Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Konsep sustainable fashion atau fashion berkelanjutan sedang menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir. Setelah munculnya berbagai kabar buruk mengenai industri mode yang gemerlap, berbagai brand fashion pun berusaha menghadirkan konsep sustainable, yang ramah lingkungan dan etis kepada para pekerja.
ADVERTISEMENT
Beberapa contoh fashion label yang sudah mulai mengadaptasi konsep ini adalah Levi’s, H&M Conscious, juga Uniqlo. Namun, ini tidak berarti bahwa brand yang mengadaptasi konsep itu hanya ada di luar negeri saja. Brand dengan konsep serupa juga mulai muncul di Indonesia. Salah satunya adalah Lanivatti, brand dengan fokus travel attire yang digarap oleh fashion photographer ternama, Nicoline Patricia Malina (34 tahun).
Perempuan yang pernah bekerja dengan majalah-majalah seperti Harper’s Bazaar, Elle, hingga Marie Claire ini menceritakan, ide untuk mendirikan brand ini berawal dari rasa frustrasinya sendiri. Sebagai seseorang yang suka bepergian, Nicoline merasa tidak menemukan pilihan brand travel attire yang nyaman, fashionable, sekaligus fungsional.
“Beberapa brand itu ya memang fungsional, tapi enggak keren. Atau, keren tapi ternyata enggak nyaman. Atau, dua-duanya tapi mahal banget,” tuturnya kepada kumparanWOMAN usai acara talkshow ‘Lenzing Talks Vol. 01’ di kawasan Jakarta Selatan baru-baru ini.
Berangkat dari alasan itu, tercetuslah ide untuk menciptakan fashion brand yang bisa mengakomodasi keinginan para woman on the move. Nicoline pun melakukan riset untuk membuat baju-baju yang nyaman dan juga stylish untuk para traveler.
ADVERTISEMENT
Namun, Nicoline juga tidak hanya berfokus pada konsep stylish dan nyaman. Dia juga memastikan bahwa produk dari brand-nya mengangkat bersifat sustainable dan ramah lingkungan. Menurutnya, 90 persen dari bahan pakaian-pakaian Lanivatti menggunakan bahan yang biodegradable atau dapat terurai, seperti Tencel, katun organik, linen, juga rayon (viscose).
Perempuan berperawakan tinggi semampai ini juga menyebutkan, inspirasinya untuk menciptakan brand yang sustainable berangkat dari pengalamannya berkarier sebagai fotografer fashion. Selama 12 tahun berkecimpung di bidang itu, Nicoline merasa telah melihat berbagai hal yang perlu diperbaiki. Misal, menumpuknya sampah tekstil dari pakaian-pakaian yang tidak lagi terpakai, hingga buruknya kondisi kesejahteraan pekerja dalam industri fashion.
Nicoline mengatakan, dia merasa malu dengan hal-hal itu. Sehingga, kini ia berusaha menghadirkan solusi untuk masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
“Aku emang suka fashion. Jadi, gimana caranya I want to look stylish tapi aku juga enggak mau kontribusi ke dunia yang seperti itu,” tuturnya.
Nicoline sendiri merasa, isu fashion berkelanjutan kian signifikan. Masyarakat sudah bisa melihat kerusakan alam akibat tindakan yang tak bertanggung jawab dalam industri mode. Dia merasa, kalau kita tidak berhenti melakukan hal-hal yang merusak, maka manusia akan semakin dekat dengan kerusakan yang besar
“Jadi, (lakukan) apapun yang bisa kita lakukan, supaya itu enggak datang lebih cepat. Memperbaiki ini sudah susah banget. Tapi, setidaknya kita tidak menambah (kerusakan),” sebut Nicoline.
Oktober mendatang, Lanivatti akan meluncurkan capsule collection perdananya secara online. Rencananya, setiap tahun Lanivatti akan meluncurkan capsule collection yang terdiri dari 12-20 baju saja, dengan kisaran harga sekitar Rp 1-6 juta. Kemudian, brand ini juga akan memiliki signature collection yang berisi baju-baju dengan rancangan basic, seperti kemeja putih, jaket, celana, rok, juga dress.
ADVERTISEMENT
Baju-baju koleksi Lanivatti akan dibuat dengan tiga ukuran, dengan size yang sedikit lebih besar dari ukuran umum di Indonesia. Ini dikarenakan, brand yang terinspirasi dari nama mengikuti nama Ibunda Nicoline itu juga akan menyasar pasar asing.
Selain itu, Nicoline menekankan bahwa pakaian dalam brand kepunyaannya itu dibuat dengan warna dan gaya yang bisa dipadu padankan dengan banyak pakaian lainnya. Pembuatan baju-baju ini juga dilaksanakan secara teliti, agar produknya dapat bertahan lama dan bisa terus digunakan hingga bertahun-tahun mendatang.
“Harganya mungkin sedikit lebih tinggi. Tapi, kalau kita perhitungkan semuanya, (sebenarnya) lebih mahal untuk membeli sesuatu yang on trend namun cuma kita pakai beberapa kali,” ungkapnya.
Terkait potensi kompetitor, Nicoline merasa bahwa saat ini tidak cukup banyak pesaing di ranah sustainable fashion . Namun, ia yakin bahwa konsep ini akan terus berkembang. Kepercayaan itu muncul dari contoh yang sudah terjadi di masyarakat. Misalnya, lewat meningkatnya konsumsi makanan organik dan berkurangnya penggunaan plastik. Meski hal-hal ini dulu terasa asing dan tidak murah, keduanya mulai banyak ditemui dan harga-harga produknya pun jadi cenderung lebih terjangkau.
ADVERTISEMENT
Nicoline yakin, hal serupa akan terjadi pada industri sustainable fashion .
“Jadi aku yakin, ini akan jadi gaya hidup dan bukan lagi merupakan sesuatu yang jarang. Kita semua mengarah ke sana, karena kita sekarang semua sudah enggak tutup mata lagi,” tegasnya.