Gunung Ungaran dan Sarung Tangan Pemicu Roman

5 Maret 2017 12:39 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana pagi hari di desa. (Foto: Muhammad Naufal/Kumparan)
Terasa ada yang mengganjal. Sebuah fenomena biologis membuatku terpaksa bangun di waktu subuh.
ADVERTISEMENT
Angin pedesaan membuat badan ini gemetar. Sebatang rokok lokal yang diberikan Pak Kades semalam pun terasa hambar. Bibir dan lidahku seakan beku.
Sambil duduk di teras rumah joglo, tempatku dan teman-teman menginap selama dua bulan dalam rangka mengerjakan proyek sosial yang diberikan sebuah perusahaan energi, aku merasai udara dingin ini.
Jarang-jarang aku bisa merasakan atmosfer sejuk pedesaan seperti ini meski tubuhku sesungguhnya mengajak mencari kehangatan.
Rumah Joglo (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Di saat aku mulai asyik menikmati suasana, Mbah Sejuk berjalan di depanku dan mengajakku menyisir hama di sawah.
Mbah Sejuk merupakan pemilik rumah tempatku menginap. Beliau, seperti namanya, sering memberi nasehat dan cerita-cerita yang menyejukkan batin.
Serupa namanya pula, sikap si Mbah pun menyejukkan. Beliau tak pernah marah meski kami yang masih muda ini sering berulah nakal dan “aneh-aneh”.
ADVERTISEMENT
Aku akhirnya mengikuti Mbah Sejuk menyisir sawah sembari kami saling bertukar cerita.
Kesibukan petani di sawah. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Dalam perjalanan kembali ke rumah, Mbah Sejuk bertanya, “Hari terakhir ya? Sedih ndak Mas pisah sama mbak yang ayu?”
Aku sontak kaget dan bertanya-tanya dalam hati, apakah Mbah Sejuk tahu tentang perasaanku terhadap seorang gadis, rekan kerjaku di proyek sosial ini?
Anggap saja gadis itu bernama Chelsea, karena ia sering mengenakan jaket dan jersey tim sepak bola asal Inggris itu, meski sebenarnya ia tak suka menonton bola.
Selama ini aku memang sering bersikap aneh setiap bertemu Chelsea. Sikap anehku ini dimulai setelah secara diam-diam aku menitipkan bunga kertas yang kubuat sendiri kepada seorang teman perempuan lain yang menginap satu rumah dengan Chelsea di desa ini, untuk diberikan kepadanya.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang kutitipi itu juga bagian dari tim proyek sosial ini. Ia bernama Laras. Dia telah kuminta untuk menyembunyikan indentitasku sebagai pemberi.
Dalam proyek sosial ini, personel yang terlibat berjumlah 8 orang, terdiri dari 5 laki-laki dan 3 perempuan. Nilai-nilai yang berlaku di desa ini membuat tempat menginap antara perempuan dan laki-laki dipisah, meski rumah warga tempat kami menumpang hanya dipisahkan oleh sebuah jalan utama desa yang berbatu.
Suasana di pedesaan. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Pasca-pemberian terselubungku itu, aku kerap menghindar atau mencoba untuk duduk jauh dari Chelsea. Seakan sebuah refleks karena takut dia bertanya perihal bunga kertas dari pemberi anonim itu.
Jam menunjukkan pukul 8 pagi. Seluruh tim berkumpul di rumah kepala desa untuk sarapan terakhir di desa ini. Ya, ucapan Mbah Sejuk tadi pagi adalah kenyataan: hari ini ialah hari terakhir proyek sosial kami di desa ini.
ADVERTISEMENT
Saking menikmati waktu di sini bersama-nya, aku sampai lupa inilah hari terakhir proyek sosial kami di desa yang terletak di lereng Gunung Ungaran, Semarang, Jawa Tengah.
Saat sarapan terakhir di rumah kepala desa ini, Laras tiba-tiba mendekatiku dan menceritakan sesuatu tentang Chelsea yang membuat hatiku berdebar.
Ya, tadi malam Chelsea bercerita kepada Laras bahwa ia menyimpan perasaan kepadaku. Namun Laras tidak diberitahu tentang perasaan apa yang dimaksud sehingga membuatku bertanya-tanya.
Setelah menyantap tahu gimbal yang disediakan kepala desa, tim kami pun berpamitan dengan kepala desa dan sejumlah warga, termasuk Mbah Sejuk.
Air mata sempat menghiasi perpisahan itu, namun begitulah kehidupan, tiap ada pertemuan pasti ada perpisahan.
Akhirnya aku dan teman-teman pulang ke daerah masing-masing. Ada yang yang ke Solo, Temanggung, atau Demak. Sementara aku, Laras, dan Chelsea kembali ke Semarang.
ADVERTISEMENT
Di perjalanan pulang, aku terkejut kala Chelsea meminta untuk menumpang motorku. Sebab pada perjalanan awal proyek, ia selalu bermotor bersama Laras.
Maka sepanjang perjalanan pulang, aku dan Chelsea berdiam diri. Aku sendiri bingung apa maksud semua ini.
Setelah dua jam perjalanan, aku sampai di rumah Chelsea. Kami saling berpamitan seakan tak ada hal istimewa.
Sedih rasanya, namun untungnya pada akhir pekannya tim proyek sosial kami berencana melakukan pendakian bersama sebagai farewell party sederhana.
Kami memutuskan untuk mendaki gunung yang menghiasi hari kami sepanjang proyek sosial kemarin berlangsung: Gunung Ungaran.
Pemandangan Gunung Ungaran dari Desa Promasan. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Sekali lagi, dalam perjalanan ke basecamp pendakian nanti, Chelsea bilang ingin menumpang motorku.
Hari pendakian pun tiba. Kami semua akan bertemu di basecamp pendakian Gunung Ungaran yang diberi nama “Mawar” --nama yang sering digunakan sebagai nama samaran dalam sebuah cerita atau artikel bersama kata “Fulan” dan “Bunga”.
ADVERTISEMENT
Daerah di bawah basecamp, menurut cerita warga sekitar, sekitar 10 tahun lalu dipenuhi oleh rangkaian bunga mawar. Namun semenjak adanya pembangunan vila dan penebangan pohon sekitar, mawar itu sulit ditemui.
Aku menjemput Chelsea tepat jam 5 sore, dan dalam perjalanan menuju Mawar, kami kembali berdiam diri.
Sesampainya di basecamp, tim proyek sosial yang kami namakan “sejuk” akhirnya bertemu kembali. Karena di antara anggota tim aku paling sering mendaki gunung setinggi 2.050 mdpl ini, maka aku memimpin pendakian.
Pukul 7 malam Tim Sejuk pun berangkat. Kami melewati sejumlah tenda yang digunakan pengunjung untuk sekedar menikmati indahnya pemandangan malam dari basecamp Mawar.
Chelsea yang semula diposisikan di tengah, tiba-tiba berlari girang menyalip teman-teman lain dan menjadi orang pertama di belakangku.
ADVERTISEMENT
Selama aku mengenalnya, Chelsea memang sosok yang ceria dan tidak bisa diam, baik dari ucapan hingga tingkahnya.
Perjalanan menuju Pos 1 melewati trek tanah yang cukup lebar dan tidak terlalu menanjak.
Karena Chelsea tidak membawa senter dan headlamp, aku memutuskan memegang headlamp-ku untuk sesekali menerangi jalan yang akan dilangkahi Chelsea.
Sementara satu tanganku memegang headlamp, satu tangan lagi menenteng tas tenda yang cukup berat sehingga pendakianku di Ungaran terasa lebih berat dari sebelumnya.
Sesampainya di Pos 1 Bedengan, Tim Sejuk beristirahat sejenak. Aku yang memilih posisi duduk sedikit ke atas, menyendiri, tiba-tiba dihampiri Chelsea yang menawariku sepotong roti cokelat.
Tapi entah kenapa aku dengan dingin menolaknya. Mungkin hatiku mulai menyadari sesuatu yang selama ini salah aku lakukan.
ADVERTISEMENT
Setelah beristirahat 15 menit, Tim Sejuk melanjutkan perjalanan ke Pos 2.
Trek yang mulai memasuki kawasan hutan dengan jalan menyempit, membuatku sebagai pemimpin pendakian memperlambat langkah. Terlebih, tanah lembab dan jurang curam di kanan jalan sangat membahayakan apabila pendaki tak berhati-hati di kondisi gelap ini.
Tim Sejuk kemudian melewati sungai kecil. Di sini pada siang hari, akan terlihat air terjun yang bisa menjadi pelepas lara. Namun setelahnya, trek cukup licin dan menanjak sehingga tim kami harus berhati-hati
Setelah setengah jam perjalanan, Tim Sejuk tiba di Pos 2. Di pos ini Chelsea kembali menawariku makanan yang sekali lagi kutolak dengan dingin.
Tim Sejuk yang mulai mengantuk, melanjutkan perjalanan menuju sebuah pos yang sering disebut Pos Kolam Renang. Disebut demikian karena di pos itu terdapat shelter tertutup yang bersebelahan dengan sebuah kolam penampungan air yang seperti kolam renang.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan menuju pos tersebut, angota tim mulai bertanya tentang kapan kami akan sampai ke Pos Kebun Teh tempat tim bakal mendirikan tenda. Chelsea pun sering bertanya kepadaku --yang tetap kutanggapi dengan dingin.
Di Pos Kolam Renang, Tim Sejuk hanya beristirahat sejenak sembari mengisi botol minum dari air bak yang ada di sekitar pos tersebut.
Setelah melanjutkan perjalanan melewati trek bebatuan yang dibangun warga sekitar, Tim Sejuk akhirnya sampai ke kebun teh yang berada tepat di persimpangan jalur menuju ke puncak dan Desa Promasan.
Di sana, kami mendirikan dua buah tenda yang masing-masing berisikan 4 orang. Temanku yang bernama Garang “beruntung” karena menang adu gambreng untuk menjadi satu-satunya pria di tenda perempuan bersama Laras, Chelsea, dan Senja.
Ilustrasi Camping. (Foto: Pixabay)
Setelah mendirikan tenda, kami duduk melingkar dan menikmati hidangan makan malam berupa nasi kornet yang dimasak menggunakan kompor lapangan.
ADVERTISEMENT
Sementara anggota lain makan, aku mengikuti keinginan hatiku untuk duduk menyendiri sambil menikmati batang demi batang tembakau lokal ditemani segelas kopi susu.
Teman-teman terus merayuku untuk makan, tapi aku hanya ingin menyendiri.
Akhirnya aku masuk ke tenda karena angin malam pegunungan yang mulai kencang berembus. Di dalam tenda, teman-temanku sudah mem-booking posisi nyaman untuk tidur.
Baru satu jam tidur, tiba-tiba terdengar suara-suara riuh di tenda perempuan. Kami tersentak, jangan-jangan temanku si Garang khilaf di sana.
Namun setelah aku memeriksa tenda perempuan, keriuhan ternyata disebabkan kondisi Chelsea yang menggigil. Teman-temannya di tenda mencoba menghangatkan subu tubuh Chelsea, termasuk si Garang yang seakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Setelah aku amati, Chelsea ternyata tidak mengenakan sarung tangan. Memang, tak memakai sarung tangan tak akan terlalu terasa sepanjang pendakian, namun tangan akan langsung berasa beku ketika kita tidur dan berdiam diri.
ADVERTISEMENT
Aku kemudian melepas sarung tanganku dan melemparkannya ke arah Chelsea --dan mengenai mukanya.
Setelah sempat menolak memakai sarung tangan itu, Chelsea akhirnya menggunakannya juga.
Meski aku pun kedinginan, aku lega Chelsea sudah mulai bisa menghangatkan diri dan tidur dengan tenang.
Langit di saat dini hari di Gunung Ungaran. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Semua anggota tim tertidur hingga pukul 4.30 pagi.
Chelsea yang bangun paling akhir, terlihat lebih segar dan mulai tidak bisa diam seperti biasanya.
Aku pun kembali memimpin pendakian menuju puncak atau summit attack. Chelsea kembali berada tepat di belakangku dan terlihat sangat bersemangat, membuatku sedikit tersenyum.
Sarung tangan yang aku berikan padanya pun masih ia pakai dengan ceria sehingga aku tak memintanya dikembalikan.
Kami melalui perjalanan menanjak. Bebatuan besar membuat kami mengerahkan upaya ekstra.
ADVERTISEMENT
Di sela perjalanan, aku tergoda untuk mengungkapkan perasaan cinta kepada Chelsea.
Gunung Ungaran (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku sengaja melangkah lebih cepat agar Chelsea --yang terlihat lebih bersemangat dibanding teman-teman lain --bisa sedikit berdua denganku.
Ketika momen itu datang dan bibirku mulai memosisikan diri untuk berbicara, Chelsea tiba-tiba bertanya, “Kamu yang waktu itu kasih bunga kertas itu kan?”
Aku terdiam kebingungan, namun akhirnya menganggukkan kepala.
Chelsea kemudian tersenyum.
Aku mengambil momen itu untuk mengungkapkan perasaanku sembari memandang matanya yang sebelum itu tak berani kulakukan.
Setelah aku mengatakan kata “sakral” itu, suasana hening sesaat. Perasaanku campur aduk.
Aku menoleh ke belakang dan melihat matahari mulai menampakkan diri. Chelsea pun memecah hening dan berkata, “Yuk buruan muncak biar foto-fotonya bagus!”
Gunung Ungaran (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku pun mempersilahkannya untuk menapaki puncak lebih dulu, yang sudah terlihat dari tempat bersejarahku ini.
ADVERTISEMENT
Pada momen sunrise itu, aku hanya ingin duduk di tengah padang rumput dan mencoba memahami respons Chelsea saat aku mengungkapkan perasaan tadi.
Setelah hatiku terasa tenang, aku bersama anggota tim lain yang sudah terlihat menyusul di belakangku, kembali berjalan menuju puncak.
Di puncak Ungaran, Chelsea terlihat ayik mengabadikan momen yang pertama kali ia rasakan. Sesekali ia mencoba mengambil gambarku yang enggan menoleh ke arah kameranya.
Seorang pendaki beristirahat di puncak Ungaran. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku senang melihatnya bahagia, meski beban hati ini seakan bertambah.
Setelah puas menikmati puncak, tim kami memulai perjalanan turun. Kali ini aku memutuskan untuk berada paling belakang.
ADVERTISEMENT
Satu per satu temanku menuruni puncak. Sementara aku menunggu sejenak di puncak.
Namun sesaat kemudian, Chelsea berteriak mengajakku turun.
Melihat awan mulai menitikkan air, aku pun mulai turun dan lagi-lagi Chelsea menemaniku.
Perjalanan turun terasa cukup berat karena trek yang licin akibat gerimis hujan yang sesaat sempat mengguyur.
Chelsea pun sempat terpeleset beberapa kali sehingga aku memutuskan untuk menggandengnya dan menunjukkan trek yang sebaiknya ia lewati, langkah demi langkah.
Padang rumput sebelum puncak Gunung Ungaran. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Meski sudah kubantu, tetap saja Chelsea terpeleset. Namun kami berdua terus bertukar tawa tiap kali momen terpeleset itu terjadi.
Karena tak ada perubahan dan dia terus terpeleset, aku memutuskan untuk menukar sandalku --yang lebih baik grip-nya-- dengan sandal gunung Chelsea yang lapisan bawahnya sudah botak.
ADVERTISEMENT
Ia sempat menolak, dan ketika telah mengiyakan pun ia kesulitan memasang sandalku itu pada kakinya.
Aku pun memasangkan sandal itu untuknya dan sesaat kami saling memandang.
Aku melihat ada yang berbeda pada bola matanya yang terlihat berkaca-kaca. Aku tak tahu apa artinya dan hanya menduga-duga.
Setelah sampai di kebun teh dan merapikan tenda dan peralatan lainnya, tim kami berjalan turun kembali ke basecamp.
Kebun teh Gunung Ungaran. (Foto: Muhammad Naufal/kumparan)
Aku berjalan di belakang bersama Chelsea --yang hingga kini aku tak memahami tingkahnya yang selalu mencoba berada di dekatku.
Setelah dua jam berjalan, basecamp Mawar mulai terlihat. Aku dan Chelsea beradu cepat untuk sampai di basecamp mawar. Memalukan, Chelsea yang menang.
Di basecamp Mawar, Tim Sejuk berkumpul di sebuah warung penduduk, bernostalgia tentang pengalaman bersama kami saat mengerjakan proyek sosial, sembari menikmati camilan gorengan dan es teh.
ADVERTISEMENT
Setelah satu jam lebih bernostalgia, Tim Sejuk akhirnya kembali berpisah, dan entah kapan tim ini akan berkumpul lagi di tengah kesibukan dan jarak yang memisahkan para anggotanya.
Perjalanan pulang bersama Chelsea ketika itu terasa berbeda. Kami tak habisnya bercanda tawa.
Setibanya di depan rumah Chelsea, aku pun bertanya pada Chelsea tentang kabar bunga kertas yang kuberikan kepadanya.
Ia berkata, “Aku taruh di meja kamarku, bagus soalnya, lucu.”
Setelah itu aku mencoba pamit saat ia memintaku menunggu sebentar lagi.
Pada momen itu, aku merasa tak kuasa menahan lagi air mata, karena aku tahu hari ini adalah hari terakhirku dapat sedekat ini dengannya. Memberi perhatian padanya layaknya seorang kekasih.
Padahal aku tahu sejak awal aku memberikan bunga kertas itu kepadanya, perjuanganku ini pada akhirnya akan berujung air mata.
ADVERTISEMENT
Aku memacu motorku meninggalkan rumah Chelsea sebelum air mataku mengalir dan terlihat olehnya.
***
Senjak hari itu, tiap kali Chelsea mencoba mengontakku dan mengajak bertemu untuk mengembalikan sarung tangan yang kuberikan padanya saat pendakian, ia selalu kudiamkan.
Semenjak hari itu pula, tiap kali ada reuni Tim Sejuk, aku tak pernah hadir karena tak ingin bertemu dengannya.
Dengannya yang sesungguhnya telah memiliki....
Ikuti selengkapnya rangkaian kisah Catatan Pendaki di sini