Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Setahun lalu, Kota Christchurch di Selandia Baru menggemparkan dunia, karena dijadikan lokasi penembakan massal oleh pria asal Australia bernama Brenton Tarrant.
ADVERTISEMENT
Dalam aksinya pada Maret 2019, Tarrant melepaskan tembakan ke jemaah di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood. Ia juga menyiarkan aksinya melalui live streaming Facebook.
Setidaknya ada 51 orang meninggal dunia dan puluhan orang luka-luka dalam insiden itu. Dalam sekejap, Christchurch menjadi topik yang banyak dicari, bahkan sempat menjadi trending topic di media sosial.
Insiden ini tentu mengejutkan bagi banyak pihak. Terutama mengingat Selandia Baru dikenal sebagai negara yang aman dan toleran, bahkan dinobatkan sebagai negara terdamai kedua di dunia oleh Global Peace Index pada 2019.
Menariknya, pandangan negatif ke Christchurch berlangsung tak lama. Kesigapan Perdana Menteri Jacinda Ardern, dan tindakannya menuai pujian dari banyak pihak.
Beberapa waktu kemudian, setelah insiden penembakan berlangsung, saya mendapat kesempatan untuk menyambangi Christchurch. Tugas kantor mengantarkan saya memulai pekerjaan dan mengakhirinya di kota yang dulunya bernama Ōtautahi itu.
ADVERTISEMENT
Rasa tak sabar, penasaran, dan penuh ingin tahu membuncah di kepala saya. Perjalanan panjang selama 16 jam rasanya kurang cepat berakhir.
Saya ingin melihat seperti apa Kota Christchurch dan keadaannya setelah insiden buruk itu berakhir. Saya lantas menyibukkan diri dengan berbagai fasilitas yang tersedia di pesawat, hingga waktu landing akhirnya tiba.
Hal pertama yang saya rasakan adalah kehangatan. Staf bandara menyambut dengan hangat penumpang yang baru saja tiba.
Saya dan awak media lainnya menuju imigrasi dan konter pemeriksaan. Kebetulan saat itu, saya diberi 'oleh-oleh' biskuit dari awak kabin. Untuk itu, saya harus melaporkannya agar tak didenda.
Dalam lima hari perjalanan di Selandia Baru , kami mendapat waktu tak sampai sehari untuk menikmati pesona Christchurch. "Wah, ini yang paling ditunggu-tunggu," pikir saya.
ADVERTISEMENT
Hari itu, kami dijadwalkan untuk bersepeda menikmati kota yang digadang-gadang sebagai English Heritage itu. Bersama dengan operator tur sepeda, Chill, kami pun mulai menggowes.
Masing-masing dari kami diberi sepeda lengkap dengan helmnya. Pemandu kami berada di depan, menuntun kami ke berbagai titik destinasi dan bangunan-bangunan peninggalan Inggris.
Sembari memadu kami menggunakan sepeda, dia juga menjelaskan tempat-tempat yang kami kunjungi. Tur berlangsung selama 1 jam 15 menit.
Ragam spot ikonik kami lewati. Salah satu di antaranya adalah Masjid Al Noor yang menjadi lokasi penembakan massal pada Maret 2019 lalu. Menariknya, hingga akhir tahun 2019, ketika saya tiba, ucapan bela sungkawa dan pengharapan tetap terpampang di pagarnya.
"Allah Memberkati Negara Kita. Tanah Cinta dan Kasih Sayang" tertulis di sebuah papan berwarna putih.
ADVERTISEMENT
Di depan papan itu, nampak bunga-bunga berbagai rupa ditata dengan indah. Menurut pemandu kami saat itu, bunga-bunga tak berhenti berdatangan ke Masjid Al Noor sejak insiden penembakan terjadi.
Bunga-bunga itu seakan menjadi penanda bahwa toleransi dan sikap saling support dari masyarakat Christchurch tak serta-merta hilang, bahkan ketika kejadiannya telah berlalu.
William Coxhead, pemandu kami dari Tourism New Zealand mengatakan bahwa inilah cerminan asli kehidupan masyarakat Christchurch.
Walau kecil dan jumlahnya tak banyak, tapi selalu bahu-membahu dalam setiap hal, terutama dalam kondisi yang tak baik.
Sayang, kami saat itu tak bisa benar-benar singgah. Melihat masjid itu pun hanya dari kejauhan. Tepat dari seberangnya yang merupakan kawasan Christchurch Botanic Gardens.
ADVERTISEMENT
Christchurch Botanic Gardens merupakan kebun raya yang berlokasi tepat di tengah kota. Kebun raya berukuran 21 hektare itu terdiri lebih dari 10 kebun yang berbeda.
Di dalamnya, kamu bisa menikmati pesona alam yang memikat. Sepanjang mata memandang, kamu bisa menemukan pepohonan yang subur dan rindang.
Jalanannya bersih dan tertata rapi. Setiap kebun diberi nama sesuai dengan penemu atau isi tamannya. Sementara itu, warga lainnya nampak bersantai atau beraktivitas bersama hewan peliharaannya.
Setiap kebunnya dirawat dengan rapi. Cuaca yang sejuk di awal musim panas berpadu dengan pemandangan yang apik, tentu saja bikin perasaan jadi makin nyaman.
Pedal sepeda terus saya gowes, hingga akhirnya kami tiba di sebuah kebun bunga. Dari jauh, wangi bunga-bunga sudah mencapai hidung kami. Jujur, saya sempat mengira kalau itu dari pewangi buatan.
ADVERTISEMENT
Rupanya, ketika tiba, saya baru menyadari wangi itu datangnya dari bunga-bunga yang mulai mekar. Walau belum semua bunganya mekar secara penuh, keindahannya benar-benar tidak bisa terlupakan.
Terlebih, wangi bunga-bunga alami itu terakhir kali saya rasakan 10 tahun lalu di kampung halaman! Saya dan awak media lainnya benar-benar berdecak kagum.
Christchurch Botanic Gardens berlokasi di dekat sungai yang dikenal sebagai Avon. Wisatawan biasanya akan melakukan tur menyusuri sungai sambil ditemani pemandu.
Tur dengan perahu itu biasanya memakan waktu hingga 45 menit. Kami memang tak ikut mencoba, tetapi ketika tengah mengeksplorasi kebun raya itu, kami sempat melihat aktivitas punting di Avon tersebut.
Bagi saya yang belum pernah melihat gondola secara langsung di Venesia, punting di Avon sedikit banyak memuaskan rasa ingin tahu saya.
ADVERTISEMENT
Apalagi ketika melihat pemandu yang mendayung berpakaian rapi. Wah, rasanya seperti sedang di Eropa saja.
Selain Christchurch Botanic Gardens, kami juga sempat menyambangi bangunan-bangunan seni dan bersejarah. Terutama yang merupakan peninggalan Inggris.
Ya, Selandia Baru dijajah Inggris selama 66 tahun. Negara yang dalam bahasa Maori dikenal sebagai Aoteroa itu resmi merdeka pada 1840 dan menjadi negara persemakmuran Inggris.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, ada banyak bangunan bergaya Inggris klasik seperti yang biasa kamu temukan dalam film-film Sherlock Holmes ada di sini.
"Gedung-gedung ini yang sering kali membuat orang-orang menjuluki Christchurch sebagai kepingan Inggris lama yang tertinggal di Selandia Baru," ujar pemandu kami.
Di Christchurch, kamu tak akan menemukan bangunan tinggi pencakar langit, seperti yang ada di Jakarta atau kota metropolitan lainnya.
ADVERTISEMENT
Bangunan di Ōtautahi sengaja dibangun tidak terlalu tinggi untuk meminimalisir kerusakan dan risiko apabila terjadi gempa bumi. Terutama setelah gempa bumi hebat yang terjadi pada 2011 silam.
Kebanyakan bangunan lama dibiarkan tetap berdiri. Kebanyakan di antaranya bahkan tetap digunakan seperti fungsi aslinya. Misalnya sekolah dan asrama, gereja, atau dijadikan sebagai museum.
Beberapa bangunan yang rusak dirawat dan dipugar. Saya sendiri sempat menemukan sebuah bangunan tua yang tak lagi digunakan karena dianggap riskan.
Karena belum ada keputusan soal renovasinya, maka pemerintah setempat menyangganya dengan kontainer.
Salah satu yang paling berkesan dari Christchurch adalah bagaimana warga setempat menjaga kultur Maori yang merupakan penduduk asli. Bahasa Maori tetap digunakan sebagai bahasa kedua dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Ukirannya juga disematkan dalam beberapa bagian bangunan. Bahkan burung kiwi juga dilukiskan di salah satu dinding bangunan Canterbury Museum.
Burung kiwi merupakan ikon dari Selandia Baru. Kemampuannya bertahan hidup menjadi inspirasi bagi masyarakat di sana. Sampai-sampai, masyarakat Selandia Baru menjuluki diri mereka sebagai Kiwi.
Ada banyak hal menarik yang mudah bikin saya jatuh cinta pada Christchurch. Kotanya tak terlalu besar, tetapi rapi dan tertata. Lalu lintasnya yang minim suara klakson menderu, serta rasa aman menjadi poin utama bagi saya.
Soal kebersihan dan sikap menjaga lingkungan di Christchurch jadi nilai tambahan lainnya. Bayangkan saja, di sungai kamu bisa menemukan orang-orang duduk santai sambil memberi makan ikan.
Sementara itu, burung-burung datang bersama kawanannya berenang di air yang dingin. Sungguh menyuguhkan pemandangan yang memanjakan mata dan hati.
ADVERTISEMENT
Meski terkesan sebagai kota yang tua dan santai, nyatanya Christchurch juga cocok buat kamu yang mencari aktivitas yang memompa adrenalin. Saya sendiri sudah mencoba ziplining tertinggi dan terpanjang di Selandia Baru di Christchurch.
Cuma Christchurch yang sanggup bikin saya berani menghadapi fobia ketinggian dan mencoba ziplining. Wah, mengenangnya saja sudah bikin rindu.
Saya jadi berjanji pada diri sendiri akan ke sana lagi. Mungkin, kamu juga bisa memasukkan nama kota ini ke dalam wish list liburan kamu di masa depan. Siapa tahu cocok. Iya, kan?
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona )
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.
ADVERTISEMENT