Upaya Lelaki Mencari Standar Tubuh Ideal

8 Maret 2018 17:31 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
“M for Male: Masculin or Metrosexual?”
Kami berjalan ke toko donat madu. Kukira ia akan membeli satu kotak donat. Jika iya, maka aku siap meminta barang sebuah. Ternyata tidak. Ia membeli sekantong plastik putih telur. Ya putih telur, yang masih kental, dalam kantong plastik bening.
ADVERTISEMENT
Sepanjang jalan, plastik berisi putih telur itu bergoyang-goyang, tampak seperti sekantong penuh air yang siap pecah. Karena heran, aku pun bertanya, “Mau bikin kue?”
“Kagaklah.”
“Terus itu putih telor buat apa?”
“Ya buat dimakan, apa lagi?”
“Kenapa nggak beli telor bulet, sih?”
“Bawel lu, banyak nanya. Ini tuh emang gue sengaja beli putihnya. Orang gue cuma butuh putihnya doang.”
Kesal, kutendang kakinya. Dan aku masih tidak paham kenapa dia membeli putih telur saja.
“Ini kandungan proteinnya tinggi, nggak punya banyak lemak kayak kuningnya. Gue lagi fitness kan. Kata instruktur gue, ini bagus buat ngebentuk otot gitu,” akhirnya ia menjelaskan, ditutup dengan menunjukkan otot lengannya yang masih sebesar telur puyuh.
ADVERTISEMENT
Aku hanya ber-“ooh” ria dan menepis lengan yang ia pamerkan itu. Sudah dua bulan ia mencoba OCD. Bukan, ini bukan penyakit mental Obsessive Compulsive Disorder. OCD yang ia jalankan adalah program diet yang diperkenalkan pesulap Deddy Corbuzier: Obsessive Corbuzier’s Diet.
Diet OCD membatasi waktu jam makan, hampir sama dengan puasa. Bedanya, ia memiliki empat tahapan ‘jendela makan’ (waktu bebas untuk makan). Tahapannya mulai dari bebas makan selama 8 jam, 6 jam, 4 jam--alias puasa selama 16 jam, 18 jam, dan 20 jam--hingga hanya makan sehari sekali saja.
Melihat otot-otot perkasa Deddy sebagai hasil diet OCD dan fitness itu, dia jadi ingin punya pencapaian serupa
Nyaris tak ada hal lain yang ia perhatikan selain soal otot-otot itu. Ia tak segan untuk memamerkannya, menceritakan perubahannya, meminta agar si otot itu dipotret; tentu untuk kemudian ia posting di akun media sosialnya.
ADVERTISEMENT
Maka ia melakoni fitness dua jam sehari, tiga kali seminggu. Ia juga menjalani diet yang mengharuskannya mengatur kapan waktu makan, menu makanan, termasuk asupan protein. Semua detail itu ia perhatikan benar-benar.
Jadi, si putih telur adalah menu andalan baginya. Cukup direbus, tanpa tambahan apa pun. Murah, mudah dimasak, dan mengenyangkan--setidaknya bagi dia. Dari 16 butir telur, ia hanya memakan putih telurnya untuk seharian.
Aku tak mau membayangkan betapa bau kamar kosannya jika ia kentut.
Maskulin vs Metroseksual (Foto: Chandra Diyah A./kumparan)
Dulu, kukira hanya perempuan yang sering dibuat khawatir akan bentuk tubuh dan penampilannya. Nyatanya laki-laki juga sedikit banyak mengalami hal serupa. Dan semua kekhawatiran manusia akan tubuh mereka tentu tak tumbuh begitu saja tanpa konteks yang menghidupinya.
ADVERTISEMENT
Penampilan menemukan titik pentingnya sebagai alat untuk menarik perhatian lawan jenis.
“Pada mulanya, kita tertarik pada lawan jenis berdasar kesehatan, dan kemungkinan terkait reproduksi,” ujar dr. Jennifer Greenberg, dikutip dari Boston Globe.
“Kalau dari sisi teori psikologi evolusi, biasanya laki-laki itu akan melihat perempuan yang segar… Sebaliknya, kalau perempuan akan melihat laki-laki dalam penampilan, dalam hal apakah dia terlihat kuat dan mapan,” tutur psikolog Pingkan Rumondor kala berbincang dengan kumparan, Jumat (2/3).
Derita Demi Paras Jelita (Foto: Lidwina Wina Hadi/kumparan)
Ada perbedaan sifat-sifat yang diasosiasikan dalam mengidentifikasi laki-laki atau perempuan, alih-alih atribut fundamental terkait jenis kelamin. Maskulin bagi laki-laki, dan feminin bagi perempuan.
Kamus Oxford mencatat definisi ‘maskulin’ sebagai kepemilikan kualitas atau penampilan yang secara tradisional diasosiasikan dengan laki-laki. Kualitas-kualitas tersebut yakni tampan, kuat berotot, dan dominan.
ADVERTISEMENT
Karakteristik tersebut agaknya tak lekang dimakan waktu, justru kian mendetail mulai dari persoalan tinggi, berat badan, dan otot yang dimiliki. Belum lagi dibumbui atribut lain seperti kumis dan jenggot, gaya berpakaian, hingga jenis pekerjaan--misalnya tentara.
“Laki-laki ditekankan pada kekuatan fisik sebagai daya tarik. Saya rasa, baik laki-laki atau perempuan menghadapi hal yang sama, dampak negatif dari tuntutan penampilan yang ideal,” tutur Greenberg.
Salah satunya, Theo (bukan nama sebenarnya). Meski memiliki tinggi badan 182 sentimeter, dia merasa belum mencapai standar ideal lelaki. Bagi Theo, dia terlalu gemuk dengan berat badan 84 kilogram.
ADVERTISEMENT
Memiliki badan proporsional menurutnya adalah impian semua orang. “Tapi jujur sih kadang-kadang jadi beban juga. Apalagi sekarang, karena badan mulai membesar lagi,” ujarnya, Kamis (1/3).
Ia, sama seperti temanku, didorong untuk meluangkan sedikit waktu dan uangnya di tempat kebugaran--setidaknya 1-2 jam sehari 2-4 kali dalam seminggu--demi memperoleh ukuran tubuh ideal itu. Dan mereka hanyalah dua dari 132 juta anggota tempat kebugaran di seluruh dunia.
Erick Limans, Instruktur Pusat Kebugaran. (Foto: Dok. Istimewa)
“Rasa sakit dalam menjaga penampilan itu pasti ada, tapi kenikmatannya ada pada ketika kita bisa melihat diri kita sendiri menjadi lebih baik, menarik, dan lebih percaya diri,” tutur Erick Limans, instruktur fitness dan koreografer, kepada kumparan, Rabu (7/1).
Tapi, rasa pegal di awal dan biaya mahal tak jadi soal. Itu bagian dari usaha dan pengorbanan. Kerelaan itu, menurut Pingkan, bisa datang karena faktor lingkungan dan pekerjaan, pengalaman bullying, atau nilai-nilai dari keluarga.
ADVERTISEMENT
Bagi laki-laki, tuntutan terhadap tubuh dan penampilan itu memperluas spektrum terjadinya body dysmorphic disorder, yakni muscle dysmorphia--gangguan kejiwaaan karena merasa tidak puas dengan tubuh yang dimiliki, khususnya otot.
Rob Wilson, pendiri Body Dysmorphic Disorder Foundation, meyakini, “Sekitar 10 persen laki-laki di tempat kebugaran memiliki dysmorphia.” Meski demikian, kondisi tersebut belum terdiagnosis karena kesadaran yang minim atasnya.
“Kami melihat menguatnya tekanan pada laki-laki untuk tampil berotot dan sebagainya,” ujar Wilson, dikutip dari BBC.
Barangkali, otot kekar bagi sebagian laki-laki tak jauh beda bagai pinggang ramping bagi perempuan. Keduanya bisa melejitkan rasa percaya diri. Standar tubuh ideal itu dipercaya tak lepas dari peran media, iklan, hingga tayangan televisi yang berlomba-lomba menampilkan apa yang disebut tubuh ideal, seperti apa, dan bagaimana mendapatkannya.
ADVERTISEMENT
Tinggi setidaknya 175 sentimeter untuk standar Asia disertai tubuh atletis berotot, nyatanya hanya bagian kecil dari cita-cita penampilan ideal laki-laki.
Kini, kondisinya semakin kompleks. Tak hanya otot triseps, biseps, atau pundak saja, melainkan kulit mulus, rambut hingga jenggot yang tertata, sampai alis tebal pun menjadi atribut baru bagi laki-laki.
Kita mengenalnya dengan istilah metroseksual. “Baru, narsis, terpapar media, fokus pada penampilan diri,” begitulah jurnalis Mark Simpson pertama kali memperkenalkan istilah metroseksual pada 1994.
Lebih lanjut, ia menuliskan, “Laki-laki metroseksual adalah pria-pria muda dan lajang dengan pendapatan mencukupi, hidup dan bekerja di kota, serta merupakan pasar menjanjikan abad ini.”
ADVERTISEMENT
Tak heran jika pangsa pasar produk-produk perawatan pria berkembang kian beragam. Jika mulanya sebatas parfum dan peralatan cukur, maka kini sabun pembersih muka, pelembab, hingga kosmetik khusus pria tersedia di pasar. Angka penjualannya pun tumbuh pesat, terutama di Asia Pasifik.
Berdasarkan laporan Euromonitor 2016, negara-negara Asia menjadi pasar dengan pertumbuhan penjualan produk perawatan pria paling tinggi, yakni 8,1 persen.
Wilayah lain seperti Amerika, Eropa, dan Timur Tengah hanya mampu meningkatkan penjualan di kisaran 4 persen. Meski hingga kini pasar terbesar penjualan kebutuhan pria, seperti produk perawatan wajah hingga parfum, masih dikuasai Eropa Barat.
Pada 2020, diperkirakan nilai penjualan produk perawatan pria ini akan mencapai USD 60,7 miliar.
Di Asia Pasifik, tingginya pertumbuhan pasar produk perawatan pria itu dipimpin Korea Selatan. Pada 2016 saja, nilai penjualan di Negeri Ginseng itu mencapai USD 825 juta.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survei Kementerian Pangan dan Obat-obatan Korsel pada 2015, laki-laki di negeri itu menggunakan 13,3 produk kecantikan per bulannya dan 35,5 persen mulai menggunakan pelembab wajah sejak usia 20-an. Survei tersebut dilaporkan dalam Korean Innovation in Beauty pada 2016.
Dan setelah K-Pop serta K-Drama, gelombang Korean Wave yang selanjutnya diyakini adalah K-Beauty, untuk laki-laki maupun perempuan. Produk-produk kecantikan itu kini tak hanya menggunakan wanita sebagai brand ambassador-nya, tapi juga pria.
Pasar Produk Perawatan Pria (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan )
Pria tak lagi sekadar pemberi standar kecantikan. Mereka juga dikenai standar tampan atau menarik menurut pasar. Mereka tak hanya ditargetkan sebagai konsumen tempat kebugaran, tapi juga klinik kecantikan, untuk masuk ke dalamnya dan ikut ‘menikmati’ facial, peeling, bleaching, hingga sulam alis.
ADVERTISEMENT
Erick, yang mengidolakan K-Pop, misalnya telah menjajal berbagai jenis perawatan demi menunjang penampilannya. “Penampilan itu penting. Penampilan kita adalah presentasi diri kita,” kata dia.
Segala jenis perawatan itu bukan untuk memudarkan identitas maskulin dalam diri pria, melainkan sebagai fitur tambahan. Ia maskulin sekaligus metroseksual. Berotot sekaligus terawat. Karakteristik yang terkadang problematis.
Matthew Hall dalam bukunya Metrosexual Masculinity mengatakan, “Sejak tubuh laki-laki dipandang penting oleh masyarakat kapitalis, kita semakin dibukakan pintu untuk menunjukkan identitas diri melalui beragam konsumsi.”
Konsumsi itu mulai dari pakaian, tato, potongan rambut, dan kosmetik.
“Semua itu dipicu dan ditempatkan di tengah panggung oleh produsen yang mencari pasar baru dan melalui media visual (TV, media sosial) mereka menarik pasar baru.”
ADVERTISEMENT
===============
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.