Menjelajah Laut Selatan Australia

30 Desember 2019 14:03 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal amfibi untuk berlayar di Wilson Promontory National Park, Australia.
zoom-in-whitePerbesar
Kapal amfibi untuk berlayar di Wilson Promontory National Park, Australia.
ADVERTISEMENT
Ombak hari itu dikabarkan akan lebih dahsyat dari biasanya. Di darat angin bertiup begitu kencang mengacak rambut yang terurai, meniupkan rasa dingin. Sebagai orang yang biasa hidup di daerah dengan sengatan matahari, cuaca di ujung selatan Australia itu terasa segar.
ADVERTISEMENT
Hari itu kami akan menjajal kapal amfibi di laut selatan Taman Nasional Wilson Promontory, Australia. Selamat 2,5 jam kapal itu dijadwalkan akan mengajak kami berkeliling mulai dari muara Sungai Tidal, Pantai Norman, menyusuri Oberon Bay hingga ke South Point, kemudian berbalik memutari Sea Eagle Bay.
Sebelum pelayaran dimulai, setiap penumpang disediakan jaket anti air yang menutupi seluruh tubuh dari atas sampai betis, untuk ukuran tubuh standar di sana. Tapi jaket itu malah menutupi seluruh tubuhku hingga jari-jari kakiku, membuatku mesti mengangkatnya seperti gaun setiap kali melangkah. Selain jaket, mereka juga menyediakan kupluk berwarna hijau stabilo yang akan membuat kepalamu tetap hangat. Merah nyala di seluruh tubuh, dan hijau stabilo di kepala. Sempurna bukan?
Persiapan sebelum berlayar di Wilson Promontory National Park, Australia. Foto: Rina Nurjanah
Kapal amfibi berwarna putih dengan garis kuning itu tampak sangat megah. Dua roda di belakang dan satu roda di depan menyangganya selama di darat. Kapal yang dirancang selama lima tahun itu mampu menampung sekitar 30an orang untuk setiap kali pelayaran. Bangku-bangku berjajar rapi di bagian depan dilengkapi dengan sabuk pengaman, sementara kemudi berada di bagian belakang. Fasilitas lain yang disediakan adalah obat antimabuk laut untuk setiap penumpang. Jadi tak perlu khawatir sebab keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan kesehatan penumpang amat menjadi perhatian.
ADVERTISEMENT
Hari itu ada sekitar 20 penumpang, sebagian besar merupakan warga lokal yang mencoba fasilitas teranyar The Prom (sebutan untuk Wilson Promontory National Park) yang baru dibuka pada bulan Agustus 2019. Di sebelahku duduk seorang nenek yang berusia sekitar 60 tahun. Ia mencoba pelayaran itu bersama suaminya yang sama-sama telah berambut putih dengan kulit keriput yang tampak indah di mataku.
Ekspresi keduanya ketika kapal mulai melaju menuju laut tampak seperti campuran tegang dan senang bersamaan. Kusunggingkan senyum kepada keduanya dan berkata, “Aku dari Indonesia dan sangat bersemangat berlayar di Australia.” Mereka membalas senyumku dengan keramahan mata orang tua. “Apa kau baik-baik saja?” tanya si nenek, yang lupa kutanya siapa namanya. “Tentu saja, pasti akan sangat menyenangkan.”
ADVERTISEMENT
Kini kapal sudah sepenuhnya berada di lautan, roda-roda telah sempurna terangkat di dalam bagian bawah kapal. Terjangan ombak pertama membuatku berteriak, “Wohoooooo” diiringi tawa melenyapkan segala debar waswas yang kusimpan di awal.
Burung-burung yang tak kutahu nama maupun jenis berterbangan di langit biru. Di sebelah kiriku tampak deretan tebing dengan batu-batu besar yang indah, sementara laut luas membentang. Salah seorang penumpang mulai berteriak, “Lihat di sana ada lumba-lumba.”
Sang kapten kapan, Robbert Pennicott pun menjawab bahwa jika beruntung kami bahkan bisa melihat paus. “Paus? Paus apa? Sungguh?” tanyaku kepada salah satu kru kapal yang tengah berkeliling mengecek kondisi para penumpang. “Ya tentu saja, bulan September sampai Desember biasanya Paus Bongkok bermigrasi melewati lautan ini.”
ADVERTISEMENT
Kabar tersebut membuatku makin bersemangat. “Aku tak boleh melewatkan momen tersebut, aku harus bisa memotretnya,” tekadku dalam hati. Maka ketika sang kapten mengatakan bahwa para penumpang boleh melepas sabuk pengaman dan menikmati pemandangan dengan lebih leluasa, ku arahkan pandangan ke sekeliling. Lumba-lumba berlarian, meliuk indah setiap kali muncul ke permukaan lalu masuk kembali ke lautan.
Aku berdiri di bagian samping, melihat jernih laut di bawah kemudian deret pantai di hadapan. Kamera di genggaman ku arahkan kepada sepasang lumba-lumba yang, di mataku, tampak tengah bermain-main di sekitar kapal yang sedang melaju. Seorang penumpang dengan tinggi lebih dari 180 sentimeter yang berdiri di ujung paling depan kapal berseru, “Di sana, aku lihat paus!” Ia menunjuk ke arah pukul 14.00 di hadapannya.
Skull Rock, salah satu pulau yang dikunjungi selama berlayar.
Robbert memutuskan mempercepat laju kapal mencoba mendekati arah yang ditunjuk si penumpang. Sementara aku mencoba maju ke bagian depan kapal berharap bisa melihat paus yang kulewatkan barusan. Namun paus itu hilang dari pandangan hingga kami tiba di South Point, bagian perairan yang tenang di antara lekukan daratan dan pulau Wattle di sebelah kanan. Tak cukup beruntung melihat paus, kami disuguhi pemandangan menakjubkan, air yang tenang menjadi tempat para burung hinggap di permukaan laut sementara paruhnya menangkap ikan lalu kembali melesat ke langit sembari menelan ikan tersebut. Lumba-lumba berlarian di sekitar kapal. Sebagian burung tampak bersantai di bebatuan besar dekat daratan.
ADVERTISEMENT
Kapal kemudian berbalik melanjutkan perjalan ke arah Pulau Anser, Pulau Kanowna, lalu Skull Rock. Jika di Pulau Anser dan Kanowna kamu bisa melihat deretan anjing laut yang berjemur, maka Skull Rock menyajikan pemandangan luar biasa. Pulau tersebut, seperti namanya, berbentuk seperti bagian mata sebuah tengkorak. Lekukan besar di tengah pulau itu tampak luas dan hijau, katanya biasa menjadi lokasi pendaratan helikopter.
Tak terasa waktu berlalu, kapal kembali melaju menuruti jalur. Perjalanan pulang dilakukan melalui Glennie Group yang terdiri dari Pulau Citadel, Pulau Dannevig, kemudian Pulau Glennie Besar sebelum akhirnya berbelok kembali ke arah Pantai Norman.
Dua jam setengah yang begitu indah hari itu kuakhiri dengan bernyanyi sepanjang pelayaran pulang. Mulai dari lagu Mocca, hingga Manuk Dadali kunyanyikan. Tak peduli mereka tak mengerti bahasaku, aku merasa senang. Kakek dan nenek di sebelahku menengok dan memberiku seulas senyum. Mereka bergenggaman tangan.
Jelajah Selatan Australia Foto: Maulana Saputra/kumparan
Kapal ini berangkat setiap pukul 11 siang setiap harinya. Tapi khusus pada tanggal 15 Desember hingga 31 Maret, kapal berangkat setiap pukul 14.00 waktu setempat. Biaya yang mesti kamu keluarkan untuk menjajal pengalaman berlayar menggunakan kapal amfibi ini sekitar 135 dolar Australia untuk dewasa dan 85 dolar Australia untuk anak-anak. Kamu juga bisa memilih paket keluarga senilai 430 dolar Australia untuk dua dewasa dan tiga anak-anak. Seusai menjelajah lautan selatan Australia, kamu bisa menikmati fasilitas penginapan di Taman Nasional Wilson Promontory atau membuka tenda di sana. Tertarik mencoba?
ADVERTISEMENT