Dari Mana Datang Kutang

21 Desember 2018 9:52 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Ilustrator: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Ilustrator: Herun Ricky/kumparan)
Kutang dan kancut. Keduanya erat melekat pada keseharian kita―meski tak berharga separuh nyawa bak ponsel. Tanpa kutang dan kancut, kita seperti bukan “manusia”.
Ah, masa? Begitu mungkin kata sebagian darimu. Ah, iyalah. Coba saja, misal, kaum perempuan jalan-jalan ke mal, atau berangkat ke sekolah, atau pergi kerja ke kantor, tanpa kutang menopang payudara. Dan para lelaki berkeliaran di terminal dan bandara tanpa kancut menutup pelir. Membuat organ penting itu berayun-ayun bebas mencurigakan di balik celana bahan.
Minimal, orang-orang akan melempar tatapan dengan sorot mata hakim mengadili terdakwa―disusul kasak-kusuk busuk. Mereka akan menyangkamu sedang frustrasi berat sampai lupa pakai kutang dan kancut, atau mengiramu terserang gangguan mental.
Tanpa kutang dan kancut, derajatmu sebagai manusia waras dipertanyakan. Pokoknya, beha penyangga payudara dan cawat penutup alat kelamin itu punya peran sosial vital untuk mendudukkan kita sebagai manusia seutuhnya.
Mengingat kutang dan kancut ternyata sebegini penting, pernah penasaran tidak: dari mana dan kapan mereka datang?
Begini ceritanya...
Candi Singosari di Kabupaten Malang (dulu wilayah itu bernama Tumapel). (Foto: Dok. Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Candi Singosari di Kabupaten Malang (dulu wilayah itu bernama Tumapel). (Foto: Dok. Wikimedia Commons)
Dahulu kala, di satu kawasan menuju Gunung Arjuno, Jawa Timur, lelaki bercawat cokelat usang membuat Tunggul Ametung―akuwu (kepala daerah) Tumapel (kini Malang)―menghentikan perjalanan bersama pasukannya.
Dengan hanya berbalut cawat, sosok berkumis itu berdiri di atas batu. Ia ternyata seorang brahmana (pendeta Hindu) dari Tumapel.
Sang brahmana membawa perak bergambar Durga, dewi cantik pemberani yang juga dikenal dengan sebutan Mahisasura Mardini atau Penakluk Asura. Asura ialah mahkluk supernatural yang dikisahkan berwujud banteng raksasa.
Tentara Tunggul Ametung lantas bersiap menyerang brahmana cawat cokelat itu. Namun, sang brahmana kemudian pergi sebelum pasukan Tunggul Ametung menghunus senjata.
Kisah itu adalah fragmen novel Arok Dedes yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Dari nukilan itu, tergambar pakaian yang dikenakan masyarakat zaman Kerajaan Kadiri (tahun 1042-1222)―yang kemudian menjadi Kerajaan Singosari (1222-1292) di bawah kekuasaan Ken Arok, pengawal sekaligus pembunuh Tunggul Ametung.
Pada masa itu, masyarakat telah menggunakan cawat untuk menutup kelamin, sedangkan tubuh bagian atas dibiarkan terbuka, baik laki-laki maupun perempuan.
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Foto: Herun Ricky/kumparan)
Dalam tulisan Pram soal epos Ken Arok, cawat dipakai oleh masyarakat biasa. Sementara kalangan atas punya gaya berpakaian yang berbeda.
Beda strata, beda busana. Jadi, busana menunjukkan kelas memang sudah sejak dulu. Istilah kerennya: you are what you wear.
Informasi soal busana nusantara tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Museum itu mencatat, keluarga berdarah biru di Kerajaan Singosari memakai batik untuk menutupi pinggang, kelamin, hingga kaki. Sementara tubuh bagian atas yang tidak mengenakan sehelai kain pun, dikamuflasekan dengan aksesori emas dan selendang tipis.
Aksesori emas juga menghiasi bagian depan batik yang diikat seperti sarung. Untuk perempuan, perhiasan emas itu punya fungsi tertentu. Ia biasa dipakai perempuan yang sedang ditinggal pergi suaminya.
Relief Majapahit di Monas (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Relief Majapahit di Monas (Foto: Wikimedia Commons)
Batik juga digunakan oleh bangwasan Majapahit, kerajaan yang berjaya setelah Singasari (tahun 1293-1500). Mereka, dalam novel Gajah Mada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara, mengenakan batik bercorak gringsing yang melambangkan kemakmuran, keseimbangan, dan kesuburan.
Dikisahkan bahwa Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, memberikan batik gringsing kepada para prajuritnya yang hendak pergi berperang. Berseragam batik itu, semangat tempur bala tentara Majapahit jadi berlipat ganda.
Perempuan Bali dalam "Cinema Palace: De Groote Bali Film." (Foto: Dok. Perpusnas)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Bali dalam "Cinema Palace: De Groote Bali Film." (Foto: Dok. Perpusnas)
Seperti kerajaan-kerajaan di Jawa, Bali pun dulu punya gaya busana hampir sama. Para perempuan tidak berpenutup dada, sedangkan tubuh bagian bawah dililit kain tradisional yang disebut kamen.
Jika ada upacara adat, kamen dipadupadankan dengan hiasan kepala gelungan dan badong yang menutupi leher sampai dada.
Konon, telanjang dada para perempuan Bali ialah perlambang kejujuran. Jika payudara seorang perempuan masih kencang, artinya ia masih perawan. Pada masa itu, memang tak ada keharusan untuk menutup payudara. Ketelanjangan dipandang sebagai keindahan.
Gambar lelaki Papua tahun 1887 saat Belanda melakukan ekspedisi ke sana. (Foto: Dok. Perpusnas)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar lelaki Papua tahun 1887 saat Belanda melakukan ekspedisi ke sana. (Foto: Dok. Perpusnas)
Hampir semua daerah di nusantara punya adat sama dalam berbusana di masa lalu: menutup kelamin saja, dan membiarkan tubuh atas tak berpenutup.
Hal tersebut, misalnya, ditemui di Papua dan Mentawai. Untuk menutup kelamin, perempuan Papua menggunakan akar tanaman yang diikat dengan tali. Akar itu biasanya berasal dari tanaman rumbia atau rotan.
Keterbukaan dada itu, menurut antropolog UI Sri Murni, memiliki makna secara budaya. Jika payudara seorang perempuan masih terlihat sekel, maka ia dianggap masih bisa memberikan keturunan. Dan perempuan dengan payudara kendur dinilai sudah tak bisa lagi memberikan anak, sehingga tak jadi pilihan untuk disunting.
Sementara adat menutup kelamin, menurut Sri, adalah untuk menjaga kesuburan.
Pakaian dalam perempuan Eropa tahun 1900-an. (Foto: Dok. Buku "What Clothes Reveal")
zoom-in-whitePerbesar
Pakaian dalam perempuan Eropa tahun 1900-an. (Foto: Dok. Buku "What Clothes Reveal")
Pemandangan wajar orang-orang tak berpenutup dada di tanah nusantara kemudian pudar seiring masuknya Eropa. Era penjajahan ikut membawa masuk korset―kutang ketat panjang dari dada ke pinggul untuk membuat tubuh perempuan tampak langsing.
Korset yang dipakai perempuan Eropa sejak sebelum abad ke-20 itu diciptakan untuk memperindah tubuh perempuan, terutama untuk menyembulkan payudara dan memperkecil lingkar pinggang. Semakin besar payudara dan semakin kecil pinggang, seorang perempuan dianggap makin seksi.
Pakaian dalam ala Eropa itu kemudian dibawa ke Indonesia pada zaman kolonialisme. Kala itu, bangsa Eropa datang dengan pakaian serba-glamor. Para lelaki mereka mengenakan setelan jas, dan kaum perempuannya memakai rok terusan―yang sepaket lengkap dengan pakaian dalam.
Nusantara Sebelum Kancut dan Kutang (Foto: kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Nusantara Sebelum Kancut dan Kutang (Foto: kumparan)
Pengaruh Eropa lambat laun mengubah gaya busana nusantara―beserta norma-norma kepatutan yang mengiringi. Perempuan di Jawa Bali yang semula berkebaya sederhana atau bertelanjang dada, jadi mengenakan pakaian yang lebih tertutup.
Busana ala Eropa makin hype ketika tokoh-tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia juga mengadaptasi cara berpakaian orang Eropa. Semisal Sukarno yang hampir selalu mengenakan jas safari―meski dengan peci melekat di kepala sebagai ciri keiindonesiaan.
Presiden Sukarno. (Foto: perpusnas.go.id)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno. (Foto: perpusnas.go.id)
Gaya Sukarno yang dandy dan necis itu, menurut desainer dan pengamat mode Sonny Muchlison, menular pada masyarakat Indonesia.
Istri keenam Sukarno, Dewi Sukarno yang asal Jepang, pun berbusana sesuai pakaian yang dikenalkan Sukarno padanya: kebaya kutu baru lengkap dengan korset, agar bentuk tubuh terlihat lebih indah.
“Yang ikut memperkenalkan bra sebagai bagian dari sexiness juga Sukarno,” kata Sonny, Selasa (18/12).
Keraton-keraton nusantara juga disebut turut mempopulerkan bra di Indonesia sebagai pakaian dalam modern.
“Indonesia kan berkembang dari kerajaan. Keraton itu paling update dengan busana. Mereka yang mulai (memakai). Itu di zaman Sukarno,” imbuh Sonny.
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Foto: Herun Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lipsus "Dari Mana Datang Kutang" (Foto: Herun Ricky/kumparan)
Habis korset, terbitlah bustehouder alias beha alias bra alias kutang. Pakaian dalam inilah yang dipakai para perempuan masa kini.
Hak paten bra modern dipegang oleh Mary Phelps Jacob yang juga dikenal dengan nama Caresse Crosby, perempuan Amerika Serikat.
Tahun 1913, Crosby menciptakan bra sebagai solusi atas korset yang menyiksa tubuhnya. Bra pertama karya Crosby terbuat dari sapu tangan sutra dan pita.
Seperti korset, bra juga berfungsi untuk menjaga bentuk payudara. Hanya saja, mengenakan bra tidak sesakit memakai korset. Itu sebabnya bra dengan cepat populer dan terus digunakan kaum perempuan di penjuru dunia sampai saat ini.
Bra. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Bra. (Foto: Thinkstock)
Jadi, begitulah kutang datang. Ia, seperti banyak hal lain di bumi, berevolusi seiring bergeraknya waktu.
------------------------
Simak lebih dalam serba-serbi pakaian dalam di Liputan Khusus kumparan: Dari Mana Datang Kutang