Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.0
Pussy Riot, Band Punk Feminis yang Menyusup di Final Piala Dunia 2018
16 Juli 2018 19:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Kemenangan Prancis dan permainan apik dari tim Kroasia bukanlah satu-satunya hal yang menjadi sorotan pada ajang final Piala Dunia 2018 . Satu aksi yang tidak dapat dilewatkan dari pertandingan besar ini adalah munculnya 4 orang berpakaian polisi Rusia di tengah-tengah lapangan pada menit ke 52.
ADVERTISEMENT
Pussy Riot, band punk asal Rusia mengklaim bertanggung jawab atas kejadian penyusupan 4 orang pada saat laga final Piala Dunia pada Minggu (15/7) di Stadion Luzhniki, Moskow. Keempat orang tersebut segera diamankan oleh petugas keamanan lapangan. Salah satu dari mereka adalah Olga Kurachyova, anggota band punk Pussy Riot.
Band ini dibentuk atas dasar kemarahan salah satu anggotanya yang berpendapat bahwa kebijakan pemerintah Rusia mendiskriminasi perempuan, seperti adanya undang-undang yang membatasi terjadinya aborsi legal. Tolokonnikova, salah satu anggota Pussy Riot mengatakan bahwa band ini merupakan bagian dari gerakan anti-kapitalis global yang terdiri dari kaum anarkis, Trotskis, feminis, dan otonom.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah wawancara bersama Vice, Serafima, anggota Pussy Riot menyebutkan beberapa feminis yang menjadi panutan mereka, di antaranya adalah Simone de Beauvoir, Andrea Dworkin, Emmeline Pankhurst, Firestone Shulamith, Kate Millett, Rosi Braidotti, dan Judith Butler.
Perlawanan yang mereka lakukan tercermin pada lirik-lirik lagu yang mereka bawakan yang tidak jauh dari bahasan seputar feminisme, hak-hak masyarakat LGBT, dan ketidaksetujuan mereka terhadap kebijakan Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang mereka sebut sebagai diktator.
Aksi pertama mereka adalah mengadakan konser di stasiun Metro Moskow pada tahun 2012 dengan menyanyikan sejumlah lagu yang berisi kritikan terhadap pemerintah Rusia.
Menurut laporan VOA, saat itu Pussy Riot tidak menuntaskan penampilan karena mereka memanjat ke atas gedung dan menyanyikan lagu mereka dengan memakai gaun dan menutup wajahnya dengan topeng warna-warni.
ADVERTISEMENT
Band punk ini semakin mendapat perhatian dari masyarakat dunia setelah penampilan lima orang dari anggota mereka yang menghebohkan di dalam gereja Moskow, Cathedral of Christ the Savior pada 21 Februari 2012 lalu menjadi viral.
Aksi mereka kala itu dianggap sebagai tindakan asusila oleh Ortodoks Clergy dan akhirnya dihentikan oleh petugas keamanan gereja. Para perempuan itu mengatakan bahwa protes mereka diarahkan pada dukungan pemimpin Gereja Ortodoks kepada Putin selama masa kampanye pemilihan.
Peristiwa tersebut berujung penangkapan tiga anggota Pussy Riot secara bertahap pada Maret 2012. Sampai akhirnya pada Agustus 2012 tiga orang anggota band punk ini dihukum dengan tuduhan holiganisme yang didasari oleh kebencian agama. Masing-masing dari mereka dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Pada 10 Oktober setelah naik banding, Samutsevich dibebaskan dalam masa percobaan dan hukumannya ditangguhkan. Namun proses hukum dua orang rekannya ditunda.
Usai penangkapan tersebut, Pussy Riot berhasil mengundang simpati masyarakat dunia yang kemudian menjadi pendukung mereka dalam melawan kebijakan pemerintah yang tidak mengutamakan perempuan dan masyarakat minoritas seperti LGBT.
ADVERTISEMENT
Pussy Riot memang tidak memiliki album studio. Namun mereka telah merilis tujuh lagu dan lima video. Meskipun begitu, lagu mereka telah banyak tersebar di internet. Salah satunya yang terkenal berjudul Ubey Seksista, yang berarti Kill the Sexist.
Uniknya, pada Desember 2017 lalu Pussy Riot juga telah mengumumkan tur debut mereka di Amerika Utara. Mereka juga telah menciptakan sebuah lagu yang menandai kritikannya terhadap Donald Trump yang berjudul Make America Great Again pada tahun 2016 lalu.
Bagi Pussy Riot, penyusupan mereka ke dalam final Piala Dunia 2018 bukan sekadar aksi viral biasa. Mereka memiliki misi tersendiri yang ditujukan kepada pemerintah Rusia. Dalam laman Facebook mereka menyebutkan enam tuntutan, yakni pembebasan semua tahanan politik, penghentian penangkapan secara ilegal atas aksi unjuk rasa, menuntut agar pemerintah Rusia mendukung adanya persaingan politik, tidak membuat tuduhan kriminal palsu dan tidak membuat orang dipenjara tanpa alasan, tidak memenjarakan orang atas dasar kesenangan, dan mengubah polisi menjadi lebih baik.
Pada masa pemerintahan Putin, warga Rusia banyak yang dipenjara atas tuduhan kejahatan politik yang mencakup kegiatan di media sosial seperti menyukai atau membagi sebuah unggahan.
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan Piala Dunia dijaga oleh polisi dan berlangsung dengan damai. Penggemar bola dari berbagai belahan dunia yang datang ke Rusia merasa sangat aman. Menurut Pussy Riot, Piala Dunia yang diselenggarakan di Rusia menunjukkan adanya harapan terhadap masa depan Rusia yang indah.
“Piala Dunia telah mengingatkan kita tentang kemungkinan terwujudnya Heavenly Policeman di Rusia pada masa yang akan datang. Tapi Earthly Policeman, yang memiliki andil dalam kegiatan sehari-hari di Rusia dan tidak mengenal aturan, (telah) menghancurkan dunia kita,” ungkap Pussy Riot dalam pernyataan mereka.
Kritikan terhadap polisi di Rusia itu juga yang membuat keempat orang penyusup tersebut memakai atribut lengkap kepolisian. Dalam aksinya, salah satu perempuan mengajak tos pemain Prancis, Kylian Mbappe, dan salah satu laki-lakinya dicekik oleh pemain Kroasia. Saat diamankan oleh petugas, keempat orang tersebut menunjukkan rasa kepuasan atas aksi tersebut.
ADVERTISEMENT