Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Riset: Ganja Terbukti Bisa Meredakan Rasa Sakit Kronis
10 September 2018 21:05 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Menurut hasil sebuah riset terbaru, ternyata ganja yang digunakan untuk keperluan medis bisa meredakan nyeri saraf kronis dengan melonggarkan bagian koneksi tertentu di otak.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Newsweek, riset yang dilakukan oleh para peneliti yang berbasis di Israel ini berfokus pada bahan psikoaktif yang terkandung di dalam ganja, yaitu tetrahydrocannabinol (THC). Dalam riset ini peneliti mencari tahu efek bahan psikoaktif ini terhadap rasa sakit saraf yang berpusat di sekitar tulang belakang dan kaki atau dikenal juga sebagai nyeri radikuler.
Dalam riset ini para peneliti meminta bantuan dari 15 pria yang telah hidup dengan kondisi nyeri radikuler setidaknya selama enam bulan. Para peserta ini memiliki usia rata-rata 33 tahun. Dan alasan hanya pria yang dijadikan peserta dalam riset ini adalah untuk menghilangkan risiko hormon yang dilepaskan selama siklus menstruasi, yang akan mengubah persepsi rasa sakit dan mempengaruhi hasilnya.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, para peserta diminta untuk menilai rasa sakit yang mereka rasakan dengan skala poin 0 sampai 100. Para peneliti kemudian memindai kepala para peserta dengan menggunakan peralatan functional magnetic resonance imaging (fMRI) untuk mengetahui kondisi otak mereka.
Setelah itu para peneliti memberikan masing-masing 15 mililiter THC pada lidah sembilan peserta. Sementara lidah enam peserta lainnya hanya diberi minyak biasa yang tidak mengandung THC.
Satu jam kemudian para peneliti bertanya kepada para peserta tentang tingkat nyeri yang mereka rasakan. Dua jam kemudian, para peneliti memindai otak para peserta lagi.
Setelah seminggu berselang, pemindaian otak kembali dilakukan dan tes pemberian THC juga diulangi. Namun kali ini kondisi dibalik. Sembilan peserta yang sebelumnya diberi THC kali ini hanya diberi minyak biasa. Adapun enam peserta yang sebelumnya hanya diberi minyak biasa kali ini diberi THC.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, setelah para peserta mengonsumsi THC, mereka mengaku bahwa rasa sakit mereka berkurang hingga rata-rata poin 35 dari 100. Sementera setelah diberi minyak biasa, rasa sakit mereka hanya berkurang hingga rata-rata poin 43 dari 100. Adapun sebelum diberi THC ataupun minyak biasa, para peserta mengatakan mengalami rasa sakit dengan rata-rata poin 53 dari 100.
Apa yang dirasakan para peserta ini senada dengan hasil pemindaian otak mereka. Dari hasil pemindaian terlihat bahwa ketika para peserta merasa sakitnya berkurang setelah mengonsumsi THC, terjadi pengurangan koneksi pada bagian yang memproses sensasi atau rasa di otak, yaitu korteks anterior cingulate dan korteks sensorimotor.
“Rasa sakit adalah pengalaman kompleks yang melibatkan indra dan emos,” kata Dr. Haggai Sharon, penulis riset yang meneliti subjektivitas rasa sakit di Institut Otak Sagol, Tel Aviv Medical Center, dalam pernyataan resminya.
ADVERTISEMENT
"Hasil riset kami menunjukkan adanya hubungan antara pereda rasa sakit dari THC dengan pengurangan koneksi antara area otak yang sangat terhubung, menunjukkan bahwa THC dapat meringankan rasa sakit dengan mengganggu sinyal antara jalur pengolahan rasa sakit ini."
"Menariknya, hasil kami juga menunjukkan bahwa semakin terhubung area otak yang memproses emosi dan indera sebelum perawatan, semakin besar rasa sakit yang reda ketika mengonsumsi THC," jelas Sharon.
Hasil riset ini telah dipublikasikan di jurnal Neurology.
Penelitian lainnya
Sebelumnya ada pula riset lain yang meneliti kandungan kanabidiol dalam ganja . Hasil riset yang dipublikasikan di The Journal of Clinical Investigation pada bulan lalu itu menunjukkan bahwa kanabidiol yang bukan merupakan zat psikoaktif ini bisa meredakan gejala penyakit radang usus setelah mempelajari efeknya pada tikus.
ADVERTISEMENT
Para peneliti dalam riset tersebut menemukan, molekul dalam ganja memiliki kemiripan dengan yang dilepaskan oleh tubuh secara alami untuk menenangkan peradangan usus.
Pro kontra pelegalan ganja sebagai obat
Sebanyak 30 negara bagian di Amerika Serikat telah melegalkan penggunaan ganja dalam bidang medis atau pengobatan. Selain Amerika Serikat, negara-negara lain seperti Belanda, Siprus, Meksiko, Kolombia, Spanyol, Peru, Kanada, Israel, Asutria, dan Italia juga sudah melegalkan penggunaan ganja dalam bidang medis.
Akan tetapi di Indonesia sendiri, ganja masih masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.
Kasus Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari hingga 16 November 2017 akibat menanam ganja bisa menjadi perhatian rasa kemanusiaan kita bersama.
ADVERTISEMENT
Fidelis menanam ganja di rumahnya untuk ia berikan kepada istrinya, Yeni Riawati, yang menderita Syringomyeila, penyakit langka yang menyerang sumsum tulang belakang dan menimbulkan rasa sakit yang tak terkira
Sejak diberikan ganja, Yeni merasakan sakit yang ia derita berkurang dan perkembangan kondisi fisiknya semakin membaik. Akan tetapi semenjak Fidelis ditahan oleh pihak kepolisian dan Yeni tak lagi diberi ganja sebagai pereda sakitnya, kondisi Yeni jadi semakin memburuk dan akhirnya meninggal.
Padahal, nyawa Yeni dan banyak nyawa lainnya bisa jadi dapat terselamatkan atau setidaknya ia tak perlu meninggal dalam merasakan sakit yang berat apabila khasiat ganja sudah diteliti dan dimanfaatkan oleh institusi kesehatan di negeri ini.