Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Arman Dhani: Nomor Satu Makan, Nomor Dua Beli Sneakers
23 November 2018 12:33 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Arman Dhani sadar betul dari mana dia lahir dan berasal. Maka memiliki hobi sebagai pecinta barang-barang streetwear memaksanya untuk bekerja dua kali lebih keras dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Sebutan hypebeast biasanya melekat dengan kemewahan, dan Dhani―begitu ia biasa disapa―enggan larut dalam stigma tersebut. Menurutnya, menjadi seorang hypebeast adalah soal bagaimana bisa mengontrol keuangan untuk mewujudkan apa yang diinginkan.
Demi menuruti hasrat, ia rela setiap bulan menyisihkan Rp 1 juta dari penghasilannya sebagai pekerja media. Uang itu ia tabung dan kumpulkan selama setahun untuk membeli barang impian.
Kebanggaan pun menyelimuti ketika barang incaran sudah sampai di tangan. Terlebih dibeli dari hasil keringat sendiri. Kini, koleksi 40 sneakers memenuhi lemari Dhani.
“Gue merasa dari keluarga kurang mampu, struggle, dan kemudian bisa beli sendiri produk yang buat banyak orang mahal dan keren,” kata Arman Dhani.
Pada Rabu sore (21/11) di sebuah kedai di Pasar Santa, Jakarta Selatan, Dhani menceritakan perbedaan dirinya dengan para hypebeast, dan bagaimana perjuangan panjangnya untuk mendapatkan barang yang ia mau.
ADVERTISEMENT
Menurut Dhani, apa itu hypebeast?
Gue melihat hypebeast sih orang yang cenderung benar-benar dikontrol sama tren. Orang yang membungkus dirinya dengan produk-produk tertentu yang sedang tren saat ini dan menjadi perhatian banyak orang.
Secara jujur, gue suka hypebeast , tapi gue nggak ngikutin tren yang ada. (Buat gue yang penting) ini cocok nggak sih buat gue, ini nyaman nggak sih buat gue.
Dhani punya holy grail apparel atau sepatu tertentu?
Kalau sepatu sih, alhamdulillah udah dapet semua. Jadi gue itu seneng banget sama Nike Air Jordan 1 x Bred, Nike Air Uptempo yang hitam putih. Terakhir gue dapet Jordan 3 Black Cement. Tiga itu udah cukup sih buat gue. Udah nggak cari-cari lagi.
Kalau pakaian sih nggak terlalu (ingin). Gue pake sepatu harga Rp 8-10 juta masih oke, tapi kalau harus pakai baju seharga itu, nggak. Karena gue lebih suka pake merek lokal daripada merek luar untuk pakaian.
ADVERTISEMENT
Kayak misalnya Maternal Disaster itu enak banget di badan. Terus buat orang yang badannya gemuk kayak gue, size itu lumayan nyaman. Dan kelihatannya di badan itu jadi lebih rapi aja.
Sejak kapan mulai kecanduan produk hypebeast?
Sejak tahun 2013. Bukan kecanduan, sih. Lebih kayak misalnya gini, gue tinggal di kota kecil di Jawa Timur, di mana orang tua gue itu ngajarin kalau pakaian itu nggak usah bagus-bagus. Jadi gue sering dapet lungsuran baju dan sepatu dari kakak.
Ketika gue kerja di Jakarta, mulai mapan, terus gue (berpikir) dulu gue pengen banget punya (sepatu) Vans Old Skool, terus gue beli. Terus gue pengen banget punya (Nike) Jordan, terus gue beli. Kayak gitu sih.
ADVERTISEMENT
Mulai ngumpulin (sneakers) ketika gue udah mulai kerja dan mampu membeli barang-barang itu. Kalau nggak (mampu), ya gue nggak maksa.
Barang apa yang paling bangga waktu Dhani dapat?
Yang paling susah sih Nike Air Uptempo yang black and white. Karena (saat itu) nyari size 10 itu susah banget. Kaki gue kan ukurannya 43-44. Sekalinya (sneakers itu) ada, ukurannya 45, atau kekecilan ukurannya 42. Jadi (kesulitannya) lebih ke nyari ukuran.
Kadang duit ada, yang jual nggak ada (sedia). Atau duit nggak ada, yang ngejual ada. Sekalinya ada, resale-nya tinggi. Terakhir gue hoki banget karena ada yang jual murah banget. Ya udah gue sikat.
Berapa lama Dhani nunggu untuk punya barang itu?
ADVERTISEMENT
Dari dulu. Karena gue seneng banget yang model Air gitu, terus (warnanya) item putih. Gue seneng banget. Dan buat banyak orang, istilah ini bukan grail. Buat kolektor, grail itu karena kolaborasinya, atau karena limited edition. Buat gue sih grail itu lebih ke ceritanya.
Saat gue SMA, gue punya temen baik dan dia punya sepatu itu. Waktu itu, sepatu gue cuma pantofel warisan dari abang gue. (Gue berpikir), kapan ya gue punya kayak gitu. Sepuluh tahun kemudian setelah gue kerja, gue dapet pake duit sendiri. Itu rasanya seneng banget makenya. Story personal jadinya.
Buat gue personal karena gue merasa dari keluarga kurang mampu, struggle, dan kemudian bisa beli sendiri produk yang buat banyak orang mahal dan keren. Dan gue dapatnya dengan harga miring.
ADVERTISEMENT
Pengorbanan apa yang Dhani lakukan demi bisa memberi barang-barang itu?
Kalau struktur kebutuhan gue: nomor satu makan, baru nomor dua itu (beli sepatu).
Misalnya gaji gue sekian, gue bakal mengalokasikan apa pun yang terjadi, Rp 1 juta per bulan. Berarti setahun dapet Rp 12 juta dong. Nah Rp 12 juta itu, gue bisa dapet sepatu apa aja nih?
Tahun depan misalnya, ada dua sepatu yang bakal gue target. Pertama, Nike Air Jordan 4 x Bred black and red yang bakal rilis bulan Februari. Kedua, mungkin gue akan ambil Jordan Infra Red 7.
Kalo harga retail mungkin Rp 2,8 juta, jadi gue masih punya tabungan banyak nih. Tapi kalau mentok gue harus beli resale seharga Rp 5 juta. Ya nggak apa-apa, karena gue udah punya tabungan Rp 12 juta setahun.
ADVERTISEMENT
Karena biasanya ada informasi dari sneakers news atau segala macem, tahun 2019 bakal rilis sepatu apa saja. Ya udah, gue prioritasin itu. Gue nabung. Gue nggak mengorbankan juga sih. Lebih kayak gue punya budget setahun Rp 12 juta untuk beli sepatu. Itu hasil nabung setahun.
Maka apa pun yang terjadi, nggak boleh (beli) lebih dari Rp 12 juta itu tadi. Kayak misalnya, oh mereka bakal rilis ini, merek ini rilis ini, ya gue bakal berusaha untuk beli yang harga retail. Jadi perlu perencanaan.
Apa yang membuat Dhani rela nabung setahun?
Berbeda dengan kebanyakan, gue sih lebih suka make itu (produk) untuk kenyamanan diri sendiri aja. Kalau ditanya kenapa beli, kenapa koleksi, ya karena dulu gue miskin, nggak punya duit. Dan sekarang gue punya duit, dan gue bisa beli.
ADVERTISEMENT
Kalau boleh diomongin, itu balas dendam. Gimana sih perasaan lu, dulu lu pengen punya sesuatu tapi nggak mampu, dan sekarang lu bekerja, terus lu nabung, dan lu bisa mendapatkan hal itu dari hasil kerja lu sendiri. Itu bangganya luar biasa.
Jadi itu kecanduan nggak, sih?
Kecanduan banget. Kayak misalnya, kalau lu ke kamar gue, sepatu itu ada banyak banget. Dan kemaren gue sempet ngejual sepatu-sepatu itu karena udah banyak banget, sampe orang bilang, “Wah, ini Dhani lagi banyak utang sampe jual sepatu.”
Nggak begitu. Tapi karena apartemen gue udah nggak cukup buat nampung sepatu. Jadi ya udah, gue jualin. Padahal gue paling nggak suka jual barang. Akhirnya gue keep yang bener-bener gue butuh dan suka aja.
Dalam setahun, berapa pasang sepatu yang Dhani beli?
ADVERTISEMENT
Setahun bisa 12 pasang. Rata-rata sneakers. Kalau apparel (baju) sih gue suka banget sama hoodie. Kayak misalnya, gue pake Huf, Tharsher, sama Undefeated. Tapi kalo pakaian jangan mahal-mahal deh, paling mahal Rp 2 juta atau Rp 1,5 masih okelah. Yang penting kalau apparel, (merek) lokal sih.
Gue ngelihat kualitas Balenciaga dibandingin sama apparel lokal kayak Maternal Disaster, materinya bagus Maternal. Dan gue itu Maternal fanatik. Kalau setiap mereka ngeluarin produk, gue pasti beli. Karena murah dan enak.
Berapa harga sepatu paling mahal yang pernah Dhani beli?
Rp 3,5 juta. Itu saat gue beli Nike Black Cement. Harga retail kan Rp 2,8 juta, gue dapet di online Rp 3,5 juta.
ADVERTISEMENT
Punya kriteria dalam membeli barang?
Kalau untuk apparel, pertama, size. Sepatu juga sama. Kalau misalnya kekecilan, keren juga buat apa? Badan gue gemuk, jadi kalau misalnya pakai tapi nggak nyaman, ya nggak enak. Kedua, material. Ketiga, harga.
Keempat, desain dan segala macam. Kayak Jordan itu pasti enak banget. Dan cari size yang sesuai. Kalau kegedean nggak enak. Terus harganya gue pake bujet. Kalau lebih dari Rp 4 juta, gue nggak mau. Atau lebih dari Rp 5 juta, gue nggak ambil.
------------------------
Simak selengkapnya di Liputan Khusus kumparan, Hypebeast: Gaya Mahal Remaja Kota .
Live Update