Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Tanggapan Komnas Perempuan tentang Kasus Prostitusi Online
9 Januari 2019 18:31 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB

ADVERTISEMENT
Munculnya kasus yang melibatkan seorang selebriti, Vanessa Angel, yang diduga sedang melakukan tindakan prostitusi online di sebuah hotel di Surabaya pada minggu lalu mencuatkan berbagai pertanyaan, terutama soal payung hukum yang dapat menjerat pelaku dan posisi perempuan dalam kasus prostitusi.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Komnas Perempuan sebagai lembaga independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia, telah melakukan sejumlah pemantauan dan pendokumentasian terkait berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang berhubungan dengan industri prostitusi atau perempuan yang dilacurkan (Pedila).
Dari hasil tersebut Komnas Perempuan menyatakan bahwa perempuan yang terlibat prostitusi online merupakan korban dari tindak perdagangan manusia, perempuan dalam kemiskinan, korban eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, dan bahkan menjadi bagian dari gratifikasi seksual.
“Kami (Komnas Perempuan) sudah melakukan rapat soal kasus prostitusi online. Menurut pemantauan kami tentang prostitusi di Indonesia, dengan adanya teknologi dan semakin banyaknya mafia prostitusi, maka kasus seperti prostitusi online tidak bisa terhindarkan. Apapun kelas dan pendidikan dari seorang perempuan yang terlibat prostitusi, mereka cenderung menjadi korban. Meskipun mereka sadar dan bahkan memasang tarif, ternyata permasalahan di belakangnya tidak sesederhana itu,” tutur Mariana Amiruddin, Komisioner-Ketua Subkom Divisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan saat dihubungi oleh kumparanSTYLE.

Banyaknya anggapan negatif dari masyarakat karena perempuan yang terlibat prostitusi memasang tarif, membuat kasus prostitusi online begitu menyudutkan perempuan yang dalam kasus tersebut justru berstatus sebagai korban.
ADVERTISEMENT
Menurut Komnas Perempuan kasus prostitusi online hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual di mana perempuan ditipu dan diperjualbelikan. Hal tersebut tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan yang menjadi pekerja seks, sehingga mereka rentan dipidana atau dikriminalisasi.
Pernyataan tersebut diamini oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise. Menurutnya masyarakat tidak bisa langsung memberikan penilaian sendiri dan bahwa semuanya harus dikaji dengan baik, terutama tentang penyebab terlibatnya para perempuan dalam prostitusi online.
“Itu memang harus dikaji. Kadang-kadang mereka kan alasannya ekonomi, itu memang alasan ekonomi. Jadi harus dikaji betul-betul siapa yang salah dalam hal ini,” tutur Yohana Yembise seperti dikutip dari kumparanNEWS.
Pihak Komnas Perempuan juga mengkhawatirkan jika prostitusi online merupakan bentuk perpindahan dan perluasan lokus dari prostitusi offline. Oleh karena itu mereka mendorong agar masyarakat dan pihak berwenang termasuk pemerintah untuk kritis dan bergerak bersama mencari akar persoalan. Terutama ketika proses hukum tidak mampu menjerat laki-laki penyewa jasa prostitusi online. Kenyataan tersebut kemudian menuai banyak reaksi dari berbagai kalangan. Termasuk Menteri PPPA, Yohana Yembise. Ia menuntut agar para pelaku juga mendapatkan hukuman.
ADVERTISEMENT
Mengutip pemberitaan kumparanNEWS, Menteri Yohana menegaskan seharusnya tidak ada diskriminasi hukum dalam kasus prostitusi online. Apalagi jika selama ini hanya merugikan pihak perempuan saja.
“Yang jelas apa pun yang dilakukan terhadap perempuan, dan itu pelakunya harus dikenakan hukuman. Tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi terhadap perempuan karena itu memang sudah ada dalam UU,” ungkap Yohana di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (7/1).
Yohana juga mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan. Sebab, dengan adanya undang-undang ini, pelaku dapat lebih mudah dijerat hukum.

“Harus (ditangkap). Sudah ada dalam UU dan nanti lebih rinci di RUU PKS itu yang sekarang kita sedang perjuangkan. Karena ada hal-hal khusus yang memang tidak terdapat di dalam UU Perlindungan Anak, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan itu akhirnya akan muncul dalam UU baru. Saya hanya dari pihak pemerintah mendukung supaya secepatnya (disahkan),” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan dari pihak Komnas Perempuan, hingga saat ini DPR menyatakan akan membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam waktu dekat.
“Sejak aksi Pawai Akbar Mendorong Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan pada 8 Desember 2018 lalu, pihak DPR bilang akan membahas DIM-nya bersama kementerian PPPA dalam waktu dekat. Sekitar minggu ini atau minggu depan. Sejauh ini baru itu saja respon dari DPR,” tutur Mariana.
Selain urgensi, pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan harus disegerakan karena sebentar lagi akan memasuki masa pemilihan presiden. Akan terjadi pergantian anggota dan struktur di DPR. Jika sudah begitu, Komnas Perempuan dan pihak yang mendukung harus memulai dari nol lagi upaya perjuangan mereka untuk mengesahkan RUU tersebut.
ADVERTISEMENT
“RUU harus disahkan bersama. Dengan syarat isu RUU-nya sudah berdasarkan masukan dari pendamping korban, Komnas Perempuan, dan Menteri PPPA agar isinya tidak diubah dan sesuai dengan data kasus yang kami ketahui.”
Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dianggap bisa menjadi solusi terhadap berbagai kasus yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus prostitusi online.
“Isu kekerasan seksual ini tidak ada dalam hukum manapun. Dengan adanya RUU ini, negara bisa lebih adil dalam memberikan keadilan dan proses hukum terhadap kasus-kasus yang menyangkut perempuan,” tutup Mariana.