Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Liburan ke Yogyakarta pastinya enggak akan lengkap tanpa menyambangi kawasan Malioboro yang populer. Berlokasi di antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Tugu Pal Putih, jalanan Malioboro menjadi surga oleh-oleh dan belanja.
ADVERTISEMENT
Di sisi kiri dan kanan jalan, sejauh mata memandang, kamu akan menemukan beragam toko oleh-oleh, baik berupa panganan hingga batik. Tak lupa pula andong, kuda penariknya, serta sang kusir yang setia menanti wisatawan dengan mengenakan surjan lurik dan blangkon.
Keunikan itulah yang membuat Jalan Malioboro selalu padat wisatawan, baik dalam maupun luar negeri. Meski tak berbelanja, Malioboro memang sangat apik 'ditangkap' dengan menggunakan kamera. Kamu yang senang dengan sejarah, bisa pula menyambangi Museum Benteng Vredeburg yang masih berlokasi di jalan tersebut.
Namun, di balik popularitasnya dan denyut bisnis serta wisata di dalamnya, tahukah kamu arti dari kata Malioboro itu sendiri?
Menurut situs resmi Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta , Jalan Malioboro dulunya didirikan bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa Sanskerta, "Malioboro" memiliki makna "Karangan Bunga". Sebutan ini menurut laman tersebut diyakini memiliki hubungan dengan masa lampau. Pada zaman dahulu, apabila Kraton mengadakan acara besar, maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga.
ADVERTISEMENT
Namun, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama Malioboro berasal dari nama seorang kolonial Inggris bernama Marlborough, yang pernah tinggal di sana pada 1811-1816 Masehi. Di luar dari beragam versi yang menjelaskan makna Malioboro, satu yang pasti adalah keberadaan jalan ini tak lepas dari konsep Kota Yogyakarta yang ditata sesuai mata angin.
Kota Yogyakarta ditata membujur arah utara-selatan, dengan jalan yang mengarah ke penjuru mata angin, serta berpotongan tegak lurus. Pola itu diperkuat adanya 'poros imajiner' yang membentang dari utara menuju selatan dengan Kraton sebagai titik tengahnya.
Poros itu kemudian diwujudkan dalam bentuk bangunan, yakni Tugu Pal Putih di bagian utara. Garis imajiner itu apabila dilanjutkan ke arah selatan akan menuju Jalan Margatama (Mangkubumi) dan Margamulya (Malioboro), Kraton Yogyakarta, Jl. D.I Panjaitan, dan berakhir di Panggung Krapyak.
Apabila garis imajiner diteruskan ke selatan, maka akan sampai ke Samudera Hindia. Sementara jika diteruskan ke utara, maka akan sampai ke Gunung Merapi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pada era kolonial (1790-1945), pola perkotaan tersebut terganggu, karena Belanda membangun Benteng Vredeburg pada 1970 di ujung selatan Jalan Malioboro. Ditambah lagi dengan pembangunan Societeit Der Vereneging Djokdjakarta (1822), The Dutch Governer Residence (1830), Javasche Bank dan Kantor Pos untuk mempertahankan dominasi mereka di Yogyakarta.
Kemudian, ada pembangunan Stasiun Yogyakarta atau yang dikenal pula sebagai Stasiun Tugu (1887) di Jalan Malioboro. Pembangunan stasiun ini secara fisik berhasil membagi jalan menjadi dua bagian.
Beragam perkembangan ini dilakukan seiring dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, serta pendidikan yang juga dipicu pesatnya perkembangan akibat perdagangan antara Belanda dengan Tionghoa.
Sementara pada masa pasca-kemerdekaan (setelah 1945), Jalan Malioboro menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia untuk membela kemerdekaan dan mempertahankannya. Wah, menarik sekali, ya.
ADVERTISEMENT
Apapun artinya secara harafiah, Malioboro yang pasti punya arti yang jauh lebih penting bagi masyarakat Indonesia, khususnya Yogyakarta . Bagaimana menurutmu?