Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
History repeats itself. The challenge for the future is not just to understand the geological forces, but to predict them.
— Krakatoa: The Great Volcanic Eruption, Naked Science
Ombak tinggi bergulung di Tanjung Lesung. Hampir sepekan setelah tsunami senyap menyapu pantai itu dan membuat jiwa-jiwa melayang, angin segara masih terus berembus kencang di bawah langit bersih terang.
Jelang senja, Jumat (28/12), beberapa orang tiba di Tanjung Lesung Beach Hotel and Resort, Pandeglang, Banten. Di lokasi band Seventeen terseret arus itu, mereka mengeluarkan sejumlah peralatan dengan raut wajah serius.
Beberapa orang di antaranya berbincang intens sembari mengukur jarak dengan alat-alat yang dibawa. Mereka memukan hal mengejutkan: tinggi tsunami yang menghantam kawasan itu mencapai 13 meter, bukan dua meter seperti perkiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Sensei, kemari!” seru Abdul Muhari kepada dua kolega Jepang-nya—Fumihiko Imamura dan Taro Arikawa—sambil menunjuk-nunjuk alat ukur laser. “What do you think about this evidence?”
Abdul Muhari, yang biasa disapa Aam, ialah peneliti tsunami dan mitigasi bencana pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Sementara Imamura merupakan Direktur Institut Riset Internasional Ilmu Bencana di Universitas Tohoku—tempat Aam merampungkan gelar PhD selamat tiga tahun; dan Arikawa adalah pakar tsunami Universitas Chuo.
Ketiganya juga meneliti Tsunami Palu 28 September 2018. Kini, dua bulan kemudian, mereka meneliti Tsunami Selat Sunda yang menyapu pesisir Banten dan Lampung pada 22 Desember 2018.
“Estimasi hasil pemodelan yang sudah ada (dari BMKG) mengatakan, distribusi tinggi tsunami di sepanjang pantai itu rata-rata dua sampai tiga meter. Tapi pengukuran kami di lima titik menemukan tinggi tsunami sampai 13 meter. Ada yang 13,6 meter, ada juga 12,8 meter,” kata Aam kepada kumparan yang menyusuri pesisir Banten bersamanya selama tiga hari.
Artinya, ujar Aam, “Sumber tsunami bisa jadi lebih besar dari yang diperkirakan.”
Bila ketinggian tsunami hampir lima kali lipat dari yang semula diduga, maka seharusnya kekuatan dari sumber tsunami juga lima kali lipat lebih besar.
Pertanyaan berikutnya, imbuh Aam, “Sumber seperti apa yang bisa membangkitkan tsunami setinggi 12 meter dan 13 meter di sepanjang pesisir Banten?”
Temuan ketinggian tsunami 13,6 meter di tepi Selat Sunda oleh Tim KKP itu lebih tinggi dari Tsunami Palu yang titik tertingginya 11,3 meter.
Sementara Tsunami Aceh yang dahsyat 14 tahun lalu, 26 Desember 2004, mencatat ketinggian gelombang hingga 24 meter, dan terus meninggi menjadi 30 meter saat ia bergerak menyapu daratan.
Aam, Imamura, Arikawa, dan peneliti lain di rombongan itu tak hanya satu kali hitung soal ketinggian gelombang tsunami. Mereka membagi kelompok menjadi dua, dan masing-masing menghitung berulang-ulang untuk kemudian diperiksa silang antarkelompok.
Area penelitian mencakup Kecamatan Panimbang (Tanjung Lesung), Kecamatan Sumur, dan Kecamatan Labuan di Kabupaten Pandeglang; Pantai Anyer di Kota Serang; serta Kota Cilegon.
Sementara rencana untuk melakukan riset di Pulau Sebesi-Sebuku dan perairan sekitar Anak Krakatau, belum terealisasi karena status berbahaya gunung itu yang per Kamis (27/12) ditingkatkan PVMBG ke level siaga.
Penelitian Tsunami Selat Sunda, menurut Aam, penting sebagai landasan ilmiah untuk mengambil kebijakan, utamanya terkait antisipasi di masa depan.
“Sekarang, misalnya, beredar isu bakal ada potensi tsunami lebih besar di sini. Masalahnya, seberapa valid kabar itu akan memengaruhi keputusan kami (pemerintah). Jadi, harus ada justifikasi ilmiah yang sangat kuat untuk menentukan apakah tsunami benar bisa terjadi lebih besar. Ini secepat mungkin kami teliti dengan turun ke lapangan,” kata Aam.
Potensi tsunami besar di Pandeglang—daerah yang paling telak terhantam Tsunami Selat Sunda—sempat dipaparkan Dr. Widjo Kongko, peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dalam seminar ilmiah BMKG bertajuk Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat pada 3 April 2018.
Hasil penelitian Widjo Kongko tentang potensi bencana di Selat Sunda menunjukkan ancaman tsunami setinggi 57 meter di Pandeglang akibat gempa tektonik berkekuatan 8,8 sampai 9 magnitudo di zona subduksi (tumbukan lempeng benua) megathrust yang terletak di Jawa Barat bagian selatan.
Pemaparan potensi gempa dan tsunami dahsyat itu membuat Widjo Kongko dimintai keterangan oleh polisi karena dianggap memicu keresahan masyarakat dan investor.
Riset Widjo Kongko soal gempa tektonik sebagai penyebab tsunami tersebut, memang berbeda dengan Tsunami Selat Sunda yang diduga diakibatkan longsoran Gunung Anak Krakatau. Meski begitu, ia menekankan pentingnya membangun kewaspadaan, termasuk dengan membuat sistem peringatan dini non-tektonik.
Tsunami Selat Sunda memporak-porandakan pesisir Banten dan Lampung, dengan separuh dari total korban berasal dari Pandeglang—wilayah terdampak paling parah.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 28 Desember 2018 mencatat 426 jiwa tewas karena Tsunami Selat Sunda, dan 268 di antaranya di Pandeglang. Selain itu, 7.202 lainnya luka-luka, dan 40.386 orang mengungsi.
Semula, banyak orang menyangka gelombang tinggi yang datang ke pesisir barat Banten pukul 21.27 WIB, 22 Desember 2018 itu, bukan tsunami. Pada Sabtu nahas itu, tak ada gempa mengguncang. Tak ada pula sirene meraung.
Sirene yang terintegrasi dengan Tsunami Early Warning System BMKG itu, memang “hanya” berbunyi bila terjadi gempa. Itu sebabnya mereka yang tengah bergembira menikmati entakan musik Seventeen di Tanjung Lesung tak waspada hingga ombak menyapu.
Malam itu, tsunami merayap diam-diam dan menyelinap senyap.
Tsunami sekejap memupus suasana gembira di Pantai Tanjung Lesung, juga Pantai Anyer dan Pantai Carita yang sama-sama objek wisata ternama di Pandeglang.
Oman, penjaga salah satu resor di Sukarame, Carita, bergegas menuju kamar begitu ditubruk seorang pengunjung resor yang lari lintang pukang dikejar tsunami. Padahal, beberapa saat sebelumnya, pengunjung itu asyik bermain kartu remi di pinggir pantai.
Mengetahui tsunami menerjang, Oman panik. Pria 45 tahun itu langsung teringat istri dan anaknya yang sudah terlelap di kamar. Ia makin belingsatan sewaktu melihat gelombang laut merangsek masuk ke dalam resor.
Oman belum sempat bertemu anaknya ketika dia terseret arus. Beruntung, ia beserta istri dan anaknya akhirnya selamat.
Saat terombang-ambing terbawa gelombang, Oman melihat istri dan anaknya dengan gesit memanjat pagar resor, lalu berlari cepat ke dataran tinggi. Oman terperangah menyaksikan istrinya bergerak lincah di luar kebiasaan. Sang istri jadi begitu tangkas melihat bahaya mengancam di depan mata.
“Saya sampai terkesima melihat perempuan bisa memanjat pagar secepat dan sesigap itu. Saya kira dia dan anak saya terbawa ombak,” kata Oman.
Tak jauh dari tempat Oman berjibaku, keluarga Faridz juga sibuk menyelamatkan nyawa. Faridz sedang meneguk kopi ketika mendengar bunyi dentum ombak tak biasa.
“Saya dengar gemuruh keras sekali. Walaupun biasanya juga ada dentuman, tapi kali itu beda. Suaranya berkali-kali lebih keras dari dentuman Krakatau. Seperti meledak,” kata Faridz.
Hari itu, menurut kesaksian warga pesisir barat Banten, Gunung Anak Krakatau memang meletus menggelegar berulang kali. Asap dari letusan itu terlihat sampai Anyer.
Namun, menyadari dentuman malam itu berbeda, Faridz seketika berteriak memberi komando kepada seluruh penghuni rumah, “Lariii…!! Tsunamiii…!!”
Ia dan kelima anggota keluarganya ambil langkah seribu. Lari sekencang-kencangnya tanpa sekalipun menoleh ke belakang.
Seperti Oman yang terkesiap dengan kegesitan sang istri, demikian pula Faridz. “Ibu dan bibi saya yang berusia 60 tahun seperti dapat tenaga tambahan untuk kabur dari kejaran ombak.”
Mereka semua selamat.
Tapi, tidak dengan 400-an orang lain di tepi Selat Sunda yang tewas tergulung ketika gelombang laut mencapai bibir pantai dengan kecepatan 16-32 kilometer per jam.
Tsunami yang datang tanpa peringatan—tanpa gempa, tanpa sirene menyala—menimbulkan kebingungan di sana sini. BMKG sempat membantah telah terjadi tsunami, dan kumparan.com yang kali pertama memberitakan peristiwa itu menerima caci maki warganet .
BMKG lewat akun Twitter-nya pada pukul 23.03 WIB mencuit bahwa yang terjadi adalah gelombang pasang akibat purnama. Twit BMKG itu lantas disahuti Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
“Tidak ada tsunami di Anyer dan Lampung Selatan, hanya gelombang pasang. Saat ini sedang bulan purnama sehingga menyebabkan permukaan air laut naik,” tulis Sutopo di Twitter. Ia langsung minta maaf keesokan harinya atas cuitan itu.
Bantahan atas terjadinya tsunami diralat oleh BMKG lewat tengah malam. Pukul 01.07 WIB, tiga jam lebih setelah tsunami menghantam, BMKG memastikan gelombang tinggi di pesisir Banten itu benar tsunami.
“Pukul 21.27, air laut naik, polanya tsunami. Kami tidak langsung percaya dengan hanya satu data. Kami cek lagi alat (pengukur pasang surut permukaan laut/tide gauge) di Banten, ternyata naik juga 0,9 meter. Sampai jam 21.50, empat data terkumpul—dari Banten, Serang, Lampung,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.
BMKG lalu mengecek silang informasi yang didapat ke Badan Geologi dan sejumlah pakar, sebelum akhirnya merilis informasi soal Tsunami Selat Sunda.
Dwikorita mengakui instansinya gagap menghadapi kabar awal Tsunami Selat Sunda. Mereka tidak mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami, lantaran memang tidak mencatat aktivitas tektonik signifikan.
Kepala Pusat Informasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menyatakan BMKG belum berpengalaman menghadapi silent tsunami. Mereka kurang tanggap karena standar operasional prosedur BMKG hanya berpatokan pada tsunami akibat aktivitas tektonik, yakni pergerakan kerak bumi macam gempa.
SOP tersebut, menurut Daryono, perlu direvisi agar kegagapan serupa tak terulang. Terlebih, tsunami tak melulu disebabkan oleh aktivitas tektonik, namun pula karena longsor bawah laut, erupsi atau guguran lava gunung api, dan tekanan atmosfer.
Kini BMKG berencana untuk menyinergikan sistem peringatan dini tsunami yang ia miliki dengan alat pemantau aktivitas gunung api milik Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunung Api (PVMBG).
BMKG berpendapat, Tsunami Selat Sunda mirip dengan Tsunami Palu yang berasal dari longsoran bawah laut. Meski pada Tsunami Selat Sunda, menurut Daryono, faktor meteorologi seperti gelombang tinggi dan pasang purnama turut berperan menambah daya rusak tsunami.
Kesimpulan sementara BMKG itu didasarkan pada beberapa data, salah satunya hasil analisis peneliti tsunami Indonesia di lembaga riset GNS Science Selandia Baru, Aditya Gusman.
Aditya menemukan sumber tsunami melalui metode inversi waktu backward tsunami propagation time. Metode ini menghitung mundur waktu tiba gelombang di empat tide gauge yang terpasang di Selat Sunda. Hasilnya, sumber tsunami berada di sekitar Gunung Anak Krakatau pada pukul 21.02 WIB—25 menit sebelum gelombang tinggi tiba di tanah Banten.
BMKG juga berpegang pada hasil analisis citra satelit oleh peneliti BPPT Dr. Agustan. Analisis sehari sebelum tsunami itu menunjukkan, terdapat 64 hektare daratan di Gunung Anak Krakatau yang diduga longsor ke laut.
Analisis tersebut diperkuat oleh data sensor BMKG di Cigeulis yang mencatat aktivitas seismik Anak Krakatau dengan magnitudo lokal 3,4 pada pukul 20.56 WIB. Aktivitas tersebut diduga bukan karena gempa, tapi longsoran.
“Episentrumnya menjadi kunci penyebab tsunami. Karena episentrumnya ada di Gunung Anak Krakatau, kami tahu ada sesuatu di sana. Dugaan kami itu longsoran,” ujar Daryono.
Peneliti tsunami KKP Abdul Muhari beranggapan, untuk mengetahui dengan tepat mekanisme terjadinya tsunami perlu dilakukan forensic disaster dengan mendatangi langsung Gunung Anak Krakatau.
Persoalannya, tentu saja, hal tersebut tak dapat dilakukan dalam waktu dekat lantaran aktivitas vulkanik berbahaya gunung itu.
Selat Sunda sejak tahun 416—saat Gunung Krakatau Purba meletus—sedikitnya telah 12 kali dihantam tsunami sebelum peristiwa 22 Desember 2018 ini. Catatan tersebut termuat dalam riset Yudhicara dan K. Budiono, Tsunamigenik di Selat Sunda, yang dipublikasikan di Jurnal Geologi Indonesia Volume 3 sepuluh tahun lalu, Desember 2008.
Apa pun penyebab tsunami terbaru di Selat Sunda, wilayah perairan itu memang rawan bencana. Kompleksitas aktivitas tektonik sekaligus vulkanik di sana menyimpan bahaya laten yang perlu terus diwaspadai.