Ciptagelar, Kampung Adat di Sukabumi yang Teguh Memegang Tradisi

10 September 2018 16:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kampung Kasepuhan Ciptagelar Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Kampung Kasepuhan Ciptagelar Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sebuah kampung adat bernama Ciptagelar di Sukabumi, Jawa Barat masih memegang erat tradisinya hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Masyarakat hukum adat ini tinggal di sebuah desa yang berada di kawasan pedalaman Gunung Halimun-Salak yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun dan Gunung Salak yang bernama Kampung Gede Kasepuhan Cipta Gelar dan dikelilingi oleh gunung lainnya seperti Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.
Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Wilayahnya meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi.
Berdiri sejak tahun 1368, kampung yang berada di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut ini memiliki suhu berkisar 20 - 26 derajat celcius, ini masih memegang kuat adat dan ajaran leluhur seperti ciri khas lokasi, bentuk rumah, serta tradisi yang masih dijalankan oleh penduduknya.
Seren Taun Ciptagelar (Foto: Jhony Hutapea)
Disebut kasepuhan karena desa ini memiliki model kepemimpinan yang berasal dari adat dan kebiasaan orang tua atau sesepuh.
ADVERTISEMENT
Kata kasepuhan sendiri berasal dari kata sepuh dengan awalan 'ka-' dan akhiran '-an' yang dalam bahasa Sunda berarti 'kolot' atau 'tua'. Secara harafiah, kasepuhan dapat diartikan sebagai tempat tinggal sesepuh atau mereka yang dituakan.
Ciptagelar (Foto: Flickr/Frino Barus)
Kasepuhan Ciptagelar tersebar di tiga kabupaten yang berada di sekitar wilayah perbatasan Provinsi Banten dan Jawa Barat.
Kasepuhan ini telah mengalami beberapa kali perpindahan desa pusat pemerintahan yang disebut Kampung Gede karena masih menjalankan tradisi berpindah tempat berdasarkan perintah leluhur (wangsit) yang diterima para leluhur (karuhun).
Ciptagelar (Foto: Flickr/Erwin Gumilar)
Wangsit tersebut akan diperoleh pemimpin desa Ciptagelar setelah melalui proses ritual dan hasilnya harus dilakukan. Itu sebabnya rumah warga di Ciptagelar merupakan bangunan tidak permanen. Rumah di masyarakat terbuat dari kayu dilapisi bilik bambu dan beratapkan pelepah aren yang dikeringkan.
ADVERTISEMENT
Warga di kampung ini mayoritas bekerja sebagai petani, khususnya yang tinggal di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Sebagian kecilnya berprofesi sebagai pedagang, peternak, buruh, dan pegawai.
Tradisi Ciptagelar Geopark (Foto: Flickr @Frino Barus)
Dalam mengolah tanah, warga Kasepuhan Ciptagelar melakukan cara dan sistem pertanian secara tradisional.
Menanam padi setahun sekali secara serentak dengan melihat tanda-tanda astronomi, tidak menggunakan pupuk kimia, traktor, gilingan padi, hingga dilarang menjual beras atau padi. Hal ini membuat Kasepuhan Ciptagelar mampu berswasembada pangan hingga beberapa tahun kedepan.
Meski masyarakat di kasepuhan ini memegang teguh dan menjaga adat istiadat para leluhur, mereka tetap menikmati kemajuan teknologi. Teknologi dianggap sebagai tatanan di lingkungan masyarakat.
Ciptagelar (Foto: Flickr/Adrian Crapciu)
Masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar percaya manusia bertugas untuk menjaga dan memelihara keseimbangan alam, karena keteraturan dan keseimbangan alam semesta merupakan sesuatu yang mutlak. Adanya malapetaka atau bencana adalah akibat keseimbangan dan keteraturan alam yang terganggu.
ADVERTISEMENT
Eksistensi desa adat Kesepuhan Ciptagelar, Sukabumi telah dikenal secara luas oleh masyarakat Jawa Barat. Terutama karena tradisi bertani seperti ngaseuk, mipit, nutu, nganyaran, dan ponggokan yang diakhiri serentaun. Serentaun menjadi puncak acara kegiatan ritual penanaman padi di setiap tahunnya.
Lebih lanjut, pada rangkaian acara ini dihadirkan pula kesenian seperti seni Jipeng, Topeng, Angklung Buhun, Wayang Golek, Ujungan, Debus, dan Pantun Buhun.