Orang yang Tidak Bahagia Lebih Banyak Melakukan Bullying, Benarkah?

16 Agustus 2019 15:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perilaku bullying tak hanya terjadi di sekitar kita, tetapi juga di media sosial. Justru sekarang, bullying lebih banyak terjadi di media sosial dan bisa menimpa siapa saja. Para pelakunya menganggap, bullying (menghina fisik atau mengucapkan kata-kata yang tidak pantas) di media sosial lebih mudah untuk dilakukan karena mereka bisa bersembunyi di balik anonimitas alias akun palsu.
ADVERTISEMENT
Entah benar atau tidak, tampaknya ada kepuasan tersendiri bagi pelaku bullying setelah melakukan aksinya. Mereka seolah merasa senang dan bahagia jika korbannya merasa tersinggung dan kesal atas perlakuannya. Tetapi di balik itu, banyak yang mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka merasa tidak bahagia dengan hidupnya sendiri sehingga bullying menjadi salah satu pelampiasan atas ketidakbahagiaan tersebut.
Lalu benarkah perilaku bullying berhubungan dengan rasa ketidakbahagiaan dalam hidup seseorang?
Ilustrasi perempuan. Foto: Shutterstock
Dituturkan oleh Psikolog Klinis Nuran Abdat, M.Psi, jika melihat konsep bahagia secara keseluruhan, kita tidak bisa menyimpulkan begitu saja jika orang-orang yang tidak bahagia cenderung melakukan bullying.
Nuran menegaskan, kepuasan diri bukan berarti mendapatkan kebahagiaan, karena itu adalah dua hal yang berbeda. Yang bisa kita lakukan adalah mencari tahu terlebih dahulu, apa yang membuat pelaku bullying tidak puas terhadap dirinya sendiri dan bagaimana sudut pandangnya tentang self-value.
ADVERTISEMENT
"Selain itu kita bisa lihat bagaimana proses tumbuh kembang dia dari kecil hingga saat ini. Mungkin dulu saat kecil dia terbiasa mendengar kata-kata yang mengintimidasi. Kalau sudah terbiasa diintimidasi, sangat mungkin dia merasa tidak puas dan berpikir bagaimana caranya menumbuhkan kepuasan di tempat lain untuk menutupi identitasnya, salah satunya media sosial," jelas Nuran di acara LUX #STOPBeautyBullying beberapa waktu lalu.
Ilustrasi perempuan saling melontarkan komentar pada perempuan lainnya. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Nuran menambahkan, secara biologis, perempuan harus berbicara sebanyak 2000 kata dalam satu hari. Jika belum banyak berbicara, akan ada rasa tidak puas sehingga kita cenderung melampiaskannya di tempat lain, termasuk juga di media sosial sebagai 'ruang lain' untuk berbicara dengan melontarkan komentar atau kritikan.
"Kalau kita belum punya ruang untuk berbicara, sangat mungkin kita mudah mengkritik orang karena kita tidak puas dengan diri kita sendiri. Jadi pikir kembali, sudahkah kita mengeluarkan kata-kata atau opini di ruang yang tepat?" tambah psikolog yang praktik di Brawijaya Healthcare itu.
ADVERTISEMENT
Programme Management Specialist UN Women Lily Puspasari menambahkan, anonimitas itu dimanfaatkan sebagai sebuah keuntungan sehingga pelaku bullying merasa berhak untuk berkata apa saja padahal sebenarnya tidak.
"Jadi, mau dua ribu kata diungkapkan langsung atau diutarakan dalam hati, semua itu berangkat dari pikiran. What do you think, what you became," demikian tutur Lily.