Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam studi yang dilakukan oleh UN Environment Programme (UNEP) berjudul “Single-Use Plastics: A Roadmap for Sustainabil-ity” pada tahun 2018 mengungkapkan, bahwa sampah plastik berupa kantong dan styrofoam memerlukan ribuan tahun untuk bisa terurai.
Sedangkan penelitian Jenna R. Jambeck dari Georgia University pada 2010 menyebutkan, ada sekitar 275 juta ton sampah plastik yang tersebar di seluruh dunia, dengan sekitar 4,7 hingga 12,7 juta ton sampah berada di lautan. Ini artinya, setiap satu menit, sampah plastik yang dibuang ke laut setara dengan satu truk penuh.
Di tahun 2010 pula Indonesia menjadi negara kedua penyumbang sampah plastik terbesar ke lautan dunia, setelah China. Indonesia tercatat telah menghasilkan sampah plastik sebesar 3,22 ton, dengan sekitar 0,48-1,29 juta ton di antaranya mencemari lautan.
Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), 65 persen konsumsi plastik nasional masih didominasi oleh plastik kemasan. Dari total permintaan plastik kemasan, sekitar 60 persen diserap oleh industri makanan dan minuman.
ADVERTISEMENT
Industri minuman, misalnya, menjadi salah satu sektor yang pertumbuhannya paling cepat di Indonesia. Industri minuman di Indonesia tumbuh 22,74 persen pada semester satu 2019.
Ketika industri terus bertumbuh, maka volume sampah plastik pun akan meningkat. Pada 2050 mendatang, diperkirakan akan ada 12 miliar ton sampah plastik di lingkungan. Bahkan, World Economic Forum memprediksi lebih dari 32 persen sampah plastik bakal tidak tertangani, hingga menjadi sampah yang berujung mengotori daratan dan lautan.
Lantas, apa sebenarnya dampak yang bisa ditimbulkan dari sampah plastik pada lingkungan maupun kesehatan?
Dipaparkan oleh Greenpeace, pada dasarnya sampah plastik ini berpotensi terbelah menjadi partikel-partikel kecil, yang disebut sebagai mikroplastik dengan ukuran sebesar 0,3 hingga 5 milimeter.
Partikel kecil inilah yang justru berbahaya, karena berpeluang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia. Adapun dampak yang bisa ditimbulkan pada manusia antara lain kanker, stroke, serta penyakit pernapasan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sampah plastik juga telah mengancam kelangsungan hidup biota laut. Sebab, selain bisa melukai, sampah plastik juga rentan termakan oleh hewan, seperti ikan, paus, dan penyu. Studi yang dilakukan oleh US National of Medicine National Institutes of Health mengungkapkan, setidaknya ada 693 spesies di lautan yang terdampak sampah plastik, dengan saat ini diperkirakan lebih dari 51 triliun partikel mikroplastik telah mencemari lautan.
Bukan hanya itu, sampah plastik juga berpotensi mencemari tanah dan udara melalui pembakaran terbuka atau insinerasi, menurut Greenpeace. Insinerasi sering dianggap sebagai solusi paling mudah atas permasalahan pencemaran plastik berbasis lahan skala besar.
Padahal, insinerasi ini dapat menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) terbanyak di antara metode pengelolaan limbah plastik. Ketika ketergantungan pada insinerasi tumbuh, maka secara langsung emisi dari limbah plastik juga akan meningkat. Pembakaran plastik dan sampah diperkirakan akan memancarkan karbon setara dengan 189 megawatt pembangkit listrik tenaga batu bara pada akhir 2019.
ADVERTISEMENT
Greenpeace menegaskan, perlu ada peran nyata dari berbagai pihak untuk membuat kebijakan pengurangan produksi sampah plastik yang lebih fundamental, serta memastikan penanganan yang lebih tepat dan sistematis atas permasalahan kemasan plastik sekali pakai.