Strategi Pemulihan Pariwisata, Travel Bubble dan Pemanfaatan Blockchain

legakusnandar
S1 Pariwisata, Universitas Pendidikan Indonesia (2013) S2 Mahasiswa Magister Pariwisata Universitas Pendidikan Indonesia (2021) "think innovatively in a sustainable manner, often not understood by many people around him, but think out-of-the-box"
Konten dari Pengguna
19 Mei 2021 13:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari legakusnandar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Industri Pariwisata Dunia. Foto : Andrea Piacquadio dari https://www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Industri Pariwisata Dunia. Foto : Andrea Piacquadio dari https://www.pexels.com/
ADVERTISEMENT
Sudah kita ketahui semua bahwa Pandemi COVID-19 merupakan krisis sepanjang sejarah disertai dengan kesehatan, sosial, dan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia, sehingga menjadi mimpi buruk bagi sektor pariwisata yang merupakan industri yang sangat rentan karena terdampak paling awal dan pulih paling akhir. Pandemi COVID-19 berdampak secara langsung terhadap sektor pariwisata karena pembatasan perjalanan (Lockdown) yang meluas dan penurunan permintaan besar-besaran terjadi karena penundaan dan pembatalan perjalanan turis internasional (overnight visitors) jatuh sebesar 74% pada tahun 2020 dibandingkan pada tahun sebelumnya. Runtuhnya perjalanan internasional merupakan sebuah kerugian yang diperkirakan sebesar USD 1,3 triliun dalam pendapatan ekspor lebih dari 11 kali kerugian yang tercatat selama 2009 krisis ekonomi global, dilansir dari UNWTO.
ADVERTISEMENT
Pariwisata Indonesia sangat terpuruk dan terdampak akibat Pandemi COVID-19 pada tahun 2020, pemerintah melakukan proyeksi kembali capaian target jumlah wisatawan karena terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara sebanyak 74,67% yang semula diproyeksikan pada tahun 2019 akan menerima kedatangan sebesar 16juta orang wisatawan mancanegara menjadi empat juta orang pada tahun 2020, mengakibatkan kehilangan devisa bagi negara sebesar 79.1% yang semula diproyeksikan pada tahun 2019 senilai USD 16,91 M pada tahun 2019 menerima devisa menjadi USD 3,54 M pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia berencana menerapkan travel bubble dengan China, Korea Selatan, Jepang dan Australia, namun menghadapi tantangan karena dalam beberapa minggu terakhir jumlah kasus COVID-19 meningkat di India karna virus COVID-19 yang bermutasi.
ADVERTISEMENT
Travel Bubble adalah kemitraan eksklusif antara negara-negara yang menunjukkan keberhasilan dalam menahan dan memerangi pandemi COVID-19 yang bersepakat untuk menciptakan sebuah koridor perjalanan, menurut sugihamretha dalam jurnalnya yang berjudul "Mitigasi Dampak Wabah COVID-19 Pada Sektor Pariwisata". Travel bubble digunakan untuk menarik potensi wisatawan mancanegara untuk datang ke destinasi tertentu di kota-kota yang sudah ditentukan, dengan harapan membangkitkan kembali ekonomi dunia melalui kerja sama sektor pariwisata.
Ilustasi Pantai Broken Beach (Pasih Uug), Nusa Penida Bali. Foto : Nick Wehrli dari https://www.pexels.com/
Dalam pelaksanaan travel bubble akan mengalami hambatan dan tantangan dikarenakan kebijakan setiap negara terhadap vaksin, alat test, dan metode deteksi virus berbeda-beda standarnya, sehingga perlu membuat kesepakatan bersama tentang hal itu. Disisi lain adanya kekhawatiran masyarakat jika travel bubble dilakukan akan memperbesar kemungkinan penyebaran virus baru, sehingga perlu adanya tracing turis yang akan berkunjung dan telah selesai berkunjung pada destinasi pariwisata dengan bantuan teknologi yang memudahkan membaca data secara digital yang terlampir pada digital paspor wisatawan mancanegara. Pemanfaatan teknologi dalam tracing atau pelacakan kontak pasien positif, dengan menggunakan sistem digital sangat dibutuhkan untuk dapat melakukan pencegahan penyebaran yang lebih masif.
ADVERTISEMENT
Beberapa negara yang telah berhasil melakukan tracing dengan baik adalah Selandia Baru, dengan aplikasi digital diary, mereka diminta memindai kode QR code saat datang ke fasilitas umum, perkantoran, dan lainnya. Korea Selatan mengembangkan aplikasi berbasis GPS untuk memastikan pasien melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing. Lalu Singapura BluePass dibuat dengan teknologi Bluetooth Low Energy (BLE) tanpa GPS, sehingga tidak akan melacak keberadaan pengguna. Selain itu, data yang dihimpun berupa identitas pengguna juga dienkripsi untuk keamanan dan hanya bisa diakses, jika pengguna positif dan digunakan hanya untuk contact tracing.
Ilustrasi manajemen strategi pariwisata Indonesia. Foto : fauxels dari https://www.pexels.com/
Melihat dari beberapa negara melakukan tracing saja sudah berbeda cara dan pengunaan teknologinya sehingga memunculkan pertanyaan teknologi apa yang akan kita gunakan untuk tracing wisatawan mancanegara yang tiba di destinasi pariwisata guna mendukung pelaksanaan travel bubble. Hal ini dikarenakan server, data pengguna, data history kesehatan, berbeda dan tidak terpusat serta belum terintegrasi antara satu dengan yang lainnya. Sehingga perlu keseriusan pemerintah membuat strategi untuk melaksanakan travel bubble dengan cara yang benar agar dapat mencegah penularan virus COVID-19 agar pemulihan sektor pariwisata bisa terwujud.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ada sebuah solusi untuk itu semua bisa terwujud dalam waktu dekat, karena perkembangan teknologi yang sudah maju saat ini dan dapat di adaptasi untuk melakukan Travel Bubble, tetapi butuh effort yang sangat luar biasa dalam hal inovasi kebijakan pemerintah dalam infrastruktur teknologi di Indonesia dan kolaborasi penyederhanaan peraturan-peraturan yang ada pada kementerian/lembaga dan lintas sektor untuk mencoba mengkaji terlebih dahulu tentang pemanfaatan teknologi blockchain pada sektor pariwisata. Dengan adanya Blockchain dapat memudahkan pengaplikasian Travel Bubble yang akan dilaksanakan Pemerintah karena sistem teknologi blockchain terdesentralisasi pada server yang ada sehingga memudahkan distribusi data kepada server lainnya yang ada untuk saling mengetahui data yang terhimpun di dalamnya dan lebih efektif dan efisien dalam pelacakan data-data wisatawan karena terenkripsi sehingga keamanan data personal, data kesehatan, paspor digital, dan lain sebagainya yang dibutuhkan saat Travel Bubble terjaga sangat aman.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Teknologi Blockchain. Foto : https://www.nicepng.com/maxp/u2t4u2r5y3q8a9w7/
Teknologi Blockchain telah digunakan sebagai dasar untuk teknologi atau aplikasi lain untuk saling terhubung, dan beberapa langkah yang harus dilakukan dalam mendorong pelaksanaan Travel Bubble di antaranya dapat berguna untuk industri pariwisata. Berikut beberapa contohnya:
Pertama membuat Kontrak Cerdas (Smart Contract) adalah kontrak yang ditangani dengan kesepakatan tertentu antara negara yang akan menjalankan Travel Bubble menggunakan teknologi blockchain, memungkinkan proses ini untuk memudahkan (seperti Visa keimigrasian) serta mengurangi waktu pemrosesan, dengan blockchain dapat memudahkan koordinasi dan birokrasi perizinan dokumen antara pemerintah dan industri pariwisata Airline, Hotel, Transportasi dalam menyediakan kebutuhan wisatawan mancanegara.
Kedua Satu ID digital (Personal ID digital) Sistem ini memungkinkan pengoperasian pelayanan jasa bagi industri pariwisata untuk menyederhanakan tugas-tugas yang perlu mereka selesaikan dan memiliki semua informasi yang tersedia tentang seorang individu di satu tempat seperti halnya paspor wisatawan, proses ini memberikan kemudahan untuk tracing riwayat kesehatan, handling Check-in Check-out Hotel sehingga wisatawan mancanegara tidak terjadi kontak fisik secara langsung dengan petugas pelayanan jasa yang ada di destinasi pariwisata.
ADVERTISEMENT
Ketiga Mata Uang Digital (Digital Currency) perlunya kesepakatan yang lebih lanjut terhadap hal ini karena harus ada kemudahan transaksi keuangan (touchless) dan penukaran uang antara negara yang akan melakukan travel bubble untuk mendorong Pembayaran yang mudah, aman, dan dapat dilacak, Karena jika menggunakan sistem blockchain semua transaksi yang dilakukan di blockchain tetap terdaftar di rantai dan tidak dapat dimodifikasi. Tidak hanya itu, ini adalah sistem terdesentralisasi, tetapi juga tidak akan ada perantara yang dapat mengintervensi atau menunda pembayaran, Sehingga perlu regulasi yang kuat melaksanakan ini semua.
Pariwisata dan blockchain berpotensi menjadi kombinasi dan kolaborasi yang kuat untuk mendorong terlaksananya Travel Bubble karena teknologinya dapat membawa keamanan dan transparansi ke beberapa titik penting kehidupan. Blockchain dapat membuat operasi ini lebih aman dan transparan karena tanggung jawab menyebar ke seluruh jaringan. Hal yang sama akan terjadi dengan transaksi luar negeri, meningkatkan tingkat kepercayaan di antara semua pihak yang terlibat. Walaupun teknologi blockchain masih dalam tahap awal kehidupannya. Meskipun ada konsensus tentang potensinya, selalu menantang untuk mengetahui ke mana blockchain bisa sampai sejauh mana dan bagaimana hal itu akan berdampak pada industri seperti pariwisata untuk strategi pemulihan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Apa salahnya mengadaptasi teknologi yang ada untuk membuat inovasi baru dalam kemajuan teknologi dan bersama-sama berkolaborasi untuk menyudahi pandemi COVID-19 ini. Kalau bukan kita siapa lagi, dan kalau bukan sekarang kapan lagi.