Rahasia Selandia Baru Menang Lawan Corona: Pemimpin Baik dan Percaya Sains

11 Agustus 2020 9:00 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang wanita menulis pada papan nama di luar kafenya  pada hari pertama pencabutan lockdown di Wellington, Selandia Baru, Selasa (28/4). Foto: Marty MELVILLE / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wanita menulis pada papan nama di luar kafenya pada hari pertama pencabutan lockdown di Wellington, Selandia Baru, Selasa (28/4). Foto: Marty MELVILLE / AFP
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi virus corona yang masih menjadi masalah di hampir semua negara di belahan bumi, Selandia Baru baru saja mencatatkan pencapaian penting. Pada Minggu (9/8), Negeri Kiwi tersebut resmi mencatat 100 hari tanpa kasus virus corona dari penularan lokal.
ADVERTISEMENT
Saat ini, kehidupan di Selandia Baru telah kembali normal, menurut laporan ABC. Sebagai contoh, pertandingan rugby di negara tersebut telah diizinkan untuk dihadiri penonton. Orang-orang di Selandia Baru pun saat ini bisa datang kumpul-kumpul di restoran dan bar tanpa takut terinfeksi.
Menurut epidemiolog ternama Selandia Baru dari University of Otago, Michael Baker, keberhasilan Selandia Baru menang dari COVID-19 tidak terlepas dari kebijakan yang diambil pemerintahnya. Menurut Baker, pemerintah Selandia Baru punya kepemimpinan yang baik dan percaya kepada sains.
"Sains yang baik dan kepemimpinan politik yang hebatlah yang membuat perbedaan,” kata Baker kepada ABC. “Jika Anda melihat ke seluruh dunia pada negara-negara yang telah berhasil dengan baik, biasanya kombinasi dua itu."
ADVERTISEMENT
Pernyataan yang disampaikan Baker tersebut memang bukan omong kosong belaka. Sejak Maret 2020, pemerintah Selandia Baru memang bergerak secara cepat untuk mencegah virus corona sebelum tak terkendali.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Foto: REUTERS / Martin Hunter

Gerak cepat politik pemerintah dan efektif

Pemerintahan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern itu langsung menerapkan lockdown tingkat tertinggi pada 25 Maret 2020. Padahal, saat itu Selandia Baru hanya memiliki 102 kasus virus corona tanpa catatan kematian akibat COVID-19.
Dengan status lockdown tingkat tertinggi tersebut, Selandia Baru menutup semua pintu masuk dari dan ke luar negeri. Status tersebut juga membuat sejumlah bisnis wajib tutup sementara waktu, aktivitas sekolah disetop, dan masyarakat diperintahkan tinggal di rumah.
Berdasarkan catatan kumparan, status lockdown di Selandia Baru mulai turun ke level tiga saat memasuki April 2020. Penurunan status ini membuat bisnis-bisnis makanan diperbolehkan melayani pesanan take-away serta beberapa toko non-kebutuhan pokok boleh buka kembali. Penurunan status ke level dua kemudian dilakukan pada pertengahan Mei 2020 seiring jumlah kasus yang menurun.
ADVERTISEMENT
Pada 8 Juni 2020, Selandia Baru memindahkan status mereka ke level satu. Level ini merupakan yang paling rendah dari empat level sistem bahaya, di mana masyarakat mereka sudah diperbolehkan untuk berkumpul dan meniadakan jarak sosial. Satu-satunya larangan pada level ini hanya kedatangan dari luar negeri.
Perpindahan ke level satu ini pun di luar rencana pemerintah Selandia Baru. Mereka pada awalnya merencanakan perpindahan status level satu pada 22 Juni 2020. Namun, mereka mempercepat perpindahan status setelah tak ada penularan lokal virus corona dalam 17 hari. Perdana Menteri Jacinda Ardern pun mengumumkan kemenangan negaranya dari pandemi virus corona.
Petugas melakukan tes virus corona kepasa seorang pengemudi di Lower Hutt, Wellington, Selandia Baru. Foto: Marty MELVILLE / AFP
"Meskipun kami berada dalam posisi yang lebih aman dan lebih kuat, masih tidak ada jalan yang mudah untuk kembali ke kehidupan sebelum COVID-19, tetapi tekad dan fokus yang kami miliki pada respons kesehatan kami sekarang akan diberikan pada pembangunan kembali ekonomi kami," kata Ardern pada waktu itu, dikutip dari BBC.
ADVERTISEMENT
"Meskipun pekerjaan ini belum selesai, tidak dapat disangkal bahwa ini adalah tonggak sejarah. Jadi saya dapat menyelesaikannya dengan sangat sederhana, 'Terima kasih, Selandia Baru'," sambungnya.

Kunci menang dari corona: percaya sains

Selandia Baru menjalankan strategi berani untuk memberantas virus corona di awal wabah, alih-alih hanya menekan penyebarannya. Menurut Baker, strategi semacam itulah yang membedakan Selandia Baru dengan negara lain.
"Seluruh dunia Barat telah salah menangani ancaman ini, dan mereka menyadarinya sekarang," kata Baker.
Lockdown dan intervensi pemerintah memang dianggap dapat menyelesaikan pandemi lebih cepat, menurut riset. Kamu bisa melihat riset mengenai hal tersebut melalui artikel berikut ini.
Baker menambahkan, banyak pemimpin negara yang keliru melihat dikotomi antara menyelamatkan nyawa atau menyelamatkan ekonomi. Padahal, kata dia, sebenarnya perkembangan bisnis paling baik dimungkinkan ketika mereka memiliki kepastian tentang hal-hal seperti penyakit.
ADVERTISEMENT

Bukan perkara jumlah penduduk yang sedikit

Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Baker pun enggan menganggap letak geografis dan jumlah penduduk yang kecil sebagai faktor utama keberhasilan Selandia Baru mengatasi corona. Menurutnya, faktor tersebut hanya berperan kecil.
Sebagian besar keberhasilan Selandia Baru disebabkan oleh kebijakan pemerintah mereka, kata Baker, yang nyatanya juga bisa berhasil diterapkan di negara dengan karakteristik lain seperti China, Taiwan, dan Vietnam.
Sama seperti negara lain, kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintah Selandia Baru juga tak lepas dari kritik. Menurut laporan BBC, oposisi pemerintah Selandia Baru menuding bahwa kebijakan lockdown akan mengganggu ekonomi hingga kesehatan mental warga. Tak sedikit pula masyarakat yang mempertanyakan kegunaan dari lockdown di tengah wabah.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, komunikasi yang efektif dan konsisten berhasil meyakinkan warga Selandia Baru untuk turut berperan dalam mengikuti protokol kesehatan. Menurut survei yang dibuat agensi riset pasar Colmar Brunton, sebanyak 80 persen masyarakat Selandia Baru mendukung kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintah mereka.
Seorang pria menggunakan masker saat berjalan melewati kawasan pusat bisnis (CBD) di Wellington, Selandia Baru. Foto: Marty MELVILLE / AFP
"Mereka (pemerintah Selandia Baru) benar-benar melibatkan pikiran dan hati penduduk untuk melakukan hal yang tidak terpikirkan, mengatakan 'pulang dan tinggal di sana (rumah) selama enam minggu'," kata Baker kepada BBC.
Hingga saat ini, Selandia Baru hanya mencatat infeksi corona sebesar 1.569 kasus. Dari catatan tersebut, 22 orang meninggal akibat COVID-19. Sebanyak 1.526 pasien telah berhasil sembuh, dengan 21 kasus aktif yang sudah diisolasi.
Perekonomian Selandia Baru sendiri saat ini lebih baik ketimbang prediksi banyak orang. Menurut laporan pemerintah Selandia Baru, mereka hanya memiliki tingkat pengangguran sebesar 4 persen pada kuartal 2 2020. Meski demikian, para pengamat menduga bahwa angka pengangguran sedikit lebih tinggi (4,9 persen) karena persoalan metode perhitungan.
ADVERTISEMENT

Bagaimana dengan Indonesia?

Berbanding terbalik dengan Selandia Baru, pandemi virus corona makin memburuk di Indonesia. Saat ini, negara kita punya 127.083 kasus dengan catatan 5.765 pasien COVID-19 meninggal, 82.236 sembuh, dan 39.082 dalam perawatan.
Meski demikian, kasus virus corona di Indonesia yang dicatat pemerintah sangat mungkin tidak merepresentasikan jumlah yang aktual. Sebab, tak hanya jumlah tes PCR yang masih sedikit, sebaran tes itu sendiri tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.
Penumpang memadati kereta rute Bogor-Jakarta Kota, dari Stasiun Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (12/3). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Berdasarkan catatan kumparan, jumlah tes PCR corona di Indonesia hingga Minggu (9/8) baru mencapai 972.594 orang dengan jumlah spesimen 1.715.798. Jika penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 271 juta jiwa, tingkat tes corona di Indonesia baru mencapai 3.588 per 1 juta penduduk. Padahal, standar yang ditetapkan WHO adalah 10.000 tes per 1 juta penduduk.
ADVERTISEMENT
Rapor merah tersebut ditambah dengan jumlah tes yang tidak adil antara Jakarta dan wilayah lain di Indonesia. Sebab, dari total tes individu sebanyak 972.594 itu, sebanyak 459.049-nya merupakan tes PCR di Jakarta. Artinya, 47 persen dari total tes PCR se-Indonesia hanya disumbang dari satu wilayah saja.
Masalahnya, perpindahan masyarakat dari satu wilayah ke wilayah lain cukup tinggi. Hal ini sempat dipermasalahkan oleh epidemiolog dari Fakuktas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang menyebut bahwa zonasi corona hijau hingga merah tidak lagi relevan dalam melihat risiko penularan di Indonesia.
Dalam sebuah kicauan Twitter pada Minggu (7/8), Pandu menyampaikan data yang dihimpun Tim FKM UI dari Facebook GeoInsight terkait perpindahan masyarakat tersebut. Dengan perpindahan yang masif itu, serta tes yang minim, zonasi corona tidak akurat dalam merepresentasikan risiko dari wilayah yang ditampilkan.
ADVERTISEMENT
Pandu, yang berkali-kali mempersoalkan keseriusan pemerintah dalam menghadapi corona, sebenarnya telah memperingatkan bahwa lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) perlu efektif dilakukan.
Menurutnya, pemerintah perlu menetapkan PSBB dalam skala nasional, sebelum melonggarkannya jika syarat epidemiologis telah terpenuhi. Strategi itu, kata dia, berhasil diterapkan di Selandia Baru dengan tujuan mengendalikan infeksi virus corona sebelum tak terkendali. Saran Pandu tersebut nyatanya tidak digubris sampai PSBB dilonggarkan.
Selain rapor merah soal tes corona, permasalahan lain yang perlu diselesaikan saat ini adalah pelibatan masyarakat dalam menjaga protokol kesehatan.
Menurut survei yang dilaporkan LIPI pada Juni 2020, sebanyak 78,1 persen masyarakat dari 919 orang di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat mengaku kurang berpartisipasi dalam melaksanakan PSBB. Para peneliti LIPI sendiri menyarankan agar pemerintah konsisten dalam menyampaikan informasi. Sebab, inkonsistensi tersebutlah yang justru dapat menimbulkan keengganan masyarakat dalam mematuhi aturan.
ADVERTISEMENT
***
Saksikan video menarik di bawah ini.