Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dalam audit merek yang dilakukan pada tahun 2016 hingga 2019, misalnya, sampah perusahaan produk kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods/FMCG) menjadi paling banyak ditemukan. Untuk tahun ini, tiga terbesar merek penyumbang sampah plastik diduduki oleh Indofood, JS, dan Danone.
Berdasarkan laporan terbaru Greenpeace berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions”, sebanyak 855 miliar saset terjual di pasar global pada 2019, dengan Asia Tenggara memegang pangsa pasar sekitar 50 persen. Diprediksi jumlah kemasan saset yang terjual akan mencapai 1,3 triliun pada 2027 mendatang.
Muharram Atha Rasyadi, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia berkata, solusi yang ditawarkan perusahaan FMCG untuk mengatasi sampah plastik saat ini dinilai belum tepat. Nestlé Indonesia, misalnya, menawarkan solusi dengan menyediakan sedotan kertas untuk produk minumannya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, pelaku industri pulp dan kertas seringkali tersangkut dengan aktivitas ilegal yaitu perambahan hutan untuk keperluan bisnis, yang akhirnya berakibat pada perubahan iklim.
Selain itu, perusahaan FMCG yang beralih dari plastik ke kertas juga harus menyadari daur ulang kertas mempunyai keterbatasan, yang tidak semua kertas bisa didaur ulang.
“Nestlé seharusnya mulai melakukan proses uji coba mengaplikasikan konsep refill,” kata Atha dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (12/11).
Lebih lanjut, daur ulang yang selalu ditawarkan oleh pihak industri sebagai solusi menangani sampah juga tidak dapat benar-benar menyelesaikan permasalahan ini. Sebagai contoh, beberapa perusahaan mencoba mengatasi krisis plastik hanya berfokus pada daur ulang, dengan memperbesar konten yang dapat didaur ulang pada kemasan produk mereka (recyclability).
ADVERTISEMENT
Menurut Atha, hal ini justru menjadi solusi yang salah, sebab tingkat daur ulang di Indonesia masih sangat rendah. Sistem pengelolaan sampah nasional pun masih belum dapat menjalankan konsep daur ulang dan pemilahan dengan baik.
“Kita masih dapat melihat tindakan memilah sampah di lingkup rumah tangga yang sangat minim, proses pengangkutan sampah menuju tempat pemrosesan akhir yang tidak berbasis pemilahan sesuai jenisnya, serta fasilitas daur ulang dalam negeri yang masih dalam skala kecil dan menengah,” ujar Atha.
Dengan kata lain, aktor berikutnya yang memegang peranan penting ialah pemerintah selaku pemangku kebijakan. Sudah seharusnya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan produksi plastik sekali pakai yang begitu masif, seperti mengatur dengan jelas tanggung jawab produsen atas sampah dari produk yang mereka hasilkan.
Selain itu, peningkatan pada sistem pengelolaan sampah nasional berbasis pemilahan juga menjadi salah satu kunci untuk mengatasi permasalahan sampah dalam negeri.
ADVERTISEMENT
“Artinya, kita perlu mulai secara bertahap menerapkan pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab dan gaya hidup yang berkelanjutan sebagai kontribusi dalam menyelesaikan krisis plastik di dalam negeri,”
Namun, menurut Atha, perubahan dari masyarakat tidak dapat berhasil jika tidak disertai dengan perubahan signifikan dari para perusahaan dalam mengendalikan produksi plastik sekali pakai, serta target ambisius dari pemerintah dalam pengurangan sampah yang ditunjukan dengan berbagai kebijakan yang tepat.