news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Akhir Tahun, Selandia Baru Akan Kenakan Pajak untuk Turis Asing

29 Juni 2019 11:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Queenstown, Selandia Baru Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Queenstown, Selandia Baru Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Setelah Jepang mengenakan pajak untuk turis, kini giliran Selandia Baru mengikuti di belakangnya. Ya, rencananya Negeri Kiwi itu akan mengenakan pajak untuk turis asing yang masuk ke negaranya pada akhir tahun 2019.
ADVERTISEMENT
Pajak yang dibebankan untuk turis asing ini dinamai Visitor Conservation and Tourism Levy (IVL). Turis diwajibkan untuk membayar 35 dolar New Zealand atau setara dengan Rp 331 rupiah.
Mereka yang wajib membayar adalah turis yang tinggal selama 12 bulan atau kurang di Selandia Baru. Namun, pajak tidak berlaku untuk penduduk Australia, anak-anak di bawah dua tahun, beberapa negara di Pasifik, serta awak kapal dan udara. Sementara untuk pembayaran dilakukan ketika pelancong mengajukan permohonan Electronic Travel Authority (ETA).
Port Hills, Christchurch, Selandia Baru. Foto: Shutter Stock
Pemerintah Selandia Baru ingin pajak digunakan secara bijak dan adil. 50 persen untuk keperluan konservasi dan 50 persen sisanya untuk pembangunan infrastruktur pariwisata.
“(Turis asing dapat) berkontribusi untuk infrastruktur yang mereka gunakan dan membantu melindungi lingkungan alam yang mereka nikmati," tulis situs web pemerintah Selandia Baru, seperti dikutip dari Independent.
ADVERTISEMENT
“Proyek-proyek yang didanai oleh IVL akan berkontribusi pada keberlanjutan jangka panjang pariwisata dengan melindungi dan meningkatkan lingkungan alam kita, menjunjung tinggi reputasi Selandia Baru sebagai pengalaman kelas dunia dan memperbaiki infrastruktur pariwisata,” ungkap Menteri Pariwisata Selandia Baru, Kelvin Davis, menurut The Points Guy.
Pure Pod, Selandia Baru. Foto: Tourism New Zealand
Lonjakan kunjungan turis dalam empat tahun terakhir membuat perekonomian Selandia Baru tumbuh. Tapi di sisi lain, membuat infrastrukturnya ‘berantakan’, overtourism, serta membuat penduduk mengeluh tentang kondisi lingkungan dan masalah sampah.
Menurutmu, apakah peraturan ini bisa diterapkan di Indonesia?