Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
'Cik Butet tenang saja jaga di depan'
Masih ingat dengan kalimat di atas? Itu adalah ucapan Tontowi Ahmad kepada pasangan ganda campurannya, Liliyana Natsir, ketika mereka berhadapan dengan pasangan Malaysia, Chan Peng Soon dan Goh Liu, di final Olimpiade Rio 2016 lalu.
ADVERTISEMENT
Butet --sapaan akrab Liliyana-- bercerita seperti dikutip situs resmi PBSI. "Saat itu Owi -- panggilan akrab Tontowi-- berkata kepada saya Nggak apa-apa, cik. Saya siap back-up di belakang. Cik Butet tenang saja jaga di depan. Cici lebih unggul kok (permainan) depannya."
Terlepas dari gelar juara dan sederet prestasi mentereng lainnya yang dimiliki oleh Owi-Butet, pasangan ganda campuran yang pertama kali dipasangakan pada 2010 ini juga menjelma jadi wajah Indonesia.
Setidaknya, Owi dan Butet adalah miniatur dari keberagaman yang diagung-agungkan di Indonesia. Keberagaman yang telah menemani Indonesia dari masa ke masa.
Seperti kata Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute for Democracy and Peace:
ADVERTISEMENT
"Bila kita berbicara soal perjuangan Indonesia, apapun agamanya, etnis tidak relevan lagi. Sekali menjadi WNI, semua setara dan memiliki hak yang sama dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk bersama-sama berjuang ke depan."
Gelar juara memang penting bagi seorang atlet, tetapi apa yang tergambar dari atlet tersebut pun tak kalah penting dan bernilai dari sebuah piala.
Minggu malam (18/6/2017) kemarin, Owi dan Butet kembali berjuang. Mereka berusaha melepas dahaga akan gelar juara di turnamen Indonesia Open Super Series Premier. Pasalnya keduanya tak pernah menang di kejuaraan ini selama mereka berduet jadi pasangan ganda campuran.
Sebelum jauh melangkah ke tengah riuh arena pertandingan, pemandangan soal keberagaman mereka berhasil diabadikan oleh salah seorang mantan wartawan, Tomi Lebang. Di akun Facebook pribadinya, Tomi mem-posting sebuah potret yang kemudian menjadi fragmen bagaimana Owi dan Butet menghabiskan waktunya sebelum bertanding.
ADVERTISEMENT
Jelang waktu berbuka puasa, ketika partai final putri sedang berlangsung, Tomi yang kebetulan sedang melihat-lihat ke ruang pemain Indonesia mendapati Owi sedang salat di sudut ruangan. Sementara Butet dengan cermatnya menyimak video pertemuan lamanya dengan calon lawannya nanti.
"Saat maghrib tiba, saya melihat Tontowi salat sendirian di sudut ruangan, dengan kaos merah yang akan dipakainya di lapangan. Sementara di meja besar, dua meter darinya, Butet membuka iPad dan tekun menyimak video pertemuan lamanya dengan calon lawannya itu," tulis Tomi.
Perbedaan bukan halangan, apa lagi jadi sandungan. Setidaknya begitulah yang mungkin bisa digambarkan dari dua sosok pasangan ganda campuran ini. Owi yang seorang Muslim dan Butet yang seorang Katolik nyatanya bisa meraih juara dan mendapat hadiah miliaran rupiah adalah buah dari kerja keras, kekompakan, kematangan dalam mengatasi perbedaan, seperti yang pernah ditulis oleh Tomi.
ADVERTISEMENT
Sekadar menyegarkan ingatan Anda, Owi merupakan kelahiran Banyumas, Jawa Tengah. Ia lahir dan besar di keluarga Muslim dan bahkan menyukai bulutangkis ketika belajar di pesantren. Sementara Butet kelahiran Manado, Sulawesi Utara. Ia keturunan Tionghoa, lahir dan besar dari keluarga Katolik yang taat. Mungkin cara mereka berdoa berbeda, namun hanya satu pinta mereka, yaitu; kebaikan.
Tomi mendeskripskikan secara jelas bagaimana Owi dan Butet bersyukur dengan cara masing-masing usai memenangi sebuah pertandingan: Owi menengadahkan tangan dan mengucap syukur, di sebelahnya ada Butet yang menyilangkan isyarat salib di dadanya.
Dua jam kemudian, usai Tomi menyaksikan pemandangan di ruang pemain itu, Owi dan Butet mempertemukan dahaga dengan peleganya. Gelar juara Indonesia Open akhirnya mereka dapatkan juga. Luar biasa.
ADVERTISEMENT
Di balik keriuhan penonton di Jakarta Convention Center, Minggu malam kemarin, Owi dan Butet menjelma menjadi wajah Indonesia. Tontowi Ahmad-Liliyana Natsir adalah padu-padan Indonesia dalam arti sebenar-benarnya.
Kemudian Tomi mengajak kita bertanya pada diri masing-masing. Adakah yang lebih indah dari paduan ganda campuran kebanggaan Indonesia ini?
Prestasi mereka yang kemudian menjadi pemahaman bahwa sebuah perbedaan yang tak pernah meletup jadi sengketa, tapi melebur jadi anugerah hasilnya adalah gelar juara di mana-mana?