Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
"Traveling adalah saat kita menghabiskan banyak uang, namun justru membuat kita semakin kaya."
ADVERTISEMENT
Maksud pepatah yang tertulis di atas bukanlah kaya dalam bentuk materi seperti uang atau barang. Lebih dari itu, kekayaan yang diperoleh sebagai imbal dari sebuah perjalanan adalah kebahagian hati dan psikologis. Sebab, traveling dipercaya membuat orang jadi semakin bahagia.
Tak heran, apapun konsep travelingnya, aktivitas ini seolah jadi candu, terlebih bagi generasi milenial. Mulai dari traveling ala koper atau pun traveling murah ala backpacker, kedua konsep ini punya pengabdi setianya masing-masing.
Bahkan, traveling sendirian dengan smartphone pun jadi opsi. Tidak jadi masalah, meskipun travelmate mereka hanya berupa sebuah smartphone, yang penting: gue traveling. Justru, bagi sebagian traveler, liburan dengan gaya seperti ini adalah konsep yang paling cocok bagi mereka.
Definisi kebahagiaan pun berubah. Bagi para penganut fanatik Mobilemoon, definisi bahagia adalah liburan yang enggak ngajak teman dan cuma berbekal smartphone jadi bisa bebas kemana aja. Happy banget!
ADVERTISEMENT
Alasannya beragam, kebanyakan tak jauh-jauh dari kepentingan hati: enggak ribet dan me time. Para traveler percaya bahwa meski hanya berkawan smartphone, namun Mobilemoon bisa memberikan kepuasan batin yang mereka cari selama ini.
Patricia Diah Ayu Saraswati, karyawati swasta yang hobi traveling , mengaku awal mula traveling sendiri hanya mengandalkan smartphone karena ia penasaran, ingin punya pengalaman yang tak biasa.
“Lebih mencari ‘me time’. Enggak ribet yang jelas. Aku tahu aku mau apa. Aku tahu aku harus gimana,” cerita perempuan yang akrab disapa Diaz ini kepada kumparan.
Menurutnya, konsep liburan ini membuatnya punya waktu untuk dirinya sendiri. Lebih dari itu, Diaz ini merasa liburannya justru lebih berkesan, karena tidak ada tekanan dari siapapun.
Sayangnya, cara traveler mencari kebahagian lewat Mobilemoon ini dinilai sedikit menyimpang. Pakar psikolog pendidikan, Rose Mini Agoes Salim atau yang akrab disapa Bunda Romi, mengatakan konsep jalan-jalan sendirian hanya mengandalkan smartphone justru akan berdampak negatif bagi psikologis seseorang.
ADVERTISEMENT
“Saya melihatnya dari sisi perkembangan seseorang, remaja terutama, itu masih membutuhkan pengalaman hidup. Jadi sebaiknya tidak melakukan Mobilemoon. Boleh tapi jangan terlalu sering, karena untuk belajar berinteraksi dengan orang itu harus nyata,” ujarnya saat dihubungi kumparan beberapa waktu lalu.
Romi menilai, ketika seseorang jalan-jalan di suatu tempat seorang diri dan hanya mengandalkan smartphone, berarti orang tersebut akan minim melakukan interaksi.
Ketika kesasar, alih-alih tanya pada orang lain, pelaku Mobilemoon memilih buka Google Maps atau Waze. Atau ketika tidak tahu mau makan di mana, para pelaku Mobilemoon cukup mencari lewat internet atau aplikasi lain.
Romi tidak menampik bahwa hal-hal tersebut memudahkan orang untuk melakukan aktivitasnya, termasuk dalam traveling. Tapi dalam Mobilemoon, keuntungan dari hadirnya smartphone dan internet tidak sebanding dengan hilangnya kesempatan seseorang untuk berinteraksi dengan sesamanya.
ADVERTISEMENT
Padahal, kemampuan seseorang berinteraksi dengan orang lain akan sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan menurut Romi, keberhasilan orang di dalam dunia kerja juga berbanding lurus dengan kemampuan berinteraksi. Termasuk di dalamnya hubungan interpersonal dan intrapersonal.
“Kalau misalnya hanya di handphone aja dia enggak perlu percaya diri, kan? Karena enggak ada yang lihat. Jadi dari segi moral, itu enggak terlatih,” jelasnya.
Romi juga tak setuju dengan anggapan bahwa solo traveling dengan smartphone membuat liburan jadi enggak ribet. Seolah-olah, dengan pergi sendiri, seseorang bisa merasa bebas tanpa tekanan. Dengan Mobilemoon, seseorang juga tak perlu capek-capek komproni ini-itu bersama teman. Liburan pun diklaim makin menyenangkan.
Padahal menurut Romi, tanpa disadari di balik anggapan traveling hanya dengan smartphone antiribet, ada sisi humanis seseorang yang justru mati rasa.
ADVERTISEMENT
“Karena dia enggak mau berempati dengan orang. Karena kalau ngajak teman berarti belajar empati, kan. Kayak misalnya harus nungguin temannya belum selesai mandi, temannya lelet, tapi kan dia mengasah empatinya. Kalau dia sendiri, dia enggak peduli dengan orang lain. Nanti empatinya enggak terasa,” ujar Romi.
Sebaliknya, menurut Romi, orang yang melakukan traveling dengan teman-temannya berarti ia sekaligus belajar banyak hal. Seperti belajar menghormati, menghargai, kebaikan hati, yaitu semua hal yang merupakan komponen wajib dalam perkembangan moral seseorang.
Meski demikian, Romi menggarisbawahi bahwa Mobilemoon bukan berarti kegiatan yang tidak boleh dilakukan sama sekali.
“Bukan tidak boleh, tapi bukan bagian yang harus jadi gaya hidup dan harus seperti itu terus,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Romi juga mengamini bahwa setiap orang butuh waktu khusus untuk dirinya sendiri alias me time. Beberapa traveler juga menganggap jalan-jalan sendirian hanya ditemani smartphone sebagai ajang me time yang penting.
Digital Content Creator sekaligus travel blogger, Dimas Ramadhan misalnya. Ia mengakui bahwa Mobilemoon bukan lagi sekadar keinginan, namun kebutuhan, salah satunya untuk me time.
“Kadang Mobilemoon ini butuh banget karena buat experience sendiri sama buat self-healing. Jadi gue butuh me time gitu istilahnya, enggak ada teman-teman lain,” ujar Dimas.
Kebutuhan yang diutarakan Dimas tersebut menurut Romi memang menjadi satu hal yang cukup esensial.
“Iya, me time perlu, untuk recharge baterai. Untuk bisa mengevaluasi diri, untuk terbebas dari tekanan atau yang diharapkan lingkungan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Namun, sekali lagi Romi menegaskan, pentingnya me time tidak berarti harus meniadakan manusia lainnya.
Ada juga pendapat lain yang datang dari Alexandra Gabriella, pakar psikolog klinis. Dirinya setuju bahwa Mobilemoon punya sisi positif. Menurut Alexandra, seseorang yang melakukan Mobilemoon, berarti ia bisa keluar sejenak dari kejenuhan rutinitas dan kesibukan.
Kadang bagi seseorang yang terlalu sibuk, jangan kan untuk me time, waktu tidur saja kadang masih kurang. Sehingga salah satu solusinya, yaitu Mobilemoon, traveling sendirian. Selain untuk refreshing, traveling sendirian juga memberikan kesan seolah seseorang benar-benar tengah berpetualang.
“Efek positifnya, jelas dia bisa merasa lebih bebas dari tekanan. Momen me time ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan psikologis kita,” ujarnya.
Dengan Mobilemoon, seseorang bisa punya kesempatan lebih besar untuk belajar banyak hal, seperti belajar budaya baru, bahasa baru, dan bertemu dengan orang-orang baru. Menurut Alexandra, terkadang hal-hal tersebut jika dilakukan bersama teman, esensinya justru berkurang.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, kesempatan untuk belajar hal-hal baru tersebut juga bisa dirasa sebagai suatu achievement, yaitu untuk mengembangkan diri melalui proses adaptasi dan bertambahnya wawasan.
Hal inilah yang juga dialami Dimas. Menurutnya saat traveling bersama teman, terkadang mereka lebih sering menggerombol, sehingga kesempatan untuk cari teman baru justru tidak ada. Sedangkan dengan Mobilemoon, Dimas mengaku bisa mendapatkan momen tersebut.
“Gue selalu memilih nginep di hostel daripada hotel, karena di hostel kan banyak backpacker travel. Jadi, di sana gue ketemu terus bincang-bincang, malah jadi dapat banyak teman,” ujarnya.
Kala Interaksi Tetap Jadi Poin Penting
Pakar Antropologi UI, Jajang Gunawijaya pun turut mengutarakan pandangannya akan Mobilemoon. Kepada kumparan, ia menerangkan bahwa kebutuhan seseorang untuk tetap berinteraksi dengan manusia lain tidak bisa dihilangkan. Apalagi masyarakat Indonesia dengan budaya guyubnya yang masih sangat kental.
ADVERTISEMENT
“Karena dalam budaya Indonesia, guyub dan kekeluargaan itu masih nomor satu. Makanya family trip masih tetap mendominasi ketimbang Mobilemoon,” ujar Jajang.
Untuk itulah, Jajang menolak jika Mobilemoon disebut sebagai tren. Menurutnya, aktivitas ini masih sebatas fenomena.
Jajang menjelaskan fenomena ini sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun silam. Saat itu ada orang-orang tertentu yang disebut sebagai pengembara. Mereka membekali dirinya dengan ilmu bela diri, berpetualang dari satu tempat ke tempat lain, seorang diri.
Persamaan pengembara dengan Mobilemoon yang terjadi saat ini adalah sama-sama hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat. Pelakunya masih minoritas.
“Makanya belum menjadi tren. Karena hanya orang tertentu yang sudah melakukan Mobilemoon,” ujarnya.
Sedangkan untuk perbedaanya, tentu saja terletak pada kehadiran teknologi dan internet. Pengembara di zaman dulu hanya mengenal konsep go show, alias perjalanan tak terencana. Jika ada tempat untuk mampir, maka pengembara pun singgah untuk menumpang bermalam.
ADVERTISEMENT
Sedangkan kini dengan kehadiran teknologi, sebuah perjalanan bisa lebih terencana. Meskipun hanya melakukan perjalanan seorang diri alias Mobilemoon, namun segala kebutuhan bisa disiapkan dengan detail.
Untuk itu, Jajang juga percaya bahwa sejatinya fenomena ini punya sisi positif. Sebab, kemudahan yang ditawarkan smartphone dan internet mendorong orang juga menjadi lebih mudah melakukan perjalanan.
Dengan adanya sisi negatif dan positif ini, traveler yang hobi Mobilemoon juga diimbau untuk lebih bijak dalam menentukan aktivitasnya. Tak bisa dipungkiri, Mobilemoon sangat seru karena kamu bisa bebas pergi ke mana pun kamu mau.
Namun, meski kamu tidak mengajak teman dan lebih mengandalkan smartphone saat traveling , kamu tetap bisa berinteraksi dengan orang sekitar. Sehingga kesempatan untuk berinteraksi, bersosialisasi, mengasah kemampuan berkomunikasi dan belajar hal baru tetap terbuka lebar.
ADVERTISEMENT
So, selamat ber-Mobilemoon, selamat me time, dan selamat berbahagia. Cheers!