Covid Section-Cover SQR-Ilustrasi ilmuwan di laboratorium

Bencana Virus Corona di Indonesia: Ketika Suara Ilmuwan Tak Didengar

6 April 2020 6:36 WIB
comment
45
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas mengenakan pakaian steril saat akan memasuki Laboratorium Balitbangkes, Jakarta. Foto: ANTARA/Galih Pradipta
zoom-in-whitePerbesar
Petugas mengenakan pakaian steril saat akan memasuki Laboratorium Balitbangkes, Jakarta. Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Penanganan virus corona di Indonesia tampak mengacuhkan riset ilmiah yang dilakukan oleh para peneliti dan ahli. Itu terlihat sejak awal virus corona merebak di Indonesia hingga hari ini ketika pasien positif COVID-19 hampir menyentuh angka 3.000 orang.
Masih segar di benak saat Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menilai riset Harvard T.H. Chan School of Public Health di Amerika Serikat, pada Februari 2020, sebagai penghinaan.
Saat itu, riset Harvard memprediksi bahwa semestinya Indonesia telah mencatatkan kasus positif COVID-19, karena sejumlah penerbangan dari dan ke China masih dibuka pada Januari 2020. Tak lama kemudian, muncul pasien corona 01 dan 02 sangat mungkin terinfeksi pada bulan Februari 2020.
Tak hanya Menkes Terawan, sejumlah figur pemerintahan juga seolah mengabaikan potensi serius corona di Indonesia. Beberapa lelucon dan komentar non-ilmiah yang dilontarkan para menteri dan pejabat setingkatnya, seakan menempatkan virus corona bukan masalah besar yang harus diantisipasi.
Sampai kemudian virus tersebut menempatkan negara dalam kondisi darurat nasional. dengan tingkat kematian corona di Indonesia sempat mencapai 9,13 persen, lebih besar dari rata-rata tingkat kematian global yang "hanya" 5,38 persen.
Ketiadaan antisipasi di awal itu tak lantas membuat pemerintah mendengar saran para ilmuwan. Sejumlah imbauan peneliti agar pemerintah menerapkan intervensi tinggi belum dilaksanakan, begitu juga dengan anjuran lockdown atau karantina wilayah.
Presiden Jokowi menyebut, kebijakan lockdown yang diterapkan di sejumlah negara tak bisa diterapkan di Indonesia karena faktor karakter, budaya, dan kedisiplinan yang berbeda. Oleh karena itu, menurutnya, "Di negara kita yang paling pas adalah physical distancing."
Di sisi lain, komunitas ilmiah sepakat bahwa lockdown diperlukan sebagai cara paling efektif untuk menekan persebaran virus corona. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), misalnya, menyebut bahwa lockdown merupakan satu-satunya cara agar pemerintah suatu negara dapat memperlambat penyebaran virus corona.
"Kita harus menerapkan pengawasan kesehatan masyarakat, isolasi, karantina, penemuan kasus, dan deteksi. Kita harus dapat menunjukkan bahwa kita dapat menang melawan virus, karena lockdown saja tidak akan berfungsi," kata Michael Ryan, Direktur Eksekutif WHO, dalam sebuah briefing pers virtual, Senin (30/3).
"Dalam beberapa situasi saat ini, lockdown adalah satu-satunya ukuran yang dapat diambil pemerintah untuk memperlambat virus ini. Itu sangat disayangkan, tetapi itulah kenyataannya," imbuhnya.
Ilmuwan di laboratorium. Foto: Pixabay
Senada dengan WHO, kelompok riset dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia juga menyebut bahwa intervensi tingkat tinggi dari pemerintah diperlukan untuk mengurangi jumlah kasus dan kematian dari pasien COVID-19.
Menurut skenario pemodelan yang mereka buat, virus corona bisa menginfeksi 2,5 juta orang di Indonesia bila negara tidak melakukan intervensi; 1,7 juta orang bila dilakukan intervensi ringan; 1,2 juta orang bila dilakukan intervensi moderat; dan 500 ribu "saja" bila intervensi ketat diterapkan.
Adapun kasus kematian akibat virus corona di Indonesia bisa mencapai 240.244 orang bila negara tak mengintervensi, 144.266 orang bila terdapat intervensi ringan, 47.984 orang bila dilakukan intervensi moderat, dan 11.898 orang bila intervensi ketat diterapkan.
Oleh karenanya, para peneliti FKM UI menyarankan pemerintah segera mengambil kebijakan karantina wilayah.
"Karantina Pulau Jawa. Batasi mobilitas di dalam pulau. Batasi mobilitas penduduk di dalam pulau dan antar-pulau," kata Pandu Riono, PhD., dokter dan staf pengajar FKM UI yang ikut menyusun skenario pemodelan tersebut.
"Tidak boleh ada perpindahan antar-provinsi atau antar-kabupaten di pulau itu. Dan lakukan segera mungkin, karena seharusnya sudah dari minggu lalu," ujarnya.
Pemerintah sebenarnya sadar jumlah kasus virus corona di Indonesia tidaklah sedikit. Pada Maret 2020, juru bicara pemerintah untuk penanganan kasus virus corona, Achmad Yurianto, sempat menyebut bahwa kemungkinan ada 700.000 orang di Indonesia yang berpotensi terinfeksi virus tersebut.
Namun kemudian, pemerintah memilih untuk menerbitkan PP Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagai cara untuk menanggulangi wabah virus corona SARS-CoV-2.
PSBB, menurut sejumlah ahli hukum, tidak mencerminkan progres pemerintah untuk mencegah penularan infeksi virus corona yang lebih masif di Indonesia.
"Kesan PP PSBB dikeluarkan khusus, sekadar formalitas semata," menurut catatan Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Universitas Indonesia.
Karantina Wilayah vs PSBB, Lebih Baik Mana? Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
PSHTN UI menyoroti lima kekurangan PP PSBB dalam menuntaskan masalah. Salah satu poin lain yang juga disorot oleh mereka adalah kurangnya paparan pelaksanaan PSBB, karena PP tersebut hanya detail mengatur mekanisme pengajuan PSBB dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.
Sementara Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, menduga pemerintah tak mau menerapkan karantina wilayah karena enggan menanggung biaya hidup rakyatnya. Sebab, UU Kekarantinaan Kesehatan mensyaratkan pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah jika karantina wilayah berlaku. Itu artinya, Roy bilang, pemerintah ingin membuat kebijakan gratisan.
Inefisiensi kebijakan pun membuat sejumlah ilmuwan dunia mengkhawatirkan kondisi Indonesia di tengah wabah corona. Sebagai contoh, dosen ahli politik Asia Tenggara di Griffith University, Lee Morgenbesser, menganalogikan Indonesia sebagai "tong mesiu".
"Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling saya khawatirkan. Mereka adalah tong mesiu. Populasinya sangat besar dengan birokrasi yang tidak efisien," kata Morgenbesser, dikutip dari The Sydney Morning Herald.
Sejumlah ahli kesehatan juga menyoroti kurangnya upaya preventif penyebaran virus corona yang dibuat pemerintah.
Peneliti epidemiologi klinis FKUI-RSCM, dokter Tifauzia Tyassuma, misalnya menilai bahwa pemerintah terlampau fokus pada upaya kuratif (penyembuhan) ketimbang antisipatif. Padahal, pencegahan penyebaran diperlukan untuk memastikan bahwa jumlah pasien COVID-19 tidak melebihi kapasitas fasilitas kesehatan yang ada.
"Membangun rumah sakit darurat, membeli APD (alat pelindung diri), membeli obat yang belum ketahuan efektivitasnya, itu upaya kuratif. Sementara peningkatan kesadaran masyarakat atas COVID-19 sangat terbatas," katanya.
Menurut laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dari 43 negara yang diriset, Indonesia berada di peringkat 41 dalam hal ketersediaan ranjang per 1.000 penduduk. Posisi itu hanya menempatkan Indonesia lebih baik ketimbang India dan Kosta Rika.
Data Profil Kesehatan Indonesia 2018 yang dirilis Kemenkes menunjukkan, Indonesia punya 1,2 ranjang tiap 1.000 penduduk. Menurut rujukan tersebut, standar WHO adalah 1 tempat tidur untuk 1.000 penduduk.
Dengan demikian, meskipun masih kalah jauh rasionya dibandingkan negara lain, Indonesia sudah memenuhi standar secara umum. Masalahnya, persebaran tempat tidur yang tersedia itu tidak merata di seluruh provinsi, dengan 8 provinsi yang rasionya berada di bawah standar WHO yakni Riau (0,98), Kalimantan Tengah (0,91), Sulawesi Barat (0,91), Lampung (0,91), Banten (0,87), Jawa Barat (0,85), NTT (0,81) dan NTB (0,71).
Foto aerial progres pembangunan rumah sakit khusus corona di Pulau Galang, Batam, Rabu (25/3). Foto: ANTARA/Bobby
Pertanyaan mengenai kemampuan faskes Indonesia dalam menampung pasien COVID-19 sangat relevan di tengah isu arus mudik yang lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya.
Di tengah ketakutan tertular virus corona dan ketidakpastian ekonomi di Jakarta, masyarakat lebih memilih untuk balik ke kampung halaman.
Masalahnya lagi, komunikasi pemerintah atas isu arus mudik terkesan ambigu dan sulit dipahami. Pada 2 April, Jubir Presiden Jokowi, Fadjroel Rahman, menyatakan masyarakat diperbolehkan mudik dengan syarat isolasi diri selama 14 hari.
Namun sore harinya, Fadjroel meralat ucapannya. Ia kemudian berkata, pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak mudik.
Sungguh membingungkan.
Terbaru, dalam rapat terbatas virtual Pembatasan Sosial Berskala Besar, Presiden Jokowi sempat menyinggung bahwa kondisi cuaca di Indonesia turut mempengaruhi perkembangan virus corona. Namun, dia tak merinci konteks serta kaitan antara cuaca dan virus SARS-CoV-2.
"Kalau kita lihat dengan musim yang ada sekarang, saya kira cuaca juga sangat mempengaruhi berkembangnya COVID-19 ini," ucap Jokowi saat membuka ratas online, 2 April.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, juga menyebut bahwa suhu punya pengaruh terhadap virus corona. Menurutnya, Indonesia bakal mendapatkan keuntungan dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tinggi pada bulan April.
"Indonesia diuntungkan dengan temperatur tinggi pada April. Ini humidity (kelembaban) tinggi buat COVID-19 relatif lemah daripada tempat lain," kata Luhut kepada wartawan, 31 Maret.
"Tapi kalau kita social distancing tidak juga ketat, terlalu banyak berkumpul ramai-ramai, ya enggak berlaku keuntungan dari panas atau humidity tadi," ujarnya.
Pernyataan tersebut benar dalam hal daya tahan virus corona. Sejumlah penelitian menyebut bahwa suhu udara berdampak pada masa hidup virus tersebut.
Meski demikian, penelitian Harvard Medical School menunjukkan bahwa suhu cuaca dan kelembaban tidak mempengaruhi tingkat penyebaran kasus SARS-CoV-2 di wilayah tropis seperti Indonesia.
Berbeda dengan Harvard, laporan terbaru dari tim Gabungan BMKG dan UGM menyebut bahwa iklim dapat menjadi faktor pendukung dalam menekan kasus wabah virus corona.
Namun, faktor alam tak akan punya pengaruh banyak jika intervensi pemerintah untuk menerapkan pembatasan sosial yang tegas tidak dilakukan secara serius.
"Apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat, maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
Senada dengan BMKG, peneliti dari French Institute of Health and Medical Research, Vittoria Colizza, juga mengatakan bahwa penularan virus corona lebih banyak terjadi lewat kontak dekat antara penderita dengan orang lain.
Oleh sebab itu dia menyarankan agar pemangku kebijakan melakukan imbauan yang telah direkomendasikan para pakar.
“Belum ada bukti yang cukup tentang perubahan perilaku virus COVID-19 terhadap cuaca,” ujarnya, dikutip BBC.
“Kalaupun kasus COVID-19 mulai berakhir di bulan depan, itu bukan hanya karena cuaca, tapi ada tindakan pencegahan yang berperan di dalamnya, seperti karantina wilayah atau lockdown, isolasi, dan pola hidup masyarakat dalam mencegah terjadinya penularan,” sambungnya.
Maka, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan nyata segera, alih-alih hanya bergantung pada faktor alam atau physical distancing yang lagi-lagi cuma imbauan, tanpa ketiadaan sanksi tegas.
Sudah waktunya suara-suara ilmuwan dan para ahli didengar untuk menyelamatkan banyak nyawa.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk membantu mencegah penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten