Miris! Tingkat CO2 di Bumi Berada di Titik Paling Parah Sepanjang Sejarah

11 Juni 2021 10:09 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang warga berjemur dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang warga berjemur dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemberlakukan karantina wilayah atau lockdown di beberapa negara di dunia yang mengharuskan orang-orang diam di dalam rumah dan mengurangi aktivitas di luar ruangan untuk menghentikan laju penularan virus corona pernah berdampak baik pada penurunan tingkat polusi udara.
ADVERTISEMENT
Namun, nyatanya hal ini hanya bersifat sementara. Karena para peneliti mencatat tingkat karbon dioksida di udara mencapai titik tertinggi sepanjang sejarah umat manusia pada Mei 2021.
Menurut Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA), pada Mei 2021 karbon dioksida telah memanaskan planet di atmosfer rata-rata 419 part per million (ppm). Jumlah itu sama dengan 4 juta tahun yang lalu, ketika suhu global rata-rata sekitar -13 derajat Celcius lebih panas dan permukaan laut 23 meter lebih tinggi dari sekarang.
Ilmuwan memperingatkan, jika ini dibiarkan, maka tingkat CO2 di atmosfer akan semakin bertambah dan membawa Bumi ke suhu yang lebih panas dan tidak ramah lingkungan.
“Kontrol utama pada CO2 di atmosfer adalah emisi bahan bakar fosil,” kata Ralph Keeling, ahli geokimia Scripps Oceanography dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip The Verge.
ADVERTISEMENT
“Kita pada akhirnya butuh penyekatan yang lebih besar dan lebih lama daripada karantina COVID-19 pada tahun 2020.”
Pada tahun 2020, ketika hampir semua negara menerapkan lockdown hingga beberapa industri menghentikan proses produksinya, CO2 sempat turun sekitar 6 persen. Namun, pada akhir tahun lalu, polusi udara kembali meraung. Emisi global dari penggunaan energi pada Desember 2020 melonjak dan lebih tinggi ketimbang 2019.
Ilustrasi Polusi Udara Jakarta. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Tahun 2020 juga menandai lima tahun sejak pemberlakukan perjanjian iklim Paris. Selama setahun terakhir, pemerintah di berbagai negara menghadapi tekanan untuk meningkatkan komitmen mereka mengurangi emisi gas rumah kaca.
China sebagai negara penyumbang CO2 terbesar di dunia saat ini mengatakan akan berhenti membuang emisi ke udara pada tahun 2060. Presiden AS, Joe Biden, juga memiliki tujuan sama dengan target pada tahun 2050. Namun nyatanya hingga saat ini baik China maupun AS belum melakukan tindakan nyata untuk setidaknya mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer.
ADVERTISEMENT
NOAA menyebut, pandemi tidak memberikan efek berarti pada laju pemanasan global akibat CO2 di atmosfer. Menyoal CO2, pada akhir 1950-an, Charles David Keeling adalah ilmuwan pertama yang menemukan bahwa tingkat CO2 di atmosfer terus meningkat setiap tahunnya.
Pasang surutnya CO2 di atmosfer bergantung pada tanaman di belahan bumi utara. Ketika tanaman di sana tumbuh subur, mereka dapat menyerap CO2 paling banyak, dan saat mereka menggugurkan daunnya, konsentrasi CO2 akan meningkat. Mei biasanya menjadi bulan dengan tingkat CO2 berada di level tertinggi sepanjang tahun.