Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
1 Ramadhan 1446 HSabtu, 01 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

ADVERTISEMENT
Arak Bali akhirnya dilegalkan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destinasi Khas Bali. Gubernur Bali I Wayan Koster menyampaikan, latar belakang dikeluarkannya Pergub ini karena arak Bali merupakan salah satu sumber daya keragaman budaya Bali yang perlu dilindungi, dipelihara, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk mendukung pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Selain arak, Pergub melegalkan minuman berfermentasi, seperti tuak dan brem, mulai awal Februari 2020. Berlakunya aturan baru itu, memunculkan pro kontra karena hal itu berarti melegalkan minuman beralkohol. Ada beberapa pihak yang kemudian menyayangkan keputusan ini karena mereka khawatir terhadap dampak negatif minuman beralkohol pada kesehatan.
Legalisasi arak juga diprediksi bakal meningkatkan kriminalitas dengan banyaknya kasus perkelahian hingga pembunuhan yang dipicu minuman beralkohol, meski belum ada satu pun penelitian yang bisa membuktikan hubungan antara tindakan kekerasan dan minuman alkohol pada masyarakat Bali.
I Made Sarjana, Dosen Agrowisata dan Sosiologi Pariwisata di Universitas Udayana, Bali, pernah melakukan penelitian di sektor pertanian dan pariwisata di Bali serta dampaknya pada kehidupan sosial selama 23 tahun. Peneliti di Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana itu sepakat bahwa masyarakat Bali memang membutuhkan legalisasi arak dan tuak.
ADVERTISEMENT
“Selain karena fakta di masyarakat yang menunjukkan adanya peran kunci minuman arak dan tuak dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali, beberapa penelitian terhadap sistem penjualan minuman tersebut memang mengindikasikan bahwa legalisasi ini akan menguntungkan masyarakat lokal,” tulis Made di The Conversation.
Ada dalam Budaya dan Upacara Agama
Dari sisi keagamaan, produksi arak dan tuak di Bali disebut sebagai bagian peradaban umat Hindu. Made menyatakan, kedua jenis minuman ini menjadi bagian penting dalam ritual keagamaan Bhuta Yadnya, upacara yang bertujuan menjaga keseimbangan alam agar tidak mengganggu aktivitas manusia.
Ada aktivitas menumpahkan arak dan tuak secara bersamaan ke tanah pada setiap upacara Bhuta Yadnya. Ritual ini juga dikenal dengan metetabuh.
ADVERTISEMENT
“Arak juga memiliki fungsi sosial yakni membangun kebersamaan dan memperkuat ikatan kekerabatan di masyarakat,” imbuhnya.
Menurut Made, arak juga kerap digunakan sebagai simbol dimulainya hubungan antarbesan, yakni ketika dua keluarga calon mempelai pria dan wanita bertemu. Ayah dari mempelai laki-laki akan bersulang dan minum arak bersama sebagai pertanda bahwa keluarga yang bersangkutan sudah menjadi kerabat dekat.
Minum arak dan tuak juga telah menjadi tradisi turun temurun yang dianut masyarakat di sejumlah desa di Pulau Dewata. Minuman ini begitu lekat dengan pelaksanaan upacara agama mulai dari lingkup keluarga hingga desa.
“Misalnya, tradisi masyarakat minum arak mengiringi upacara metatah (potong gigi) dan pernikahan di Kabupaten Karangasem, Bali,” kata Made, mencontohkan salah satu tradisi masyarakat memanfaatkan arak.
ADVERTISEMENT
Made menekankan, pemerintah daerah selama ini hanya melegalkan penggunaan minuman arak untuk keperluan upacara agama, bukan untuk keperluan komersial. Dengan lahirnya Pergub baru, penggunaan arak untuk keperluan komersial kini diperbolehkan. Namun dengan catatan, harus melibatkan mitra lokal berbentuk koperasi. Hal tersebut penting mengingat pemasaran arak yang bersifat ilegal saat ini merugikan petani kecil.
Dukung Perekonomian Lokal
Berdasarkan sejumlah penelitian yang terbit di jurnal online Universitas Dhyana Pura, diketahui bahwa produsen arak umumnya bermukim di kawasan pertanian miskin, seperti Desa Merita di Kabupaten Karangasem dan Desa Bondalem di Kabupaten Buleleng. Para petani di sana membudidayakan pohon kelapa dan enau sebagai bahan baku tuak dan arak.
“Penelitian pada 2015 menunjukkan penghasilan pembuat arak di Desa Bondalem hanya Rp1,25 juta per bulan,” kata Made, menyinggung riset yang dilakukan Komang Anik Wirastini dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian tersebut dijelaskan, seorang produsen hanya mampu menghasilkan arak 5 liter per hari. Jika satu bulan sama dengan 30 hari, maka produksi arak di satu produsen mencapai 150 liter per bulan. Jika dirata-rata, maka petani mendapat harga arak Rp 9.000 per liter.
Padahal, menurut Made, harga di pasaran bisa mencapai Rp 70.000 per liter. Petani mendapat harga yang rendah dari pengepul arak yang selalu menentukan harga serendah mungkin. Alasannya karena mereka harus menjualnya di pasar gelap untuk menghindari penegak hukum.
Lewat aturan yang baru, Made berharap petani dapat memiliki daya tawar yang lebih tinggi sehingga mendapat harga yang pantas untuk produk minuman yang mereka produksi. Selain itu, petani bisa mendapatkan keuntungan lebih jika mereka bisa menjual produknya secara langsung pada konsumen, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri secara legal.
ADVERTISEMENT
Made melihat, legalisasi arak akan memberikan spirit tumbuhnya ekonomi kreatif di pedesaan. “Industri arak menjadi bukti bahwa tumbuhnya kreativitas dalam menyokong peningkatan nilai tambah produk pertanian. Selama ini produk pertanian hanya dijual dalam bentuk mentah sehingga harganya rendah,” kata dia. “Sepanjang adanya pembinaan dan pendampingan agar produksi arak memenuhi standar kesehatan dan dikemas secara profesional, arak bisa saja menjadi komoditas bisnis pariwisata yang baik.”