news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Zverev dan Harapan agar Jagat Tenis Putra Tak Lagi Banal

22 November 2018 11:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Alexander Zverev di Prancis Terbuka 2018. (Foto: REUTERS/Charles Platiau)
zoom-in-whitePerbesar
Alexander Zverev di Prancis Terbuka 2018. (Foto: REUTERS/Charles Platiau)
ADVERTISEMENT
Yang menyebalkan dari tenis tunggal putra adalah juaranya itu-itu melulu. Maka, keberhasilan Alexander Zverev menjuarai ATP Finals 2018 melahirkan sebuah fragmen tentang tenis yang berkhianat dengan sangkaan.
ADVERTISEMENT
Berlaga di partai puncak ATP Finals 2018 nomor tunggal pada Senin (19/11/2018), Zverev menjungkalkan Novak Djokovic dengan skor 6-4, 6-3. Ini menjadi pertama kalinya gelar juara ATP Finals jatuh ke tangan Zverev. Trofi yang diangkatnya di O2 Arena, London, itu menggenapkan torehan gelar juaranya menjadi empat di musim 2018 ini, sekaligus menjadi gelar ke-10 di sepanjang kariernya sebagai petenis profesional.
Ranah tenis putra adalah lapangan yang banal. Coba perhatikan siapa-siapa saja yang menjadi juaranya. Grand Slam musim 2018 ini hanya dijuarai oleh tiga petenis senior yang itu lagi, itu lagi. Australia Terbuka sebagai kompetisi pertama Grand Slam ditutup dengan gelar juara Roger Federer. Keberhasilannya mengalahkan Marin Cilic di laga pamungkas tunggal putra menandai gelar Grand Slam ke-20-nya di nomor itu.
ADVERTISEMENT
Berlanjut ke Prancis Terbuka, Rafael Nadal yang menjadi juara. Di mana pun Nadal bertanding, predikat sebagai 'Raja Lapangan Tanah Liat' tak bisa lepas dari namanya. Itu artinya, kompetisi tenis di lapangan tanah liat memang makanan empuknya Nadal. Dan lagi-lagi, ialah yang menjadi juara di Roland Garros tahun 2018 ini.
Padahal, laga perempat final sudah memberikan kejutan luar biasa. Pertandingan itu ditandai dengan kemenangan petenis lucky loser macam Marco Cecchinato berhasil menaklukkan Djokovic dalam laga thriller lima set. Saking kesalnya menghadapi perlawanan Cecchinato, petenis asal Serbia itu sampai membanting raket.
Bayangkan bagaimana menariknya ranah Grand Slam jika di semifinal Cecchinato berhasil mengalahkan Dominic Thiem. Atau, okelah kalaupun Cecchinato tetap kalah. Tapi, rasanya akan jauh lebih menyenangkan jika Nadal bertekuk lutut menghadapi Thiem di final.
ADVERTISEMENT
Federer dan istrinya, Mirka. (Foto: REUTERS/Thomas Peter)
zoom-in-whitePerbesar
Federer dan istrinya, Mirka. (Foto: REUTERS/Thomas Peter)
Beralih ke Wimbledon, Djokovic menutup kompetisi sebagai juara. Memang, sebelum kemenangan ini prestasi Djokovic tidak bagus-bagus amat. Tapi, hei, Djokovic itu masuk dalam daftar The Big Four tenis putra. Andaikan Kevin Anderson yang berhasil mengangkat trofi berpuncak nanas (coba amati ujung trofinya), maka ceritanya akan jauh lebih semarak. Anderson akan menjadi petenis Afrika Selatan pertama yang menjuarai Wimbledon, bahkan Grand Slam.
Toh, di semifinal, Anderson sudah membikin heboh seantero All England Lawn Tennis and Croquet Club akibat melakoni laga gila sepanjang 6 jam 36 menit melawan petenis yang tak kalah edan, John Isner. Nama yang terakhir disebut itu pernah mencetak rekor di Wimbledon 2010 dengan melakoni laga terlama (11 jam 5 menit!) di sepanjang sejarah turnamen tenis tertua ini.
ADVERTISEMENT
Nah, di Amerika Serikat Terbuka 2018, Djokovic lagi-lagi menjadi juara. Seandainya Kei Nishikori sanggup mengalahkan Djokovic di semifinal dan menang melawan Juan Martin Del Potro di final, maka Grand Slam akan melahirkan kemenangan baru.
Keberhasilan Nishikori mencapai semifinal pun sudah melahirkan sejarah baru sebab di nomor tunggal putri, Naomi Osaka yang juga asal Jepang itu berhasil melangkah ke semifinal. Ini menjadi pertama kalinya petenis Jepang di nomor tunggal putra dan putri mencapai semifinal satu kompetisi Grand Slam yang sama.
Jepang memang mencetak sejarah lewat keberhasilan Osaka menjadi petenis Negeri Sakura pertama yang mengangkat trofi Grand Slam. Apalagi, yang menjadi lawannya adalah Ratu AS Terbuka, Serena Williams. Tentu kisahnya akan bertambah epik jika Nishikori berhasil menjadi juara di Flushing Meadow.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari kenyataan seperti ini, legenda tenis asal Jerman, Boris Becker, berkomentar panjang-lebar menyoal keberhasilan Zverev menjadi juara di London. Bagi pemilik enam gelar Grand Slam tunggal putra ini, kemenangan Zverev melahirkan harapan baru di jagat tenis.
"Ada yang berbeda dari penampilan dan wajah Novak (Djokovic) hari ini. Perbedaan itu terlihat dari bahasa tubuhnya, dari seluruh sikapnya di lapangan. Saya sudah punya firasat, cepat atau lambat, anak muda 20 tahunan itu akan menyulitkan Novak," jelas Becker, mengutip dari World Tennis USA.
"Seorang petenis muda butuh untuk tampil hebat dan bisa menjadi penantang serius bagi nama-nama besar. Ini hal penting buat kita saksikan, termasuk kami yang ada di ranah tenis. Ini menjadi bukti bahwa masa depan tenis itu masih ada, bahwa kehidupan di ranah tenis akan tetap ada begitu para senior gantung raket. Bintang lapangan telah tiba. Dunia harus menyaksikan superstar lapangan tenis yang satu ini," seperti itu komentar Becker menyoal Zverev.
ADVERTISEMENT
Legenda tenis Jerman, Boris Becker. (Foto: MIGUEL MEDINA / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Legenda tenis Jerman, Boris Becker. (Foto: MIGUEL MEDINA / AFP)
Banalnya ranah tenis putra memang sudah mengakar sejak lama. Ambil contoh sejak Federer merengkuh gelar juara Grand Slam pertamanya, pada 6 Juli 2003. Sejak hari itu hingga akhir musim 2018, ada 62 kompetisi Grand Slam tunggal putra yang dihelat. Nah, dari 62 kompetisi itu, 54 di antaranya dimenangi oleh The Big Four. Bila dirinci, 54 gelar itu akan menjadi 20 Federer, 17 Nadal, 14 Djokovic, dan tiga Andy Murray.
Kalau beralih ke ATP Finals sejak 2003 hingga 2018, situasi serupa pun terjadi. Orang-orang ini juga yang mendominasi dengan 12 gelar juara dari 16 partai final. Adapun, 12 gelar itu bila diurai akan menjadi enam Federer, lima Djokovic, dan satu Murray.
ADVERTISEMENT
Berhitung mundur sejak era 1970-an, situasi banal macam ini memang sudah acap terjadi. Dunia tenis putra pada 1970-an hingga awal 1980-an memang akrab dengan rivalitas (dan prestasi) Bjorn Borg dan John McEnroe, serta Jimmy Connors. Masuk ke era 1990-an awal hingga jelang 2003, Pete Sampras dan Andre Agassi menjadi warna yang paling dominan.
Mengutip Brian Phillips, zaman boleh berubah, tipe raket boleh bertambah, kostum para petenis jadi semarak, tapi gelar juara sulit beralih dari petenis yang itu-itu saja dalam waktu yang lama. Gelar juara Grand Slam dan turnamen mayor seperti dikhususkan untuk dua-tiga nama besar untuk satu kurun waktu tertentu.
Maka, wajar bila keberhasilan Zverev mengalahkan Djokovic di puncak ATP Finals membidani kelahiran harapan baru. Harapan agar jagat tenis putra tak lagi banal, lantas memberikan keindahan yang membuktikan bahwa tenis adalah kisah yang menolak untuk disangka.
ADVERTISEMENT