Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Melihat dari Dekat Upacara Kematian Rambu Solo
17 Februari 2019 12:05 WIB
Diperbarui 14 April 2019 13:19 WIB
Melalui upacara pemakaman, suku Toraja membalas cinta pada leluhur dan berbagi berkat pada sesama.
ADVERTISEMENT
Harta paling berharga adalah keluarga. Bagi suku Toraja di Sulawesi Selatan, rasa cinta pada keluarga dan leluhur salah satunya mewujud melalui tradisi pemakaman Rambu Solo yang tak jarang berlangsung megah dan menghabiskan waktu berhari-hari.
ADVERTISEMENT
Selama enam hari, 16-22 Januari 2019, kumparanTRAVEL terbang ke Sanggalangi, Toraja Utara, untuk mengikuti prosesi Rambu Solo. Dari dekat, terlihat betapa dalam makna yang tersimpan pada keseluruhan seremoni.
Rambu Solo kali ini diadakan di kawasan Tongkonan (rumah adat Toraja) yang menjadi kediaman lintas generasi. Sebelum acara dimulai, kumparanTRAVEL dan tamu-tamu lain dipersilakan duduk di salah satu lantang (pondok bambu) yang dipersiapkan jauh hari sebelumnya, sejak Agustus 2018.
Lantang-lantang didirikan di sekeliling lapangan dan mampu memuat ratusan orang. Bagian depan pondok dirancang untuk tempat duduk para tamu sehingga menghadap langsung ke lapangan. Sementara bagian tengah pondok disekat untuk memberi ruang di bagian belakang yang dapat digunakan sebagai tempat tidur atau tempat rehat bagi tamu yang lelah karena datang dari jauh.
ADVERTISEMENT
Pondok bambu itu memang dibuat khusus untuk perayaan Rambu Solo. Menurut Yefta Salamba Pabisangan, anak kelima mendiang Thomas Kinda Pabisangan—yang untuknyalah Rambu Solo ini berlangsung, pondok tersebut dibangun dengan bantuan tenaga dan material masyarakat desa.
Sajian Penganan
Selama prosesi Rambu Solo berjalan, seluruh anggota keluarga besar dan tamu-tamu yang hadir dijamu makanan berlimpah, mulai sirih, pinang, kopi, teh, kudapan, hingga makanan berat lengkap tiga kali sehari, dari pagi sampai malam hari. Tak ketinggalan, rokok selalu tersedia.
Kala malam menjelang, keluarga akan mengeluarkan ragam minuman. Selain teh dan kopi yang juga disuguhkan pagi-siang hari, ada pula bir dan ballo—sejenis tuak khas Toraja yang disajikan dalam potongan batang bambu. Segala minuman itu hadir sebagai pelengkap jamuan makan malam.
ADVERTISEMENT
Konsumsi berlimpah ini bahkan sudah tersedia sebelum Rambu Solo berlangsung. Sepanjang masa persiapan sejak tahun sebelumnya, seperti ketika masyarakat desa mendirikan pondok, keluarga telah menjamu mereka.
Penyambutan Tamu
Rangkaian acara Rambu Solo termasuk pula prosesi penyambutan tamu. Di sini, keluarga besar sebagai penyelenggara acara mengenakan baju seragam putih. Ini warna yang jadi penanda bahwa mereka keturunan bangsawan. Kebetulan mendiang Thomas Kinda Pabisangan ialah pemangku adat. Ia berada di kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat Toraja.
Meski berwarna putih, baju itu sudah tentu tak dibuat dari sembarang bahan. Harga kain dan biaya jahitnya tak sedikit. Apalagi mendiang Thomas memiliki empat istri, sembilan anak, dan 17 cucu. Itu belum termasuk saudara-saudari seibu dan seayah.
Tarian Kematian
ADVERTISEMENT
Salah satu bagian unik dalam Rambu Solo adalah tarian kematian Ma’badong yang dibawakan oleh sekelompok orang yang berbaju dan bertopi hitam. Mereka disewa dan ditugaskan khusus untuk menyanyi saat menyambut tamu dan hendak menguburkan jenazah.
Selain Ma’badong, terdapat kawanan pemusik pemukul gong yang juga didatangkan khusus. Menurut penuturan Sima Batara, pemandu kumparanTRAVEL di Toraja, tak sembarang orang bisa menyewa pemusik untuk Rambu Solo. Ada ketentuan yang harus dipenuhi sesuai adat istiadat yang berlaku.
Rumah Penguburan
Sebelum Thomas—yang semasa hidupnya juga disapa dengan nama Pong Buri—dikuburkan, rumah penguburan khusus disiapkan untuknya. Rumah itu bercat putih, dan bukan hanya akan menjadi tempat dia dikubur, melainkan pula keluarga besar atau keturunannya nanti.
Pada dinding rumah yang terbuat dari beton itu, terdapat rak-rak untuk menempatkan peti jenazah. Sementara di teras rumah, berdiri tau-tau atau patung pahatan kayu yang mirip dengan Pong Buri. Tau-tau memang dibuat sebagai personifikasi orang yang telah meninggal.
Tak sembarang orang pula boleh membuat tau-tau. Ia hanya bisa dibuat oleh keluarga yang mampu menyembelih sedikitnya 24 ekor kerbau yang terdiri dari empat jenis kerbau berbeda. Tak heran, sebab biaya untuk membikin tau-tau tak murah, sekitar Rp 20 juta sampai Rp 30 juta tergantung ukuran dan detailnya.
Ornamen Peti Jenazah
ADVERTISEMENT
Peti jenazah Pong Buri didesain khusus dengan ukiran khas Toraja yang disebut pa’erong. Peti itu berwarna merah, dengan hiasan naga di bagian atasnya. Di ujung peti diletakkan pula deretan uang koin yang digantung cantik, seperti renda pada baju.
Sebelum dimasukkan ke dalam peti dan diletakkan ke tempat peristirahatan akhirnya, Pong Buri dirias dan dipakaikan baju khas Toraja. Sementara tandu peti dilengkapi miniatur tongkonan pada bagian atas sebagai atap.
Tandu itulah yang diangkat oleh keluarga dan masyarakat desa ketika jenazah diarak keliling kampung saat hendak dikuburkan.
Kerbau Kurban
Sebanyak 36 ekor kerbau disiapkan dalam Rambu Solo Pong Buri. Jumlah kerbau disesuaikan dengan status mendiang Pong Buri berdasarkan ketentuan adat. Tiap kerbau pun punya harga berbeda sesuai warna dan coraknya.
ADVERTISEMENT
Penduduk setempat mengatakan, harga kerbau biasa dengan warna hitam dominan (tedong pudu) dibanderol di kisaran Rp 50 juta ke atas, sedangkan kerbau berwarna dasar hitam dengan belang putih (tedong bonga) bisa mencapai ratusan juta.
Ada lagi kerbau albino (tedong bulan) yang harganya hampir sama dengan tedong bonga, yaitu ratusan juta. Jenis kerbau termahal dalam adat Toraja ialah kerbau berwarna dasar putih dengan belang hitam (tedong saleko). Ia bisa bernilai Rp 1 miliar per ekor.
Jumlah kerbau yang disembelih dalam Rambu Solo berbeda-beda, tergantung pada status keluarga terkait. Semakin terpandang atau semakin tinggi derajat satu keluarga dalam adat, maka semakin banyak pula kerbau yang disembelih.
Menariknya, dari setiap kerbau dan babi yang disembelih, keluarga mesti membayar pajak pemotongan hewan kepada pemerintah setempat. Besarannya sekitar Rp 140 ribu per kerbau dan Rp 120 ribu per babi.
ADVERTISEMENT
Tidak seluruh kerbau dan babi dibeli oleh keluarga inti. Biasanya, hewan-hewan kurban itu dikumpulkan dari seluruh anggota keluarga besar dan tamu yang datang, lalu dicatatkan dalam buku khusus. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai ‘utang kerbau’ atau ‘utang babi’.
Dengan demikian, usai Rambu Solo, keluarga Pong Buri bisa mengetahui berapa besar utang yang mereka miliki pada orang lain. Berikutnya, ketika orang-orang yang menyumbang kerbau atau babi itu menggelar pesta syukuran maupun upacara kematian, keluarga itu dapat memberikan timbal balik sebaca layak.
Satu hal menarik lainnya: tak ada ayam yang disembelih saat Rambu Solo. Rupanya, ayam merupakan lambang sukacita di Toraja, sehingga menyembelih ayam dalam upacara kedukaan dianggap tak pantas.
Durasi Panjang
ADVERTISEMENT
Meski kumparanTRAVEL hadir di Rambu Solo Pong Buri sejak 16 Januari, bukan berarti acara tersebut baru dimulai. Sebab, upacara pemakaman telah dilaksanakan sejak 12 Januari, dan berakhir pada 22 Januari.
Maka jika dijumlahkan, Rambu Solo Pong Buri digelar selama 12 hari. Artinya, selama 12 hari penyelenggaraan itu—dan masa persiapan panjang sebelumnya, keluarga mesti menyiapkan segala kebutuhan, mulai soal dana hingga konsumsi bagi semua orang yang terlibat.
Tarung Kerbau
Rambu Solo mencakup tradisi Tedong Silaga atau tarung kerbau sebagai hiburan bagi para tamu yang hadir. Tedong Silaga juga menyiratkan kemampuan keluarga untuk mengundang dan memberi suguhan kepada semua orang yang datang untuk melagakan kerbau mereka.
Tak peduli berapa banyak jumlah orang yang datang membawa kerbau mereka untuk ditarungkan, dan dari mana saja orang-orang itu berasal, sajian makanan pasti tersedia.
Biaya Selangit
ADVERTISEMENT
Dengan segala kemegahannya, tak heran Rambu Solo Pong Buri menelan biaya sekitar Rp 3 miliar. Itu pun masih berdasarkan perkiraan sang anak, bukan hitungan pasti, sebab tak semua kebutuhan penyelenggaraan Rambu Solo dibeli langsung dengan uang tunai hasil patungan anggota keluarga dengan besaran tertentu. Ada pula sumbangan sukarela di dalamnya.
“Ada yang bawa gula dan ballo pada setiap acara pemondokan,” kata anak Pong Buri, Yefta Salamba Pabisangan yang akrab disapa Amba.
Bagaimanapun, Rp 3 miliar adalah jumlah fantastis untuk sebuah acara pemakaman. Dana sebesar itu sudah pasti butuh pengorbanan besar, kerja keras dalam jangka waktu panjang, dan kerelaan untuk hidup hemat.
Amba mengatakan, Rambu Solo ialah tanggung jawab sekaligus medium anak untuk membalas budi orang tua yang telah berjuang membesarkannya hingga mampu melihat dunia.
ADVERTISEMENT
“Idealnya enggak bisa dihitung. Kalau ini, mulai dari pemondokan, beli kerbau, ada sekitar Rp 2-3 miliar. Memang kita orang Toraja itu dilahirkan untuk mematuhi orang tua, jadi itu balas budi kami, untuk penghormatan terakhir, jadi kami siap untuk melakukan semua,” jelas Amba.
Berbagi Berkat
Tak kalah penting, Rambu Solo jadi sarana orang Toraja untuk berbagi berkat. Dalam upacara itu, semua orang boleh hadir. Tak peduli siapa dia atau dari mana ia berasal, ia bersama semua tamu dapat menyantap makanan yang disuguhkan oleh keluarga almarhum.
Selain itu, 24 kerbau yang disembelih pada puncak acara Rambu Solo Pong Buri dibagikan kepada semua orang di kampungnya hingga kampung-kampung lain, sehingga masyarakat sekitar, termasuk mereka yang kurang mampu, merasakan berkat yang sama.
ADVERTISEMENT
Alhasil, warga dengan tingkat ekonomi pas-pasan yang biasanya tak bisa banyak makan daging jadi punya kesempatan menikmati daging kerbau.
Tak cuma warga kampung, gereja pun mendapat satu kerbau dari keluarga Pong Buri.
Belum lagi di sepanjang Rambu Solo, satu kerbau disembelih setiap harinya untuk dijadikan makanan untuk para tamu yang datang.
Petrus Pakambanan, seorang pemangku adat di Tongkonan Lebani yang juga teman bermain Pong Buri sejak kanak-kanak, percaya tradisi Rambu Solo membawa rezeki bagi orang-orang di sekitar Toraja.
“Kalau kita potong kerbau begini, kan kita bagi rata. Kalau pestanya lama, orang-orang yang ada di kampung (sini) dan (kampung) tetangga itu (juga) kita kasih makan. Jadi ini kebersamaan, gotong royong. Intinya, bagi saya, kalau punya kenapa tidak membagi rezeki kepada orang?” kata lelaki yang dulu bekerja di salah satu BUMN itu.
ADVERTISEMENT
Petrus bisa jadi benar. Terlebih Rambu Solo membuat turis domestik dan mancanegara berbondong-bondong datang ke Toraja. Hal itu tentu punya dampak ekonomi pada daerah setempat. Toraja makin dikenal sebagai kawasan wisata dengan bisnis menjanjikan.
Belum lagi pajak pemotongan hewan yang dikumpulkan untuk membangun desa-desa di Toraja oleh pemerintah daerah setempat. Pajak itu juga dapat digunakan untuk memperbaiki fasilitas umum seperti jalan raya dan toilet umum. Semoga.
Simak ulasan lengkap soal tradisi pemakaman ala Toraja dalam Konten Spesial kumparan, dengan mem-follow topik Rambu Solo Toraja .
ADVERTISEMENT