Riset Ungkap Fenomena Buzzer Politik Sudah Ada di Indonesia sejak 2012

4 Oktober 2019 8:27 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini, beberapa akun Twitter yang disebut-sebut milik para buzzer pemerintah ramai diperbincangkan publik. Akun-akun tersebut antara lain adalah @MurtadhaOne, @eko_kuntadhi, dan @yusuf_dumdum.
ADVERTISEMENT
Akun-akun tersebut menjadi perbincangan publik karena sempat menyebarkan gambar screenshot atau hasil tangkapan layar dari grup WhatsApp yang diklaim berisi anak-anak STM yang sedang menagih bayaran demo. Namun, banyak netizen kemudian mengungkap bahwa banyak nomor yang ada di dalam grup WA tersebut ternyata milik sejumlah anggota kepolisian, berdasarkan hasil penelusuran mereka menggunakan aplikasi Truecaller dan Getcontact. Oleh karenanya, banyak netizen kemudian meyakini bahwa grup WA tersebut hanyalah rekayasa dari Polri dan para buzzer pemerintah.
Pihak Mabes Polri sendiri telah membantah bahwa mereka yang membuat grup WA tersebut. Namun begitu, mereka tidak mau mengungkap apakah nomor-nomor yang ada di dalam grup WA tersebut adalah anggota Polri atau bukan.
Mabes Polri mengklaim isu polisi bergabung dalam grup WhatsApp tersebut hanyalah upaya "propaganda". "Kami paham betul yang ada di media sosial, sebagian besar adalah anonim. Narasi yang dibangun ialah propaganda," ujar Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo, di Mabes Polri, Selasa (1/10/2019).
ADVERTISEMENT
Meski kini akun-akun Twitter yang disebut-sebut sebagai buzzer pemerintah telah menghapus gambar screenshot grup WA STM yang viral tersebut, banyak netizen tetap bertanya-tanya mengapa pihak kepolisian tidak memeriksa para buzzer yang semestinya mereka anggap sebagai penyebar “propaganda” itu. Selain itu, banyak netizen juga bertanya-tanya bagaimana para buzzer itu bisa mendapatkan gambar-gambar screenshot terkait grup WA STM tersebut.
Yang jelas, menurut hasil penelitian dari lembaga riset Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) pada 2017 lalu, salah satu karakter umum dari para buzzer adalah mereka memiliki jaringan luas sehingga mempunyai akses ke informasi kunci atau penting. Selain itu, karakter umum lainnya dari para buzzer adalah memiliki kemampuan untuk memproduksi konten, persuasif, dan digerakkan oleh motif tertentu, misalnya oleh bayaran atau keinginan sukarela.
Ilustrasi Buzzer Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Para peneliti dalam riset kemudian mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik menarik perhatian dan/atau membangun percakapan dan bergerak dengan motif tertentu. “Ringkasnya, buzzer adalah pelaku buzzing --membuat suara-suara bising seperti dengung lebah,” tulis mereka.
ADVERTISEMENT
Riset berjudul “Di Balik Fenomena Buzzer: Memahami Lanskap Industri dan Pengaruh Buzzer di Indonesia” ini juga mengungkap bahwa fenomena buzzer politik di Indonesia sudah ada sejak tahun 2012. Para peneliti dalam riset membuat kronologi bahwa hal ini bermula oleh kemunculan Twitter dan mulai digunakannya media sosial tersebut di Indonesia sejak 2006.
Ilustrasi bermain media sosial. Foto: Shutter Stock
Lalu, pada 2009, buzzer mulai digunakan oleh brand untuk kepentingan promosi. Kemudian, para peneliti mencatat, gelaran Pilgub DKI 2012 menjadi “awal keterlibatan buzzer dalam peristiwa politik.” Lebih lanjut, mereka juga menuliskan, “penggunaan buzzer secara luas untuk kepentingan politik” terjadi pada ajang Pilpres 2014. Dan pada gelaran Pilgub DKI 2017, “buzzer kembali digunakan untuk kepentingan politik.”
Menurut para peneliti, keterlibatan buzzer di Indonesia dalam peristiwa politik telah berkontribusi negatif terhadap citra dan pemaknaan khalayak terhadap buzzer. “Sejak saat itu buzzer mendapat cap negatif sebagai pihak yang dibayar untuk memproduksi konten negatif di media sosial,” simpul para peneliti.
ADVERTISEMENT