Perjalanan Panjang Aturan Busana Atlet Perempuan di Olahraga, Kerap Jadi Polemik

1 Agustus 2021 20:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pauline Schaefer-Betz dari Jerman, melakukan latihan lantai rutinnya selama kualifikasi senam artistik putri di Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (25/7). Foto: Gregory Banteng/AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Pauline Schaefer-Betz dari Jerman, melakukan latihan lantai rutinnya selama kualifikasi senam artistik putri di Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (25/7). Foto: Gregory Banteng/AP Photo
ADVERTISEMENT
Tim senam perempuan dari Jerman mencuri perhatian saat bertanding di Olimpiade Tokyo 2020. Mereka mengenakan seragam tertutup saat tampil di babak kualifikasi pada Minggu (25/7). Keputusan ini diambil bukan tanpa alasan.
ADVERTISEMENT
Selama ini pesenam perempuan mengenakan kostum leotard one-piece pendek. Berlengan panjang, mengikuti lekuk tubuh atau fit-to-body, dan terbuka di area paha hingga kaki. Namun di kesempatan kali ini tim senam Jerman memutuskan untuk mengenakan leotard panjang. Hal ini mereka lakukan demi memerangi isu seksualitas.
Sarah Voss dari Jerman tampil selama kualifikasi senam artistik putri di Olimpiade Tokyo 2020, Minggu (25/7). Foto: Gregory Banteng/AP Photo
"Saat melakukan split dan melompat, terkadang leotard tidak menutupi semuanya. Kadang seragam bisa selip dan karena itu kami menemukan leotard baru agar semua orang merasa aman saat kompetisi dan latihan," ungkap Sarah Voss, pesenam 21 tahun asal Jerman seperti dikutip dari BBC.
Menurutnya, kondisi tersebut bisa membuat pemain merasa tidak aman dan nyaman karena takut dengan pemikiran orang. "Ketika merasa tidak aman, itu bisa mengganggu saat tampil. Dan menurut saya, rasa aman itu akan hadir ketika kita tidak perlu memikirkan apa yang orang lain bisa atau tidak bisa lihat," jelasnya.
Kontroversi Tim Bola Tangan Perempuan Norwegia, Menolak Pakai Bikini saat Tanding. Foto: dok. Instagram
Hal serupa juga dilakukan oleh tim bola tangan asal Norwegia. Dalam pertandingan medali perunggu melawan Spanyol, mereka memilih mengenakan celana ketat sepaha. Hal ini memang sengaja mereka lakukan untuk memprotes peraturan berbikini yang dianggap memalukan. Pilihan bawahan yang mereka kenakan ini dinilai tidak pantas sehingga tim bola tangan perempuan asal Norwegia didenda 1.500 euro atau 1.768 dolar AS atau sekitar Rp 25 jutaan oleh Komisi Disiplin Asosiasi Bola Tangan Eropa.
ADVERTISEMENT
Sejak lama, urusan soal busana di Olimpiade atau ranah olahraga memang sudah menjadi polemik tersendiri. Apa yang dilakukan oleh tim senam Jerman dan tim bola tangan Norwegia ini telah menyoroti isu-isu seksisme, objektifikasi tubuh perempuan, dan memunculkan tanda tanya besar tentang siapa yang berhak memutuskan model busana seperti apa yang dianggap pantas dikenakan oleh para atlet perempuan.
Miftahul Jannah, atlet para judo Indonesia di Asian Para Games 2018 Foto: ANTARA/BOLA.COM/M Iqbal Ichsan
Di Indonesia sendiri, perdebatan mengenai busana yang harus dikenakan perempuan dalam pertandingan olahraga juga pernah terjadi. Pada 2018 lalu, Miftahul Jannah, atlet judo asal Abdya, Aceh Selatan, didiskualifikasi karena menolak melepas hijab saat bertanding di Asian Para Games. Tak hanya kecewa karena harus mundur dari pertandingan setelah berlatih tanpa henti selama 10 bulan lebih, Miftah pun sampai memutuskan untuk berhenti mengikuti ajang pertandingan judo.
ADVERTISEMENT
Jika perkara busana bisa sampai membuat seseorang berhenti berjuang dan tidak meneruskan impiannya, berarti ini bukan perkara sepele. Oleh karena itu, banyak atlet perempuan, baik individu maupun tim, berusaha untuk memperjuangkan hal tersebut agar perempuan tetap bisa meraih kesuksesan tanpa terhalang persoalan busana.

Alasan tak masuk akal soal busana perempuan di pertandingan olahraga

Serena Williams mengenakan catsuit pada 2018. Foto: Dok. Serena Williams
Di dalam pertandingan Olimpiade, Komite Olimpiade Internasional memberikan kebebasan pada Komite Olimpiade Nasional untuk membuat aturan terkait busana yang bisa dikenakan oleh para atlet. Mereka menegaskan, busananya harus sopan dan layak dikenakan. Sayangnya, kesopanan dan kelayakan busana merupakan hal yang sangat subjektif, tergantung pandangan masing-masing orang.
Menurut laporan New York Times, keterlibatan perempuan di olahraga memang selalu memunculkan banyak aturan terkait busana. Di pertandingan tenis misalnya, atlet perempuan harus mengenakan busana tertentu selama bertanding. Jika tidak, maka pemain akan dikecam seperti Serena Williams saat mengenakan catsuit atau busana terusan model celana di turnamen tenis Prancis, Roland Garros pada 2018 lalu. Serena dinilai tidak menghargai olahraga tenis karena mengenakan busana yang tidak sesuai aturan.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelumnya, hal serupa juga dialami oleh petenis asal Prancis Suzanne Lenglen yang dianggap tidak pantas karena mengenakan rok sepanjang betis tanpa rok rangkap pada pertandingan Wimbledon 1919. Peraturan soal busana perempuan di dunia olahraga memang cukup rumit. Sebab alasan yang diberikan tidak ada hubungannya dengan performa mereka sebagai atlet.
Peraturan soal busana ini kadang diberikan untuk menonjolkan kesan yang lebih feminin dalam penampilan mereka. Ada juga aturan yang dibuat agar perempuan tidak terlalu memamerkan bentuk tubuh karena bisa membuat pria jadi tidak fokus dengan pertandingan. Bahkan menurut New York Times, disebutkan juga bahwa aturan busana untuk perempuan dijadikan salah satu strategi agar pria mau membeli tiket supaya bisa menyaksikan mereka mengenakan busana ketat atau terbuka.
Serena Williams mengenakan rok tutu saat bertanding. Foto: Dok. Off White & Alexis Réau
Saking lumrahnya, banyak orang menganggap mengatur busana yang dikenakan oleh atlet sudah menjadi budaya yang melekat di dunia olahraga. Sedangkan menurut para ahli, budaya tidak bisa dijadikan alasan apalagi kalau tidak mementingkan kebutuhan penggunanya.
ADVERTISEMENT
"Kalau sebuah tradisi dikembangkan pada momen orang-orang banyak dikucilkan karena gender dan ras, maka tradisi itu tidak memperhitungkan kebutuhan mereka," ungkap Richard Ford profesor hukum dari Stanford University.
Hal ini juga dibenarkan oleh para atlet. Budaya tidak seharusnya mengekang atau mempersulit perempuan dalam melakukan berbagai hal. "Sering kali budaya dijadikan alasan dan pemakluman dalam hal ini, tapi bukan berarti itu bisa dibenarkan," ungkap Cassidy Krug, salah satu atlet diving yang bertanding di Olimpiade 2012.

Semakin banyak atlet perempuan yang berani melawan

Seiring berjalannya waktu, media sosial telah membantu mengembalikan kekuatan perempuan dan menjadi platform untuk melawan. Banyak gerakan yang sudah berlangsung dan membuat para atlet perempuan jadi lebih berani bersuara.
ADVERTISEMENT
"Sekarang ini ada banyak gerakan signifikan yang memperjuangkan hak para atlet. Kekuatan telah berubah sekarang" pungkas Angela Schneider, direktur International Centre of Olympic.
Oleh karena itu, saat ini para atlet perempuan berusaha untuk mendukung satu sama lain dan hal ini pun membuahkan berbagai perubahan signifikan di ajang olimpiade 2020. Supaya bisa didengar, memang harus ada yang berani bersuara. Seperti yang dikatakan oleh pesenam Jerman Sarah Voss, harus ada yang dilakukan agar bisa bertahan.
"Ada perempuan yang memilih meninggalkan olahraga indah ini karena harus memakai leotard. Jadi saya pikir ini adalah opsi yang baik agar semua bisa bertahan di olahraga ini dan tidak memikirkan hal lain terkait tubuhnya," ungkap Sarah kepada BBC.
ADVERTISEMENT