukan untuk apa,” tuntas Didi.
ADVERTISEMENT