Ahli Epidemiologi Kritik New Normal Corona: Ekonomi Ambruk, Kesehatan Memburuk

12 Juni 2020 7:00 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kemacetan lalu lintas di tengah berlakunya pembatasan sosial skala besar di Jakarta, Indonesia, Selasa (19/5). Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
zoom-in-whitePerbesar
Kemacetan lalu lintas di tengah berlakunya pembatasan sosial skala besar di Jakarta, Indonesia, Selasa (19/5). Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah perlu menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat terlebih dahulu sebelum mulai membangun kembali ekonomi di masa virus corona, kata ahli. Kalau tidak, wacana new normal bisa membuat ekonomi dan kesehatan masyarakat semakin memburuk.
ADVERTISEMENT
Menurut Presiden Ahlina Institute, Tifauzia Tyassuma, pemerintah tidak melihat masalah pandemi COVID-19 dalam duduk perkara yang seharusnya. Dalam hal ini, pemerintah gagal dalam mengidentifikasi sumber dari masalah ekonomi yang terjadi selama wabah virus corona, yang pada akhirnya berhulu pada masalah kesehatan masyarakat itu sendiri.
“Dari awal sudah saya sampaikan, ini kan persoalan bagaimana memandang masalah. Persoalannya kan bagaimana sikap kita memandang masalah itu gimana sih? Saya menggunakan suatu konsep, yang itu sudah teruji, namanya horizon scanning. Jadi, kita buat garis lurus dari kiri ke kanan, kita buat identifikasi mana sebab, mana masalah, mana dampak,” kata Tifauzia kepada kumparan.
“Sekarang, kalau kita pakai horizon scanning itu, ini masalahnya apa sih? Ini kan masalahnya kesehatan. Sebabnya apa? Karena virus, pandemi. Nah berarti, dampaknya terjadi apa? Ya akan terjadi kematian dan kesakitan. Karena pandemi sifatnya, berarti kematian dan kesakitan dalam jumlah besar. Sekarang, masalahnya kenapa? Yaitu masalahnya kan karena ketidaksiapan fasilitas kesehatan, ketidaksiapan pengetahuan dari masyarakat, kebijakan-kebijakan yang belum tepat,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Dari masalah tersebut pemerintah semestinya mengambil intervensi untuk menyelesaikan masalah kesehatan dengan memperkuat fasilitas kesehatan dan juga edukasi masyarakat, kata Tifauzia. Hal tersebut diperlukan karena masyarakat Indonesia punya kecenderungan iliterasi, di mana mereka tidak begitu paham risiko macam apa yang dihadirkan oleh virus corona.
Warga berbelanja di Pasar Jatinegara di tengah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta, Jumat (22/5). Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Sayangnya, pemerintah malah justru melakukan hal yang sebaliknya. Menurut Tifauzia, dengan narasi new normal yang dipromosikan pemerintah serta keberadaan hoaks di media sosial yang tidak terbendung, masyarakat malah semakin tidak disiplin dalam menjaga kesehatan mereka sendiri karena menganggap bahaya virus corona sudah selesai. Masalahnya, hal tersebut justru bisa menjadi bumerang karena mengakibatkan lonjakan kasus yang semakin tinggi.
“Sama sekali (tidak tepat sasaran),” tegas Tifauzia. “Nah itu yang kemudian hasilnya, ini beberapa hari kan coba kita pantau ya, jadi tampaknya itu pemerintah seakan-akan seperti orang yang terburu-buru tidak jelas untuk segera menerapkan pembebasan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), segera menerapkan new normal dan sebagainya. Padahal kita tahu pemerintah tidak tahu sepenuhnya apa yang dimaksud new normal dan bagaimana langkah berikutnya kalau PSBB itu dicabut kan?”
ADVERTISEMENT
Berdasarkan catatan kumparan, setidaknya ada 6 provinsi yang mencatatkan rekor pertumbuhan kasus terbanyak pada pekan terakhir periode 4-10 Juni. Keenam provinsi tersebut adalah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Papua, Banten, dan Nusa Tenggara Barat.
Tifauzia sendiri menilai bahwa lonjakan kasus itu diakibatkan juga oleh arus mudik Lebaran yang tak terbendung dan penambahan tes PCR (Polymerase Chain Reaction) yang mulai masif. Meski demikian, dia menekankan bahwa pemerintah perlu terlebih dahulu menyelesaikan masalah kesehatan sebelum beralih menyelesaikan masalah ekonomi.
Pedagang melayani pembeli di Jalan Kramat Jaya Raya, Jakarta Utara, Minggu (17/5/2020). Foto: Antara/Nova Wahyudi
“Negara-negara yang telah menerapkan new normal itu semua gagal. Sebut saja mana negara yang menerapkan new normal dan berhasil? Nggak ada satupun,” kata Tifauzia. “Kita lihat saja nanti sekian bulan, ekonomi kita ambruk, kesehatan tambah terpuruk. Itu sudah pasti kalau langkah yang diambil pemerintah seperti ini.”
ADVERTISEMENT
Tifauzia bukanlah orang pertama yang mewanti-wanti pelonggaran PSBB yang prematur bisa menyebabkan kelumpuhan ekonomi yang lebih buruk di kemudian hari. Hal serupa juga sempat disampaikan oleh ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira.
Menurut Yudhistira, pelonggaran yang diambil pemerintah justru membuat pemulihan ekonomi nasional makin lama, yang disebabkan karena penanganan virus corona belum maksimal. Kondisi itu akan membuat pengusaha ragu membuka bisnisnya serta membuat masyarakat masih menahan diri keluar rumah.
“Kalau kebijakannya setengah-setengah dengan melonggarkan seperti ini dikhawatirkan dari sisi konsumen dan pengusaha. Daripada nanti kena virus yang biaya pengobatannya lebih mahal, mending enggak usah keluar dulu,” kata Bhima kepada kumparan. “Nah situasi yang serba nanggung ini justru akan memperlama pemulihan ekonominya.”
ADVERTISEMENT