Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jamu buatan Madagaskar diyakini mampu membunuh virus corona. Namun WHO tak merekomendasikannya. Sentimen bangsa Afrika pun sempat merebak. Mereka yakin bisa jadi juru selamat dunia di masa pandemi.
Charles Andrianjara punya formula sederhana menghadapi virus corona. Cukup campurkan dedaunan artemisia annua dengan tanaman lain, lalu minum racikan itu, maka pasien COVID-19 akan sembuh. Formula inilah yang menjadi inti ramuan jamu pembunuh corona COVID-Organics atau kerap disebut CVO yang dipromosikan oleh Presiden Madagaskar Andry Rajoelina.
Artemisia annua ialah nama ilmiah dari anuma, tumbuhan liar yang daunnya bisa digunakan sebagai obat demam. Anuma—dengan dedaunan runcing yang memiliki tepi bergerigi—biasa tumbuh di hutan.
Sementara Andrianjara yang mempercayai khasiat anuma adalah Direktur Jenderal Institut Ilmu Terapan Malagasi (Malagasy Institute of Applied Research—IMRA). Sejak 1957, lembaganya membuat katalog ramuan obat untuk tabib tradisional di Madagaskar . Baginya, anuma merupakan salah satu ramuan pokok untuk melawan corona.
“Hipotesis kami adalah jika kita dapat mengobati batuk, kesulitan pernapasan, sakit, demam, maka kita dapat mengobati virus,” ucapnya seperti dikutip dari Time pada 22 Mei.
Anuma sudah dipakai oleh beberapa tabib tradisional untuk menanggulangi penyakit yang memiliki gejala sama dengan COVID-19. Tim IMRA pun meracik anuma dengan bahan lain untuk membuat teh herbal. Minuman ini lantas diberikan kepada pasien positif COVID-19. Hasilnya, gejala penyakit berkurang dan mereka cepat pulih.
Adrianjara masih merahasiakan resep ramuannya karena khawatir formula itu akan dicuri. Ia hanya memberikan keterangan bahwa perawatan dengan jamu CVO ini selayaknya perawatan model barat dengan menggunakan parasetamol.
Tak ada dokumentasi resmi soal konsumsi teh herbal hasil campuran artemisia annua tersebut sebagai penyembuhan COVID-19. Adrianjara mengaku hanya mengamati reaksi pasien saja. Paling tidak, menurutnya, sudah ada 20 orang pasien positif COVID-19 yang menenggak teh herbal CVO itu. Setelahnya, Presiden Rajoelina mengumumkan mereka telah menemukan obat penyembuh COVID-19.
Pada 20 April, Rajoelina mengklaim bahwa jamu itu sudah diteliti dan terbukti efektif mengobati COVID-19. Menurut dia, sudah ada dua pasien COVID-19 yang mengkonsumsi jamu ini dan sembuh. Bahan dasar CVO, ujarnya, adalah bahan tradisional yang biasa dipakai untuk mengobati malaria—obat antimalaria pula, klorokuin, yang didengungkan Presiden AS Donald Trump sebagai pengobatan corona, dan dipakai di Indonesia meski WHO meminta penyetopan penggunaannya.
Di Madagaskar, CVO yang mengandung bahan antimalaria pun lantas direkomendasikan untuk dikonsumsi sebagai tonik.
“Saya akan menjadi yang pertama minum ini hari ini, di depan Anda, untuk menunjukkan kepada Anda bahwa produk ini menyembuhkan dan tidak membunuh,” ucap dia dalam jumpa pers di kantor IMRA, di kota Antananarivo, Madagaskar pada 22 April lalu.
Kampanye menenggak CVO kemudian merebak. Seluruh penjuru Madagaskar mendapatkan jatah jamu anticorona itu secara cuma-cuma. Puluhan warga mengantre untuk memperoleh jatahnya di Balai Kota Antananarivo.
Salah seorang warga, Robert, mengatakan petugas berkali-kali meyakinkan warga bahwa obat itu akan menyelamatkan mereka dari COVID-19. Ia pun lantas meyakini keampuhan jamu itu. Menurutnya, Madagaskar akan menjadi penyelamat dunia, bahkan juru selamat bagi negara-negara lain yang merasa lebih pintar, kaya, dan berpengetahuan.
“Madagaskar akan memiliki banyak pengetahuan dalam perang melawan virus corona dan seluruh dunia akan berpaling kepada kita,” ucap Robert yang bekerja sebagai pedagang seperti dilaporkan Africanews.
Kampanye akan keampuhan CVO juga digalakkan artis Madagaskar. Tence Mena, penyanyi populer Malagasi, mengaku kondisinya lebih baik setelah minum CVO. Sebelumnya, ia merasa memiliki gejala COVID-19 setelah melakukan perjalanan ke Perancis.
“Saya menderita flu dan sakit tenggorokan. Saya sakit, kehilangan rasa dan bau, sakit kepala pada awalnya, selalu merasa lelah. Saya mengikuti perawatan dengan COVID-Organics, saya ingin tahu apakah itu akan menyelamatkan hidup saya... dan itu berhasil bagi saya karena saya sembuh,” ujarnya.
Data kepresidenan menyebutkan, lebih dari 100 pasien telah sembuh setelah menjalani pengobatan. Sedangkan data Worldmeter menunjukkan kasus corona di Madagaskar mencapai angka 758 pada Sabtu (30/5), dengan enam orang meninggal dan 165 pasien sembuh.
Namun, mengkonfirmasi apakah data kesembuhan itu berasal dari sumbangsih CVO adalah tak mungkin, sebab rumah sakit di seantero negeri itu menolak mengeluarkan data mereka.
Kampanye CVO sendiri sudah merambah ke beberapa negara lain di benua hitam seperti Tanzania, Liberia, Guinea Khatulistiwa, and Guinea-Bissau.
Pun begitu, WHO sangat berhati-hati menyikapi klaim keampuhan CVO ini. Organisasi kesehatan dunia itu berulang kali memperingatkan bahwa belum ada studi ilmiah yang dipublikasikan tentang COVID-Organics. Pada 5 Mei lalu, Direktur WHO Matshidiso Moeti meminta Madagaskar melakukan uji klinis terlebih dahulu.
“Kami akan memperingatkan dan menyarankan negara-negara agar tidak mengadopsi produk yang belum diambil melalui tes untuk melihat kemanjurannya,” kata Moeti.
Beberapa negara Afrika lain masih enggan menerima jamu dari Madagaskar untuk penanganan COVID-19. Afrika Selatan, misalnya, melalui Menteri Kesehatan Zweli Mkhize mengatakan negaranya akan melibatkan ilmuwan-ilmuwan mereka untuk menganalisis ramuan itu secara ilmiah.
Sementara itu, Eswatini—kerajaan kecil di selatan Afrika—menegaskan tak akan mempertimbangkan penggunaan tonik Rajoelina untuk saat ini. Mereka akan memastikan dengan penelitian yang memadai untuk memastikan keampuhan produk itu.
“Adalah penting sebagai negara untuk terlebih dahulu memastikan produk herbal tersebut telah diuji,” kata Menteri Kesehatan Eswatini, Lizzie Nkosi.
Presiden Madagaskar mengaku kecewa dengan sikap WHO. Ia merasa ada diskriminasi terhadap negara-negara Afrika oleh lembaga kesehatan di bawah PBB itu. Menurutnya, jika salah satu negara Eropa mendapat temuan sama, tentu sikap WHO akan berbeda.
“Masalahnya adalah bahwa CVO ini berasal dari Afrika. Dan mereka tidak dapat menerima bahwa negara seperti Madagaskar, yang merupakan salah satu negara termiskin di dunia, telah menemukan formula ini untuk menyelamatkan dunia,” keluhnya seperti dikutip dari situs berita Anadolu Agency.
WHO tetap mengirim perwakilan untuk bertemu dengan pemerintah Madagaskar. Mereka akan membentuk tim untuk mendukung penelitian terkait CVO. Sektor obat tradisional dalam WHO tengah menjajaki riset dan memfasilitasi kolaborasi obat tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional di Madagaskar.
Artemisia annua sendiri bukan tanaman asli Madagaskar. Tumbuhan ini berasal dari China dan baru dibawa ke Madagaskar pada 1970-an untuk mengobati malaria.
Keampuhan anuma juga tengah didalami oleh lembaga penelitian nirlaba asal Jerman, Max Planck Institute of Colloids and Interfaces. Mereka, bekerja sama dengan perusahaan berbasis di Amerika—ArtemiLife , tengah menguji ekstrak artemisia annua dan turunan artemisinin dalam studi penanganan COVID-19.
Menurut mereka, studi awal di China menunjukkan ekstrak alkohol dan Artemisia annua adalah obat herbal paling manjur kedua yang digunakan pada SARS. SARS dan SARS-CoV-2 adalah anggota dari subgenus yang sama.
“Mengingat kesamaan antara kedua virus itu, ekstrak tanaman dan turunan artemisinin perlu diuji terhadap virus corona baru dan kolaborasi internasional ini memungkinkan,” ucap Direktur di Max Planck Institute of Colloids and Interfaces, Peter H. Seeberger, seperti dikutip dari web Max-Planck.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.