Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Mulyoto Pangestu, Ilmuwan Brilian Indonesia yang Belum Lagi Kembali
5 Juli 2017 8:29 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Mulyoto Pangestu punya prestasi yang tak remeh. Ia menemukan teknik pengeringan sperma yang sederhana dan murah, yang sudah pasti bisa amat berguna bagi pasangan yang mengalami masalah infertilitas.
ADVERTISEMENT
Temuan itu membuat Mulyoto meraih penghargaan Young Inventors Awards dari The Far Eastern Economic Review, bahkan kemudian beberapa kali ditawari pindah kewarganegaraan Australia oleh kampus tempatnya mengajar kini di Monash University, Melbourne, demi kemudahan administrasi.
Namun, Mulyoto menolak. Meski hingga kini di usianya yang 54 tahun, ia masih tetap tinggal di Australia, mengajar di Monash University, dan belum kembali pulang ke Indonesia.
Lantas, kenapa gerangan Mulyoto masih betah menetap di Australia walau juga tak mau menyandang paspor Negeri Kanguru?
Jangan dulu salah paham dan langsung menjustifikasi yang tidak-tidak. Mulyoto yang kelahiran Jawa Tengah itu punya alasan jelas.
“Kondisi istri saya yang saat ini harus berada di kursi roda, menyebabkan saya memilih tinggal di Australia,” ujar Mulyoto kepada kumparan (kumparan.com) di sela kesibukannya, Rabu (28/6).
ADVERTISEMENT
Istri Mulyoto, Lies Pangestu, mengidap penyakit spinal muscular atrophy sejak berusia remaja. Ini penyakit genetik otot-saraf (neumuscular genetic disorder) yang ditandai dengan kelumpuhan otot. Akibat penyakit ini, Lies mesti mengandalkan kursi roda untuk mobilitas dan beraktivitas.
Namun begitu, meski dengan keterbatasan tersebut, fasiltas umum yang disediakan pemerintah Australia di berbagai ruang publiknya, membuat Lies dapat hidup lebih mandiri di negeri itu. Ia tetap bergerak leluasa sehari-hari, tak cuma terkungkung dalam rumah mengharap bantuan orang lain.
Mulyoto menceritakan, istrinya bahkan bisa pergi berbelanja maupun menghadiri acara-acara lain sendirian, tanpa harus didampingi, dengan menggunakan kendaraan umum bus dan kereta commuter di Australia tanpa harus tergantung pada orang lain.
“Trotoar tempat pejalan kaki dan fasilitas umum lainnya sudah sesuai bagi penyandang disabilitas,” kata Mulyoto.
ADVERTISEMENT
“Bahkan ketika saya ada tamu atau teman datang dari Indonesia, istri saya dapat mengantarkan mereka berjalan-jalan melihat kota Melbourne dan berbelanja,” imbuhnya.
Di Australia, fasilitas pendukung bagi warga disabilitas membuat mereka tak seperti difabel, tapi normal seperti mayoritas. Dan inilah yang belum bisa terjadi di Indonesia.
“Beberapa kali saya dan istri datang ke Indonesia, kondisinya masih belum mendukung. Hanya beberapa pusat perbelanjaan yang memiliki akses untuk penyandang disabilitas. Sedangkan perjalanan menuju dan dalam kendaraan umum masih belum memadai sama sekali,” ujar Mulyoto.
Cinta Negeri Sendiri
Pilihan berdiam di Australia demi kehidupan “normal” yang bisa dijalani sang istri, nyatanya tak melunturkan rasa cintanya pada Indonesia.
“Beberapa kali dari Monash menanyakan mengapa tidak jadi warga negara Australia. Tujuan utama (mereka bertanya) adalah untuk mempermudah urusan apabila (saya) akan pergi ke luar negeri,” kata Mulyoto.
ADVERTISEMENT
Namun bagi Mulyoto, status permanent residence yang ia sandang sebagai warga berpaspor Indonesia di Australia, sudah cukup. Sebab dengan status itu, ia bisa bekerja dan mendapat fasilitas layak untuk istrinya selama mereka tinggal di Australia.
“Permanent resident berpaspor Indonesia juga tidak menjadi halangan bagi saya dan Monash. Hanya terkadang, ketika ada tugas ke luar negeri, misal ke Eropa atau negara lain, mereka yang berpaspor Australia tinggal berangkat saja, sedangkan saya masih harus minta surat pengantar untuk membuat visa,” kata Mulyoto.
Tambah lagi, paspor Indonesia tidaklah seperti paspor Australia. Paspor Indonesia punya keterbatasan, tak bisa beroleh bebas visa berkunjung ke negara-negara lain.
Namun begitu, ujar Mulyoto, “Bagi saya, rutinitas pengajuan visa jika harus pergi ke negara lain, misal ke Eropa, bukan hambatan yang berarti.”
ADVERTISEMENT
Mimpi untuk Indonesia
Sebagai lelaki yang lahir dan besar di Indonesia, Mulyoto memiliki mimpi dan ambisi tersendiri untuk Tanah Air. “Karena saya sudah ‘berutang’ kepada Indonesia,” ujarnya.
“Saya katakan berutang, karena apa yang saya alami sekarang ini bisa terjadi karena status saya waktu itu sebagai orang Indonesia, sebagai pegawai negeri dosen di Indonesia, dan juga mendapat beasiswa Asian Development Bank lewat pemerintah Indonesia.”
Sebelum melanjutkan studi pascasarjana di Negeri Kanguru, Mulyoto telah lebih dulu menyandang status sebagai pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
“Sampai saat ini saya masih tercatat sebagai dosen tetap di Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan status saya dipinjamkerjakan di Monash University,” katanya.
ADVERTISEMENT
Mengingat Mulyoto lebih banyak berada di Australia, maka kegiatan mengajarnya di Unsoed lebih banyak dilakukan lewat Google Hangout, dan setelah selesai kuliah seluruh materi ajar diunggah ke YouTube untuk para mahasiswa.
“Ini akan lebih mempermudah karena mahasiswa dapat melihat ulang materi yang saya sampaikan,” kata Mulyoto.
Sesungguhnya, mimpi dan ambisi lelaki lulusan SMAN 1 Tegal itu untuk Indonesia tidaklah sedikit. Untuk mewujudkannya, ia telah memulai sejak beberapa tahun lalu.
Misalnya terkait mimpinya mengembangkan dan meningkatkan kualitas pelayanan bayi tabung bagi pasangan infertil di Indonesia.
Sejak 1997, Mulyoto telah berkomunikasi dengan klinik bayi tabung Permata Hati di RS Sardjito Yogyakarta, dan sejak 2005 komunikasi itu diperluas ke beberapa klinik lain yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Saya juga melakukan kegiatan pelatihan, workshop, dan konsultasi bagi pengembangan pelayanan bayi tabung di Indonesia,” kata dia.
Mulyoto juga ingin meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia lewat program yang dikelola Kementerian Ristek Dikti, terutama terkait pengembangan penelitian dan publikasi.
Sebagai insinyur peternakan dan pengajar di Fakultas Peternakan, Mulyoto juga punya cita-cita menekan harga daging sapi sampai ke angka Rp 80 ribu per kilogram.
“Agar seluruh masyarakat Indonesia, terutama balita, bisa mendapatkan protein hewani yang penting bagi pertumbuhan.” Meski, imbuhnya, protein hewani tak cuma dari daging sapi, tapi juga unggas, ikan, dan lain-lain.
Mulyoto berpendapat, protein adalah salah satu kunci untuk membantu mencerdaskan bangsa di masa mendatang.
Kapan Kembali Pulang?
ADVERTISEMENT
Mulyoto bukan politikus yang kerap basa-basi. Ia berkata terus terang, “Saya belum bisa menjawab.”
Kemajuan teknologi, kata Mulyoto, membuat jarak tak lagi jadi kendala. Mulyoto yakin tetap bisa berkontribusi untuk Indonesia dan mewujudkan mimpi dan ambisinya meski dari jarak jauh di luar negeri.