Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
ADVERTISEMENT
Sebanyak 10 perusahaan teknologi besar bergabug untuk mendirikan perkumpulan Confidential Computing Consortium (CCC). Organisasi ini bakal diorganisir oleh Linux Foundation.
ADVERTISEMENT
Konsorsium ini didedikasikan untuk mendefinisikan dan mempercepat adopsi komputasi rahasia. Sejauh ini, anggotanya adalah Alibaba, ARM, Baidu, Google Cloud, IBM, Intel, Microsoft , Red Hat, Swisscom dan Tencent.
CTO Microsoft Azure, Mark Russinovich, menyatakan rencana ini adalah salah satu komitmen Microsoft untuk menjaga kerahasiaan data pengguna. Melalui komputasi rahasia, data pengguna akan selalu dienkripsi atau dibatasi pada siapa pun yang berniat untuk menggunakannya. Mark juga menjamin bahwa data tidak akan dapat diakses oleh vendor dan penyedia layanan cloud publik.
“Teknologi komputasi rahasia menawarkan peluang bagi organisasi untuk berkolaborasi dalam data set mereka tanpa memberikan akses ke data itu, untuk mendapatkan wawasan bersama dan berinovasi untuk kebaikan bersama,” tambah Mark.
Nantinya, Microsoft akan bekerja sama dengan sejumlah raksasa teknologi seperti Alibaba, ARM, Baidu, Google, IBM, Intel, Red Hat, Swisscom, dan Tencent, untuk membentuk konsorsium tersebut.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk melihat komitmen perusahaan teknologi dalam menjamin kerahasiaan data pengguna. Menjamin keamanan data penting karena data pengguna dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Meski demikian, seperti yang dilansir Endgadget, ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan oleh konsorsium keamanan data seperti CCC. Komitmen perusahaan untuk menjaga data pengguna mungkin dapat terganjal oleh negara.
Pada 2018, misalnya, GCHQ, Badan Intelijen Komunikasi di Inggris, memperkenalkan ‘ghost protocol’. Melalui protokol tersebut, negara dapat menyalin percakapan pengguna yang ada di aplikasi perpesanan pengguna. Konsekuensinya, kebijakan tersebut justru malah memudahkan hacker untuk meretas serta merusak kepercayaan publik terhadap keamanan data pengguna.