Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Selain punya daya tarik matahari terbit di Puncak Pananjakan, Gunung Bromo ternyata bisa dinikmati dengan cara lain. Misalnya saja dari sisi budaya, yakni dengan menikmati Upacara Yadnya Kasada yang digelar setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Menurut laman resmi Kementerian Pariwisata, Yadnya Kasada merupakan wujud pengorbanan Suku Tengger (suku yang tersebar di 60 Desa sekitar Gunung Bromo meliputi Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Pasuruan dan Malang) kepada Sang Hyang Widhi. Upacara adat ini dilaksanakan untuk memohon keselamatan, kemakmuran, dan tolak bala kepada Sang Hyang Widhi ataupun Tuhan.
Ritual puncak Yadnya Kasada dimulai pada tengah malam bulan Purnama dengan serangkaian prosesi adat oleh warga setempat yang berlangsung di Pura Luhur Punten. Sepanjang malam, prosesi sakral diisi dengan pembacaan mantera oleh tetua adat, kemudian pengambilan air suci dari rembesan tetesan pada bebatuan di sebuah gua di Gunung Widodaren. Kemudian ada pula pementasan tari Sembilan Dewa serta tari Roro Anteng dan Joko Seger; yakni tarian yang dianggap sakral bagi warga Tengger.
ADVERTISEMENT
Kadang kala, prosesi juga dilalui dengan pemilihan dukun Suku Tengger. Dan setelah prosesi itu, seluruh penduduk yang terlibat berkumpul dan membawa hasil bumi, seperti ternak, hasil pertanian, hingga uang sebagai sesaji yang disimpan dalam wadah bernama ongkek.
Sementara itu, umat Hindu Tengger juga membawa penganan berupa raka genep yang terbuat dari tepung jagung. Makanan ini memiliki simbol lelaki, perempuan dan anak merupakan wujud kerukunan keluarga. Setelah itu Suku Tengger melakukan larung sesaji (membuang sesaji) ke kawah Gunung Bromo sesaat setelah matahari terbit.
Saat Suku Tengger membuang sesaji, masyarakat yang lain justru datang untuk memburunya. Mul, salah satu warga dari Desa Ngadirejo datang bersama istri untuk ikut menangkap lemparan sedekah menggunakan alat tangkap bernama pemarit.
"Dari rumah kami berangkat sekitar pukul 03.00 WIB dan langsung menuju puncak Gunung Bromo. Kami menunggu di lokasi hingga siang hari, karena yang melabuh sedekah tidak datang bersamaan. Ada yang pagi, ada juga yang siang baru datang," ujar Mul, seperti dikutip dari rilis resmi yang diterima kumparan.
ADVERTISEMENT
Setiap kali perayaan Yadnya Kasada, Mul mengaku bisa mengumpulkan lebih dari 70 kg kentang belum termasuk kol, uang, dan lain-lain. Nantinya, barang-barang tersebut akan dijual ke pasar.
Di balik kemeriahannya yang mampu menjadi magnet wisatawan, Yadnya Kasada juga memiliki cerita yang melegenda. Alkisah, dahulu ada seorang putri Majapahit bernama Dewi Rara Anteng yang menikah dengan Raden Jaka Seger, perpaduan nama keduanyalah yang digadang-gadang menjadi asal-usul nama Tengger.
Setelah bertahun-tahun menikah mereka tak kunjung dikaruniai anak. Alhasil keduanya memutuskan melakukan pertapaan untuk memohon kepada Dewa agar diberi buah hati.
Di tengah wirid, keduanya mendapat bisikan yang menyampaikan bahwa mereka akan dikaruniai anak. Tapi syaratnya, anak bungsu mereka nanti harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo.
ADVERTISEMENT
Dewi Rara Anteng dan Raden Jaka Seger pun menyanggupi syarat tersebut dan keduanya pun dikaruniai 26 orang anak. Namun, mereka ingkar janji dan enggan memberikan anak bungsunya yang bernama Raden Kusuma.
Dewa pun murka, langit seketika menjadi gelap dan Raden Kusuma tiba-tiba hilang ditelan kawah Gunung Bromo. Setelah tertelan ke dalam kawah, muncul suara gaib Raden Kusuma yang menyatakan dirinya telah dikorbankan untuk keselamatan warga Tengger.
Anak bungsu itu juga mengingatkan agar selalu menyembah Sang Hyang Widhi dan mengadakan sesaji setiap hari ke-14 Bulan Kasada. Sejak itulah, Yadnya Kasada terus berlangsung hingga kini.
Dan apapun yang terjadi, ritual adat Yadnya Kasada selalu digelar setiap tahun, tak peduli hujan deras, angin kencang, atau badai pasir sekalipun. Seperti tahun 2016 lalu, upacara Kasada berlangsung di tengah Gunung Bromo yang sedang meletus.
ADVERTISEMENT