Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Senna: Menyaksikan Kehidupan dan Kematian sang Juara Formula 1 dari Dekat Sekali
3 April 2020 6:28 WIB
Ada alasan mengapa ruang ganti tim tuan rumah di Stadion Maracana dinamai dengan Garrincha, sedangkan ruang ganti tim tamu dinamai dengan Pele.
Garrincha dan Pele sama-sama besar dan membesarkan Brasil. Namun, keduanya berbeda. Jika Pele adalah pesepak bola bintang asal Brasil, Garrincha adalah Brasil itu sendiri. Pele dihormati, Garrincha dicintai.
Lewat sepak bolanya, Garrincha membangkitkan kesenangan orang-orang Brasil. Permainannya yang atraktif menggambarkan sepenting apa pesta dan sukacita bagi orang Brasil.
Gocekannya lihai, cerdik, dan jeli memantik tepuk tangan para penonton. Dengan bola di atas kakinya, Garrincha membuat orang-orang Brasil menikmati karnaval sepanjang 90 menit.
Senna bukan pesepak bola seperti Garrincha, tetapi seorang pebalap Formula 1 yang memulai perjalanannya sebagai pebalap gokar pada 1981. Kariernya cemerlang walau singkat. Ia mengecap juara Formula 1 sebanyak tiga kali, tepatnya pada 1988, 1990, dan 1991.
Setiap lagu akan berakhir, setiap pesta akan usai. Brasil menangis kembali. Mereka kehilangan Senna yang mati akibat kecelakaan saat membalap di GP San Marino pada 1 Mei 1994.
Fragmen seperti kematian Garrincha muncul kembali saat Senna hendak disemayamkan: Iring-iringan panjang, isak tangis yang tak menentu, hingga orang-orang yang memanjat tiang baliho hanya untuk mengibarkan bendera Brasil sambil menyaksikan jenazah sang jagoan dari ketinggian.
Sineas asal Inggris, Asif Kapadia, menghidupkan kembali kisah itu dalam film dokumenter berjudul 'Senna' yang rilis pada 2010.
Seperti Garrincha, Senna punya cerita indah. Performanya di lintasan gokar menjanjikan.
Dengan segala macam harapan, ia datang ke Formula 1 pada 1983. Itu pun masih berstatus sebagai test rider untuk Williams, McLaren, Brabham, dan Toleman. Tim yang disebut terakhirlah yang menjadi labuhan pertamanya di kompetisi ini, tepatnya pada 1984.
Mantan pebalap motor, Johnny Cecotto, menjadi rekan setimnya. Begitulah, Cecotto memang beralih peran sebagai pebalap Formula 1.
Jangan buru-buru mengira bahwa Toleman merupakan tim raksasa. Ketika itu, Toleman masih menjadi tim anyar yang membalap dengan ban Pirelli. Serupa Toleman, Pirelli juga belum perkasa di era itu. Keduanya masih menjadi anak bawang.
Membalap bersama tim anyar membuat Senna tampil apa adanya dan tanpa beban. Kondisi ini justru membuat warna membalapnya terlihat betul. Senna adalah pebalap agresif, tanpa ampun, dan sangat cepat.
Ketika pebalap lain kesulitan memacu mobil saat hujan deras, Senna malah makin menjadi. Lajunya kian tak terbendung, manuvernya semakin membikin lawan tak berkutik. Tak heran jika di musim perdananya Senna sudah memantik cerita meski cuma tiga kali naik podium.
Kapadia menampilkan kisah ini lewat fragmen GP Monako 1984. Salah besar jika mengira Senna memulai balapan dengan berbekal pole position. Ia memulai lomba di posisi 13. Namun, di tengah hujan lebat Senna seperti kesetanan. Dari posisi 13 tadi, ia merangsek ke posisi dua.
Fragmen ini tak sekadar bercerita tentang kualitas Senna sebagai pebalap muda, tetapi intrik yang terjadi di ranah Formula 1. Salah satu kandidat juara musim itu, Alain Prost, disebut-sebut sebagai biang keladi kegagalan Senna merengkuh podium puncak.
Pada akhirnya, podium pertama Senna adalah podium kedua GP Monako 1984. Dalam wawancara usai balapannya, Senna berkata bahwa Formula 1 bukan balapan murni.
Di dalamnya terdapat politik, uang, dan kekuasaan. Kualitas sebagai pebalap saja tak cukup. Kau harus punya kekuatan ekstra untuk melawan segala permainan di belakang layar.
Film dokumenter Senna pada dasarnya berkisah tentang intrik tersebut. Lewat film berdurasi 2 jam 42 menit ini, Kapadia seperti ingin menunjukkan bahwa semakin elite kompetisi, semakin kotor persaingannya.
Entah apes, entah beruntung, Senna dan Prost pada akhirnya menjadi rekan setim di McLaren pada 1988. Awalnya, sih, masih wajar-wajar saja. Lama-kelamaan, persaingan itu bukan lagi tentang siapa yang menjadi nomor satu di atas lintasan balap, tetapi siapa yang menjadi yang terutama dalam tim.
Formula 1 dan kompetisi balap lainnya adalah paradoks. Di satu sisi, kau harus membawa tim menjadi juara. Di sisi lain, kau bersaing dengan rekan setimmu sendiri untuk merengkuh kemenangan.
Olahraga ini tidak seperti sepak bola. Dalam tim sepak bola, semua pemain bersaing untuk menjadi pemain hebat. Namun, pemenangnya dalam satu pertandingan cuma tim.
Sehebat apa pun persaingan Cristiano Ronaldo dan Paulo Dybala, ketika mereka mencetak gol, sementara lawan tidak, yang jadi pemenang adalah Juventus, bukan Ronaldo atau Dybala.
Persaingan dalam tim Formula 1 tidak hanya terjadi di era Prost dan Senna. Lihatlah apa yang terjadi di tim Ferrari musim lalu. Charles Leclerc, pebalap muda Ferrari, diindikasikan tak akur dengan rekan setim sekaligus seniornya, Sebastian Vettel.
Leclerc merasa tidak diberi ruang lebih untuk merengkuh podium, padahal ia sedang moncer-moncernya pada 2019. Sementara, Vettel merasa Leclerc tidak bisa bekerja sama dengan tim. Sejumlah peristiwa mengecewakan pun terjadi, salah satunya tabrakan yang melibatkan keduanya di GP Brasil 2019.
Prost, di era tadi, merasa terancam dengan kehadiran Senna. Di sisi lain, Senna juga merasa tak nyaman dengan aura persaingan Prost yang beranak cucu menjadi permusuhan. Akibatnya tak cuma saling tidak berbicara lagi, tetapi juga 'sikut-sikutan' dengan mobil balap masing-masing.
Kontroversi ini terjadi dalam beberapa tahun yang membuat status juara dunia mereka masing-masing pada 1989 (Prost) dan 1990 (Senna) dinodai fragmen memalukan. Kapadia melihat momen ini dengan jeli. Ia paham bahwa perseteruan macam ini juga dipakai pihak eksternal untuk keuntungan sendiri.
Persaingan Prost dan Senna menjadi santapan media. Yang diberitakan bila bicara soal Formula 1 bukan lagi tentang siapa yang menjadi nomor satu di atas lintasan balap, tetapi drama-drama melelahkan.
Menjelang akhir film, Kapadia memasukkan rekaman salah satu wawancara Senna. Ketika itu, para wartawan bertanya tentang momen terbaik Senna saat membalap.
Bukan saat menjadi juara Formula 1, bukan pula saat merengkuh podium perdananya di kompetisi ini, bukan pula ketika ia dikontrak Williams yang menjadi tim papan atas saat itu.
Jawaban Senna sederhana. Ia memilih balapan gokar sebagai momen terbaiknya. Ketika itu, balapan adalah sebenar-benarnya balapan. Semuanya tentang skill, perhitungan, dan nyali; bukannya uang dan kekuasaan.
Senna membalap dengan merdeka. Tak ada tekanan sponsor, tak ada permintaan media. Setiap hari adalah tentang menjadi yang tercepat di atas lintasan balap, setiap waktu adalah tentang bersenang-senang sebagai pebalap.
Seluruh adegan yang ada dalam film ini merupakan rekaman asli alias footage. Tak ada aktor atau aktris, tak ada scoring yang heboh demi dramatisasi. Toh, perjalanan Senna di atas lintasan balap Formula 1 adalah drama itu sendiri.
Kapadia dan penata skrip, Manish Pandey, berhasil mendapatkan entah berapa banyak footage perjalanan Senna hingga digabung sedemikian rapi menjadi film ini.
Kapadia memperhatikan detail sehingga kita dapat menyaksikan rekaman saat jumpa pers, briefing sebelum balapan, kehidupan personal Senna, sampai rekaman dari sudut pandang Senna saat ia berpacu di atas lintasan.
Kapadia juga tak lupa menggambarkan sepenting apa Senna bagi orang-orang Brasil. Negeri Samba di kala itu sedang kesusahan, tetapi Senna datang sebagai penolong.
Para atlet acap menjadi pahlawan bagi bangsanya. Namun, biasanya epos menjadi begitu epik karena dimulai dari perjalanan sang atlet melawan kemiskinan.
Brasil juga dekat dengan cerita seperti itu. Sepak bola contohnya. Favela yang merupakan pemukiman kumuh sama canggihnya dengan akademi-akademi sepak bola ternama.
Di atas tanah yang tak rata itu, di belakang petak-petak rumah sempit, anak-anak Brasil bermain sepak bola. Imajinasi mereka menjadi liar, sepak bola mereka menjadi istimewa.
Senna berbeda. Ia bagaikan hidup di menara gading karena berasal dari keluarga mapan. Senna tak perlu menjadi anak jalanan bengal yang memberontak norma dan kenormalan.
Masa kecilnya menyenangkan, keluarganya menopang mimpi Senna untuk menjadi pebalap papan atas. Bakatnya terlindungi sejak kecil. Senna ada di tempat yang aman.
Orang-orang Brasil mencintai Senna bukan karena ia terlahir sama dengan sebagian besar mereka, tetapi karena Senna selalu memangkas jarak dengan orang-orang Brasil.
Dalam satu wawancara, seorang warga malah berkata bahwa ia beberapa kali meminta bantuan finansial kepada Senna. Pebalap muda ini tak ragu untuk menggelontorkan uangnya kepada orang Brasil.
Sejauh apa pun Senna membalap, bagi mereka Senna tetap orang Brasil. Mereka menganggap Senna berbeda dengan kebanyakan atlet di era itu yang malu menunjukkan diri sebagai orang Brasil. Senna tidak kehilangan identitasnya.
Menjadi juara dunia adalah perkara penting bagi Senna. Namun, tidak ada yang lebih penting daripada memenangi balapan GP Brasil. Sikap itu yang membuatnya dicintai--katakanlah--seperti Garrincha tadi.
Kehidupan personal memang menjadi salah satu sorotan Kapadia di karyanya ini. Soal ini tak melulu tentang hubungan percintaannya dengan salah satu selebritas Brasil dan hubungannya dengan keluarga, tetapi juga kepercayaannya kepada Tuhan.
Baginya, Tuhan adalah pribadi nyata, bukan sebatas ritual agamawi. Tak ada batasan antara sekuler dan religius. Makanya, Senna bisa dengan mantap mengatakan bahwa ada campur tangan Tuhan dalam perjalanan kariernya. "Gelar juara saya adalah anugerah Tuhan," seperti itu Senna berbicara.
Keputusan Kapadia untuk menggarap film ini dengan menggunakan rekaman asli terbukti tepat. Dengan alur linear, penonton dapat mengikuti perjalanan Senna mulai dari awal berkarier di Formula 1 sampai hari kematiannya.
Penonton tidak hanya merasa dekat dengan kehidupan Senna yang singkat, tetapi juga dapat menyaksikan hari-hari hingga detik-detik jelang kematiannya.
Kapadia menunjukkan bahwa Senna merasa dekat dengan kematian karena sehari sebelum balapan GP San Marino, salah satu pebalap tewas akibat kecelakaan di babak kualifikasi. Bagi pebalap Formula 1 generasi Senna, itu adalah kematian pertama di atas lintasan balap yang mereka saksikan secara langsung.
Ada kegelisahan, keraguan, kemarahan, ketakutan, sampai akhirnya Senna percaya bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan yang diberikan Tuhan padanya.
Seperti apa kecelakaan yang merenggut nyawa Senna juga ditampilkan di film ini. Membuat para penontonnya menyaksikan kehidupan dan kematian dari dekat sekali, barangkali itu yang membuat dokumenter garapan Kapadia yang bisa disaksikan di Netflix ini istimewa.
Catatan editorial:
Di masa social distancing seperti ini, kami akan berusaha mengulas film dan buku tentang sepak bola dan olahraga.
Sebagian bukan film atau buku baru, tetapi mungkin ini saat yang tepat untuk kembali menonton film dan membaca buku lama. Atau jangan-jangan ini menjadi waktu yang tepat untuk--akhirnya--menonton film dan membaca buku yang sudah lama tertumpuk.
***
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!