Narasi Toba di 1000 Tenda Desa Meat

1 Juli 2019 11:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah tenda  pengunjung di Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah tenda pengunjung di Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
ADVERTISEMENT
Meat, nama sebuah desa kecil di Kecamatan Tampahan Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara, punya segudang narasi untuk menjaga Danau Toba agar tetap asri. Masyarakatnya, berdampingan merawat budaya dan alam desa, sebagai sebuah kepuasan batin.
ADVERTISEMENT
Tak heran, saat diadakan kegiatan 1000 tenda di Desa Meat, pada 28-30 Juni 2019, sekitar empat ribu pengunjung hadir. Alam dan budaya di Desa Meat, yang banyak dipromosikan lewat media sosial, jadi salah satu alasan kuat pengunjung berdatangan.
Tak hanya dari Sumatera Utara, dari luar kota seperti Banyuwangi, Manado, Makassar, hingga Bogor juga rela merogoh kocek dalam-dalam, hanya demi melihat narasi Danau Toba di Desa Meat.
Anak anak saat melintasi hamparan padi, di Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
"Dingin", begitu kesan pertama yang kumparan rasakan, saat tiba di Desa Meat, Sabtu (29/6) sekitar pukul 04.30 WIB, usai melakukan perjalan enam jam dari Kota Medan. Jaket tebal sama sekali tak mampu menghilangkan rasa menggigil. Beruntung, ada api unggun. Sambil mengusap kedua tangan, dingin perlahan berkurang.
ADVERTISEMENT
Saat itu, suasana di tenda peserta 1000 tenda begitu hangat, banyak yang berakustikan dengan teman setenda, ada pula yang larut melepas candaan hingga fajar menyingsing. Pagi di Desa Meat, begitu mengagumkan. Desiran air Danau Toba yang terhempas dinding pembatas danau seolah mengajak untuk menyeburkan diri ke dalam.
Guntur Sianipar saat berada di depan rumah adat raja yang dikelolanya. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Mata juga kian terbelalak, bukit hijau dengan pohon pinusnya mengelilingi Danau Toba yang dihiasi hamparan padi menguning lantaran segera panen. Menyeruput kopi saat itu, jadi cara paling istimewa menikmati suasana di Desa Meat.
Berada di Desa Meat, kala itu, tak hanya sekadar menikmati alam Danau Toba yang eksotis, para pengunjung juga diajarkan menikmati setiap jengkal budaya dan alam di Desa Meat. Pengunjung diajak ikut memanen padi bersama petani dan diajarkan bagaimana manabi (memotong padi) atau mamurpur (cara melepas butir padi).
ADVERTISEMENT
Suasana 1000 tenda juga kian edukatif, lantaran banyak digelar diskusi sharing knowledge mengenai dunia pariwisata, menulis, dan lingkungan. Tampak para peserta dibagi tiap kelompok, untuk berdiskusi dengan narasumber kompeten.
Pengunjung saat berfoto di dalam tenda. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
"Kita buat diskusi, bagaimana tentang milenial membangun desa. Ini kan lagi ngetren, lalu tentang industri kreatif, lalu tentang masa depan Danau Toba, globalisasi dan efeknya. Tergantung peserta mau masuk di mana," ujar Siparjalang, Direktur Festival 1000 tenda Caldera.
Usai mendalami diskusi, beberapa peserta datang mengunjungi objek-objek wisata budaya di Desa Meat, seperti rumah adat Ragi Hotang yang jaraknya sekitar 1 km dari lokasi tenda.
Rumah adat Batak itu sudah berusia ratusan tahun, bekas peninggalan para raja batak. Motif gorga berwarna hitam, merah, dan putih begitu mendominasi setiap sisi rumah. Pemilik rumah juga menjadikannya home stay bagi siapapun yang ingin merasakan tidur ala Raja Batak di masa lalu.
Hamparan padi di Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
"Namun bedanya, untuk alas tidur menggunakan tempat tidur yang cukup nyaman," ujar Guntur Sianipar, pengelola rumah adat.
ADVERTISEMENT
Untuk harga sewanya, Guntur mematok harga Rp 200 ribu per malam, dengan kapasitas enam orang untuk satu kamar. Dulunya rumah adat itu tidak disewakan, tetapi karena ekonomi Guntur menipis, rumah para raja disewakan. Alasanya pun sederhana, agar memiliki uang tambahan untuk membiayai perawatan rumah adat.
"Makanya ini dirintis, jadi penginapan. Tapi natural, (hanya) ada tilam (kasur) kalau sarapan hanya pakai Gadong (Ubi)," ujar Guntur.
Sejumlah tenda pengunjung di Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Bagi Guntur, dengan dibukanya rumah adat sebagai home stay, tamu yang berkunjung akan jauh lebih banyak. Tak hanya sekadar pengunjung rumah adat, tetapi juga berkunjung untuk menginap.
"Kalau ada yang menginap dijelaskan kebudayaan di sini. Jadi tradisi ini kita angkat, supaya pariwisata ini semakin baik dan budaya Batak bisa terangkat," ujar Guntur.
ADVERTISEMENT
Tepat berada di depan rumah adat, tampak pula Marsita Tampubolon (85), sedang membuat kain ulos (kain khas batak). Meski usianya sudah senja, mata Marsita masik awas menganik (menyatukan) benang untuk membuat ulos.
Marsita saat pembuat ulos dari Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Marsita, sudah 75 tahun menjadi pengrajin ulos, keahliannya merajut ulos diturunkan dari keluarga. Dalam hidup Marsita, ulos bukan sekadar kain, tetapi identitas suku Batak Toba, karena selalu digunakan di acara penting, mulai dari prosesi pernikahan hingga pemakaman.
Namun, karena usianya yang kian menua, saat ini Marsita tak produktif dalam menenun ulos. Dalam sebulan, dirinya hanya sanggup menenun empat ulos dengan keuntungan 800 ribu. Meskipun begitu, hal tersebut bukan persoalan bagi Marsita, karena membuat ulos sudah seperti kebutuhan hidupnya.
ADVERTISEMENT
"Saya tak akan pernah berhenti membuat ulos," ujar Marsita.
Sejumlah tenda pengunjung di Desa Meat. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Keindahan dan kegigihan masyarakat Desa Meat ini membuat Inggit (21), karyawan swasta dari Bayuwangi, Jawa Timur, tidak menyesal datang ke acara 1000 tenda. Dirinya merasa banyak mendapat pelajaran hidup dari acara ini.
"Ada ilmu bagaimana mengembangkan pariwisata untuk generasi milenial, saat sharing knowledge. Lalu lokasinya alami banget," ujar Inggit
Usai menikmati acara sharing knowledge dan kegiatan kebudayaan bersama masyarakat Desa Meat, malamnya pengunjung dihibur berbagai panggung hiburan dari berbagai jenis musik, dari mulai reggae, pop, rock, hiphop, dan jenis musik lainnya dari grup musik lokal Sumatera Utara.
Pertunjukan seni di Desa Meat saat acara 1000 tenda. Foto: Rahmat Utomo/kumparan
Pengunjung tampak larut mengikuti kegiatan musik itu. Udara dingin yang menusuk tulang pun menjadi hangat saat semunya bernyanyi dan bergoyang bersama. Tepat pukul 03.00 WIB, pentas musik ditutup. Para pengunjung istirahat di dalam tenda.
ADVERTISEMENT
Kepala Desa Meat, Janri Simanjuntak, mengaku terharu dengan antusiasme pengunjung yang datang. Lokasi yang awalnya hanya tempat bermain bola dan gembala kerbau, kini didatangi 4.000 lebih pengunjung.
Objek wisata desa berpenduduk 878 orang itu pertama kali dibuka pada tahun 2017 oleh Kementerian Pariwisata. Saat datang ke Desa Meat, mereka langsung kepincut dengan keeksotisan alamnya.
Tertarik menikmati Danau Toba dan Desa Meat?