Fenomena Awan Topi Berlapis di Gunung Lawu, Benarkah Terjadi Badai di Puncak?

5 November 2020 13:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Awan topi berlapis muncul di Gunung Lawu. Foto: Facebook/Dwi Nur Putra Magetan
zoom-in-whitePerbesar
Awan topi berlapis muncul di Gunung Lawu. Foto: Facebook/Dwi Nur Putra Magetan
ADVERTISEMENT
Pada Kamis (4/11) pagi, warganet dihebohkan dengan kemunculan awan topi berlapis di Gunung Lawu, di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sejumlah foto dari fenomena yang sering disebut "gunung bertopi awan" ini tersebar di media sosial Facebook, termasuk di Grup Berita Magetan.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia astronomi, awan topi yang ada di puncak gunung disebut sebagai awan lenticular. Meski terlihat indah, sejumlah orang percaya bahwa kehadiran fenomena itu menandakan bahwa di puncak gunung tengah terjadi badai. Benarkah?
Soal viral awan topi berlapis di Gunung Lawu, fenomena itu dilaporkan muncul pertama kali pada Kamis (4/11) sekitar pukul 06.00 WIB. Dalam foto yang beredar, awan putih berlapis tampak melingkar membentuk topi. Inilah cikal bakal kenapa fenomena ini sering disebut sebagai gunung bertopi awan.
Di sejumlah foto yang beredar, ada dua awan topi yang terbentuk di sekitar Lawu. Pertama di puncak Gunung Lawu, kedua di bagian depannya. Fenomena gunung bertopi awan juga terjadi di Gunung Panderman, kota Malang, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
"Tadi lihat awan seperti roti sobek sebelum pukul 6 pagi. Siang sedikit bentuknya seperti piring terbang," kata Yati, seorang warga yang melihat awan itu di sekitar Gunung Panderman, kepada kumparan.
Menurut Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), awan topi atau lenticular yang menutup puncak gunung itu muncul sebagai akibat dari aliran udara yang terganggu oleh keberadaan gunung, sehingga menyebabkan pusaran di puncak gunung.
“Uap air yang hangat terangkat oleh angin menuju puncak gunung lalu berinteraksi dengan angin dingin di puncak gunung yang dinamikanya menyebabkan pusaran yang membentuk awan berbentuk seperti lensa," ujar Thomas kepada kumparan, Kamis (11/5).
Di lain pihak, Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil Syahbana, menyebut fenomena alam seperti ini memang biasa terjadi di atas pegunungan atau perbukitan tinggi.
ADVERTISEMENT
Secara terperinci ia menjelaskan, awan lenticular bisa terbentuk ketika udara yang bergerak di atas permukaan bertemu dengan permukaan yang tinggi, seperti gunung atau perbukitan. Aliran udara ini kemudian terganggu atau mengalami turbulensi.
“Untuk gunung yang berbentuk kerucut, aliran udara akan membangun arus aliran udara yang mengelilingi gunung. Ketika suhu di puncak di bawah titik embun, dan dengan aliran udara tadi, uap air di area puncak mengembun dan membentuk awan lenticular ini,” papar Devy.
Awan lenticular tidak berkaitan dengan aktivitas magmatik atau vulkanik, bukan juga sebagai tanda-tanda akan terjadinya bencana. Awan lenticular hanya fenomena atmosfer biasa yang memang sering terjadi di permukaan tinggi dan bisa bertahan selama berjam-jam.
Meski terlihat indah, bagi para pendaki yang berada di puncak gunung, fenomena itu adalah mimpi buruk. Karena awan lenticular menandakan tengah terjadi pusaran angin seperti badai. Artinya, hal ini bisa berdampak buruk pada pendaki maupun pesawat yang melintas di atasnya.
ADVERTISEMENT
Bagi pendaki gunung, embusan angin saat terjadi awan lenticular bisa menyebabkan hipotermia. Sedangkan untuk pesawat, awan dan pusaran angin yang bersifat turbulen ini bisa membuatnya terguncang sehingga kehilangan altitude-nya dengan cepat.